"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)
Monday, March 26, 2007
Beras dan Lingkaran Kemiskinan
Ketiga hal diatas jelas bukan merupakan pilihan yang tidak menyenangkan, karena ketiganya memiliki konsekuensi lanjutan yang cukup mengkhawatirkan. konsekuensi dari pilihan pertama adalah mereka akan mengalami kekurangan pasokan energi dan sangat mungkin mengalami kekurangan gizi. Sehingga produktivitas mereka akan berkurang. Dan bisa jadi akan mengurangi pendapatan mereka, karena mayoritas masyarakat miskin mengandalkan tenaga dalam pekerjaan mereka.
Pilihan kedua adalah dengan mengurangi pos pengeluaran lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Kalau ini yang terjadi, maka yang menjadi korban adalah anak-anak. Dengan minimnya anggaran pendidikan dan kesehatan dalam keluarga sangat mungkin nasib mereka di masa depan tidak akan jauh berbeda dengan nasib kedua orang tua mereka saat ini. Untuk pilihan ketiga, dengan beralih ke nasi aking maupun ketela, maka bisa jadi asupan kebutuhan kalori dibawah kebutuhan yang semestinya. Konsekuensinya mirip dengan pilihan pertama.
Dengan gambaran diatas maka akan sangat sulit bagi masyarakat miskin untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan. Karena mereka masih disibukkan dengan pertanyaan, bagaimana untuk bisa hidup pada hari ini. Sehingga tidak pernah terpikirkan di benak mereka, bagaimana agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Maka tidaklah mengherankan jika pemerintah kemudian melakukan impor beras sebesar 500.000 ton untuk menekan harga beras. Pertanyaannya kemudian adalah apakah menurunkan harga beras adalah keputusan yang tepat? Karena sebagian besar masyarakat miskin Indonesia berprofesi sebagai petani. Sehingga dengan menurunkan harga beras berarti juga akan menurunkan harga jual produk mereka, meskipun mereka seringkali tidak menikmati berkah dari kenaikan harga tersebut.
Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah, pertama adalah mengatasi ulah para tengkulak atau pedagang yang seringkali keterlaluan. Karena membuat petani tidak memiliki daya tawar terhadap produk mereka. Selain itu para tengkulak dan pedaganglah yang paling diuntungkan dari naiknya harga beras. Kedua, pemerintah bisa mengembalikan fungsi bulog seperti dulu. Sehingga bisa membeli beras secara langsung dari petani dengan harga yang menguntungkan petani, meskipun disisi lain tetap menjaga harga beras murah. Artinya subsidi diberikan secara langsung kepada petani dengan membeli gabah mereka pada kisaran harga yang cukup tinggi.
Thursday, March 15, 2007
Demokrasi Vs Pertumbuhan Ekonomi
Tanggal 24 Februari 2007 silam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Boediono dikukuhkan sebagai guru besar UGM. Salah satu poin dalam pidato tersebut adalah kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Menurut beliau pertumbuhan ekonomi harus diutamakan terlebih dahulu karena akan mengurangi risiko kegagalan demokrasi, selain itu juga untuk menciptakan kelompok pembaharu yang nantinya akan memperkuat proses modernisasi dan demokrasi. Hal ini dikarenakan pada tingkat penghasilan rendah, masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari. Kebutuhan demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu keberlanjutan demokrasi. Berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500 (Zakaria, 2003).
Bagaimana dengan
Paradigma mengutamakan pembangunan ekonomi dibanding demokrasi merupakan fenomena umum di negara sedang berkembang, terutama
Padahal disisi lain, demokrasi diperlukan juga dalam penentuan arah kebijakan ekonomi negara. Artinya masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan ekonominya. Dengan mengutamakan pembangunan ekonomi tanpa dibarengi atau didahului dengan kebebasan berekspresi, maka pemerintah akan memonopoli arah kebijakan bangsa. Dan ini bisa juga memunculkan friksi-friksi yang akan membahayakan arah pembangunan ekonomi itu sendiri, bahkan bisa mengakibatkan stagnasi, kemunduran dan krisis ekonomi.
Tuesday, February 27, 2007
Lomba UKS
Dulu ketika masih sekolah, entah itu SD, SMP maupun SMU kita sering mendengar kata-kata LOMba UKS (klo gak salah UKS = Usaha Kesehatan Sekolah). Sekolah kemudian bersolek dengan sedemikian rupa, tembok yang tadinya sudah agak muram dicat, taman sekolah mulai dihijaukan kembali, tanaman-tanaman yang sudah mati diganti. Bahkan yang lebih hebat lagi adalah, lahan kosong di pojok sekolah disulap menjadi apotik hidup. Apotiknya memang hidup, tapi mungkin hanya satu bulan, setelah itu gak ada yang hidup.
Kejadian itu terjadi secara rutin, entah satu tahun sekali atau 2 tahun sekali, tapi setiap menginjak pada satu tingkatan tertentu (SD,SMP,SMU) kita pasti akan mengalami yang namanya lomba UKS. Kalau dipikir-pikir sebenarnya lucu juga, karena kemudian Sekolah berusaha untuk memperbaiki diri agar pada saat hari penilaian UKS terlihat baik, semarak (emang Mall!), dengan fasilitas yang komplit dan memadai. Tapi beberapa hari kemudian segalanya kembali seperti semula, ruang UKS yang apek, sumpek dan isinya anak-anak yang melarikan diri dari pelajaran (yang tentu saja membosankan) atau dari acara upacara yang menyebalkan, membosankan. Entah yang lucu itu sekolahnya atau yang mengadakan lomba, seoalnya kalau mau serius mengadakan lomba seharusnya kabar peninjauan sekolah jangan sampai bocor, karena akan menghasilkan bias dalam penilaian.
Kejadian yang sama, kali ini juga terjadi pada adik saya yang masih SD. Pada hari ini Sekolahnya akan kedatangan tim penilai lomba UKS. Berbagai persiapan dadakan juga dilakukan (lucu juga, dari dulu sampai sekarang gak berubah, pokoke ndadak), mulai dari disuruh ngumpulin tanaman dalam pot, memotong kuku dan sikat gigi sebelum berangkat ke sekolah (emang kalau gak ada lomba, tidak sikat gigi ?), hingga membawa bekal makanan dari rumah. Dari semua itu kemudian muncul berbagai macam kejadian unik, konyol dan bahkan ada yang membuat iba.
Cilakanya, perintah untuk mengumpulkan tanaman itu pas di hari pasaran (legi). Dan tanaman itu harus dikumpulkan tiga hari kemudian. Padahal anak-anak baru pulang sekolah sekitar jam 12, otomatis harus langsung menuju pasar. Untung saja adikku ketika itu langsung ke pasar dan dapat tanaman itu, kalau gak ya bisa jadi gak mau berangkat sekolah. Yang lebih mengagetkan lagi adalah, ternyata acara lombanya diundur, nah lho, piye kui. Udah susah-susah nyari tanaman bahkan hingga sakit, ternyata diundur.
Kondisi seperti diatas bukan hanya terjadi di sekolah, bahkan dikantor pemerintah-pun juga demikian. Ketika ada kunjungan dari pejabat yang lebih tinggi, maka semua pegawai akan berusaha untuk tampil sebaik mungkin.
Tapi lebih jauh lagi, ternyata pada level negara-pun hal itu juga terjadi. Seperti ketika diadakan acara peringatan 50 tahun KAA dibandung beberapa tahun lalu.
Berbagai gambaran diatas tentu saja memprihatinkan dan memunculkan berbagai pertanyaan. Apakah itu bisa dibenarkan ? Apakah kita sudah terlalu munafik, sehingga selalu berusaha tampil baik (mungkin dengan berbohong) di depan orang yang pangkatnya lebih tinggi dari kita ? Apakah ini sekedar merupakan bagian dari budaya Jawa yang selalu berusaha tampil baik di depan, tapi penuh maksud tersembunyi dibelakangnya.
Yang jelas, menurutku ada yang salah dan harus dirubah !
Wallahu ‘alam…
Saturday, February 24, 2007
Perubahan Harus Dimulai dari Sekarang !!
Saya harus mengatakannya lagi bahwa Indonesia sekarang ini dalam keadaan membusuk. Korupsi dan birokrasi dimana-mana, dan ini adalah dua sindrom utama dari penyakit kita. Saya rasa Indonesia sudah tidak bisa tertolong lagi, kecuali dengan melaksanakan perubahan yang radikal. Dan ini harus dipimpin oleh angkatan muda.!!
Pramoedya Ananta Toer dalam “Saya Terbakar Amarah Sendirian”.
Beberapa saat lalu, Masyarakat Perfilman Indonesia (MPI) -yang sebagian besar terdiri dari generasi muda- mengembalikan 30 piala Citra ke Menbudpar. Aksi tersebut merupakan protes MPI terhadap tatanan perfilman Indonesia yang menurut mereka memprihatinkan. Film Ekskul yang di daulat sebagai Film terbaik FFI merupakan pemicu aksi tersebut. Menurut mereka ada unsur penjiplakan dalam film tersebut dan penjiplakan dalam segala macam bentuknya adalah sebuah kejahatan.
Penjiplakan dalam film Indonesia bukan hal yang baru. Kalau memang tidak mau disebut penjiplakan, paling tidak ada beberapa film yang memiliki kemiripan dengan Film asing. Diantaranya adalah film Djanjiku (1956) yang memiliki kemiripan dengan Vachan (1950-an), kemudian Kasih Tak Sampai (1961) memiliki kemiripan dengan Imitation of Life (1959). Selain itu masih banyak lagi sinetron lokal yang memiliki kemiripan atau menjiplak serial TV asing. Kegiatan penjiplakan tersebut berlanjut hingga saat ini dan mengalami puncaknya ketika film yang melakukan penjiplakan di daulat sebagai film terbaik. Kemudian kita pun bertanya-tanya apakah kondisi perfilman Indonesia sudah sedemikian parahnya? Apakah sudah tidak ada lagi film yang bagus dan orisinal?
Sebenarnya banyak film Indonesia yang berkualitas dan orisinil, salah satu contohnya adalah film Rindu Kami Pada-Mu karya Garin. Film yang mengambil latar sebuah pasar tradisional dengan segala permasalahan dan romantikanya. Meskipun demikian, film ini tidak masuk dalam nominasi. Inilah yang mengejutkan, karena kemudian yang masuk nominasi dan akhirnya menjadi film terbaik adalah film yang ditengarai terdapat unsur penjiplakan di dalamnya.
Pemberian penghargaan terhadap film jiplakan bisa diartikan sebagai sebuah legitimasi terhadap penjiplakan itu sendiri, artinya penjiplakan yang seharusnya merupakan hal yang tabu dan illegal, sekarang sudah dianggap legal. Bahkan pelakunya-pun memperoleh panghargaan. Kalau ini yang terjadi, maka kemudian orang perfilman ataupun masyarakat umum tidak ada lagi yang mau bersusah payah menghasilkan sebuah film ataupun produk yang berkualitas dan orisinil, mendingan jiplak saja. Lha wong njiplak aja dapat penghargaan kok, ngapain susah-susah bikin yang asli?
Cilakanya kondisi tersebut benar-benar terjadi, beberapa penulis skenario secara blak-blakan mengakuinya. Menurut mereka ada keraguan terhadap kemampuan sumberdaya Indonesia untuk membuat sinetron sendiri. Mereka takut kalau tidak mampu mengangkat rating, jadi daripada beresiko tinggi lebih baik langsung mengambil apa yang sudah laku. Mahasiswa yang disebut sebagai golongan intelektuil muda bangsa ini, juga ikut-ikutan melakukan penjiplakan. Mereka dengan entengnya menjiplak skripsi orang lain, baik secara keseluruhan ataupun melakukan perubahan sedikit dengan sekedar menambah periode penelitian atau mengganti lokasi penelitian. Mereka berkilah bahwa itu dilakukan agar cepat lulus dan cari mudahnya saja.
Kondisi di atas menggambarkan parahnya kondisi perfilman dan masyarakat negri ini. Mereka rela melakukan apa saja demi mengejar tujuan. Padahal film memiliki nilai yang strategis, karena mampu membentuk opini dan pola pikir masyarakat. Kita masih ingat bagaimana Amerika membuat film yang mengesankan bahwa mereka memperoleh kesuksesan dalam Perang Vietnam, padahal yang terjadi adalah kebalikannya. Kita juga masih ingat bagaimana tayangan kekerasan di film dan televisi telah membentuk generasi yang akrab dengan kekerasan. Terbukti dari munculnya beberapa kasus kekerasan bahkan kematian yang menimpa anak-anak karena meniru adegan di televisi ataupun film.
Oleh karena itu, aksi MPI patut kita beri apresiasi. Kalau tidak dimulai dari sekarang, lalu kapan lagi? Tentunya kita tidak ingin, penjiplakan merupakan sesuatu kebiasaan bagi masyarakat kita. Dan kita tidak ingin kejadian-kejadian kekerasan sebagai akibat dari adegan di televisi maupun film memakan korban yang lebih banyak lagi. Dan perubahan harus dimulai dari sekarang, dan sekali lagi anak muda harus menjadi garda terdepan daam perubahan dinegeri ini.
Tuesday, February 06, 2007
Politik Bola ?
Adakah kaitan antara sepakbola dengan politik? Kalau ada, lalu dimana kaitannya? Apakah sebatas penggunaan strategi bola dalam berpolitik, ataukan penggunaan bola itu sendiri sebagai alat politik? Jawabannya tentu saja ada dan bisa dua-duanya, artinya strategi bola bisa digunakan dalam berpolitik namun bola juga bisa digunakan sebagai alat politik.
Gus Dur mungkin merupakan satu-satunya presiden RI yang secara terang-terangan menggunakan strategi permainan bola dalam berpolitik. Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur pernah mengatakan bahwa strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Selain itu Gus Dur juga menyatakan bahwa untuk menghadapi permasalahan tertentu, diperlukan strategi yang berbeda-beda, dalam satu hal menggunakan strategi cattennacio, sedang dalam hal lain menggunakan hit and run (Strategi tim Inggris), total footballnya Belanda, atau bisa juga menggunakan bola samba Brasil (Gus Dur, 2000).
Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas kritik yang ditulis oleh Sindhunata mengenai strategi Cattenacio yang digunakan Gus Dur dalam menyelesaikan maslah Pansus DPR. Sindhunata khawatir strategi tersebut digunakan Gus Dur dalam menyelesaikan seluruh masalah bangsa ini. Cattenacio merupakan strategi bertahan dalam sepakbola Italia. Ciri utamanya adalah bertahan dengan menggrendel lawan, lalu mencari sela-sela untuk secepat mungkin menggebuk gawang lawan (Sindhunata, 2000).
Kalau oleh Gus Dur strategi permainan bola dijadikan sebagai strategi dalam berpolitik. Maka di daerah, Sepakbola dijadikan alat untuk menaikkan popularitas para politikus daerah. Beberapa bakal calon bupati/walikota misalnya, pada kampanyenya berjanji akan memajukan sepakbola daerah. Calon bupati/walikota tersebut belajar dari keberhasilan pemilik AC Milan, Silvio Berlusconi ketika berhasil memenangkan pemilu perdana menteri Italia. Sebagaimana diketahui, Berlusconi adalah pengusaha yang kemudian berhasil membeli klub terbesar di Italia, yaitu AC Milan. Popularitasnya meningkat ketika dia berhasil memimpin AC Milan dengan gemilang. Popularitas tersebut kemudian dimanfaatkannya untuk memenangkan pemilu perdana menteri dan ternyata berhasil.
Partai politik juga mulai menggunakan bola sebagai alat untuk menarik massa. Beberapa partai politik ditengarai memberi dukungan pada tim sepakbola yang memiliki warna kaos sama dengan partai yang bersangkutan. Bahkan diduga mendorong tim untuk mengganti warna kaos mereka agar sama dengan partai yang bersangkutan. Hal ini bagi sebagian orang mungkin terkesan aneh, bagaimana mungkin partai politik mau menggelontorkan dana mereka hanya untuk membeli warna kaos tim bola. Namun, kondisi ini bisa dimaklumi mengingat di Indonesia warna sangat identik dengan partai politik. Warna hijau, misalnya identik dengan PPP, PKB ataupun partai berbasis Islam lainnya, kemudian kuning dengan Golkar, merah dengan PDIP dan biru dengan PAN atau bisa juga Demokrat.
Alasan lainnya adalah kepopuleran sepakbola yang tidak terkalahkan oleh olahraga lainnya. Selain itu, para pendukung fanatiknya rela melakukan apa saja untuk membela klub mereka. Inilah yang menjadi target partai politik, mereka ingin kepopuleran tim sepakbola yang “disponsorinya” akan membawa kepopuleran bagi partai yang bersangkutan. Target lain adalah massa pendukung tim tersebut akan secara otomatis menjadi pendukung partai yang bersangkutan.
Penggunaan strategi bola dalam berpolitik membuktikan bahwa sepakbola merupakan olahraga yang indah, memerlukan kecerdasan dan memberi inspirasi. Sedangkan penggunaan Bola sebagai alat untuk mendongkrak popularitas bagi sebagian politikus/sebagai alat politik merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan. Karena akan mencemari kemurnian sepakbola sebagai sebuah permainan olahraga. Selain itu, sepakbola dikhawatirkan akan semakin berpotensi memunculkan konflik sosial ditengah masyarakat.
“Airplane Crash”*
(tulisan lama yang baru sempet diupload)
Misteri hilangnya pesawat Adam Air akhirnya terpecahkan. Segala daya upaya telah dilakukan, mulai dari pemanfaatan teknologi canggih hingga yang paling tradisional (paranormal). Hilangnya pesawat Adam Air tersebut menambah panjang daftar kecelakaan pesawat terbang di Indonesia beberapa tahun terakhir. Menurut data Departemen Perhubungan, selama kurun 2001-2005 terjadi 22 kasus kecelakaan pesawat, dengan peningkatan 75,62 % kasus per tahun. Jumlah korban yang meninggal dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah korban meninggal 14 orang, tahun 2004 menjadi 57 orang dan tahun 2005 sebanyak 161 orang. Tahun 2006 lalu, dengan adanya kecelakaan pesawat Adam Air tersebut jumlah korban meninggal bisa lebih dari 100 orang.
Kalau dilihat secara historis, kasus yang menimpa industri penerbangan Indonesia saat ini mirip dengan krisis keuangan (financial crash) Indonesia pada tahun 1998. Krisis diawali dengan kebijakan liberalisasi sektor keuangan pada tahun 80-an. Kebijakan tersebut merangsang para pengusaha untuk membuka bank baru guna mendukung keuangan korporasi mereka. Padahal pengusaha tersebut tidak tahu seluk beluk dunia perbankan. Disisi lain liberalisasi tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan institusi (aturan main) yang memadai.
Liberalisasi sektor keuangan kemudian memunculkan fenomena financial crash. Suatu kondisi dimana konglomerat yang menguasai bisnis perbankan memiliki hutang lebih besar dibanding grup atau perusahaan yang tidak mempunyai bank sendiri. Hutang tersebut banyak diperoleh dari pasar uang internasional yang mengandung resiko tinggi. Sehingga ketika bisnis perbankan collapse, hutang menjadi tidak terbayarkan, maka terjadilah financial crash.
Kalau dalam sektor keuangan ada fenomena financial crash, maka dalam industri penerbangan yang terjadi adalah airplane crash. Suatu kondisi yang merupakan konsekuensi dari liberalisasi industri penerbangan komersial yang tidak disertai dengan aturan main yang memadai. Liberalisasi kemudian diikuti dengan pembukaan maskapai penerbangan baru. Banyak diantara pengusaha maskapai penerbangan baru tersebut yang tidak memahami dunia penerbangan secara baik. Banyaknya maskapai penerbangan baru mendorong terjadinya persaingan tarif yang sangat ketat. Sehingga untuk menekan biaya, pengusaha memotong berbagai pos pengeluaran, termasuk pengeluaran yang terkait dengan faktor keselamatan penumpang. Konsekuensi dari pemotongan tersebut adalah terjadinya kecelakaan pesawat (airplane crash) yang memakan korban jiwa.
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa liberalisasi sektor penerbangan tanpa disertai adanya kesiapan institusi akan berakibat buruk. Karena industri penerbangan memiliki kemiripan dengan industri perbankan, yaitu sebagai industri yang membutuhkan pengawasan ketat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan dalam industri penerbangan, seharusnya pengawasan lebih ketat dari industri perbankan, karena kesalahan sedikit saja akan berakibat pada hilangnya nyawa manusia.
* Harian Seputar Indonesia, edisi 12 Januari 2007
Thursday, January 25, 2007
Konsekuensi Logis Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 2006
Kenaikan gaji/tunjangan DPRD di era Otonomi Daerah (Otoda) sebenarnya bukan hal baru. Pada awal pelaksanaan Otoda gaji/tunjangan yang diterima DPRD sudah naik dengan signifikan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh SMERU tahun 2002, di provinsi Sumatra Utara, gaji DPRD setelah Otoda naik 300%. Di kabupaten Lombok Barat kenaikannya lebih tinggi lagi, yaitu sebesar 330%, dan yang paling tinggi adalah Provinsi Sumatra Barat, yaitu 460%.
Disisi lain, pelaksanaan Otoda juga dibarengi dengan adanya transfer pegawai. Adanya alih-status pegawai pusat ke daerah menyebabkan terjadi kelebihan pegawai terutama di tingkat propinsi. Propinsi Jawa Barat, misalnya, menerima 5.459 orang pegawai pusat, atau meningkat 45% dari jumlah pegawai sebelumnya. Propinsi Sumatera Utara yang sebelumnya mempunyai pegawai 10.044, mulai Januari 2001 harus mengurus 38.398 pegawai. Sejak 1 Januari 2001, jumlah pegawai Kabupaten Kudus meningkat menjadi 8.875 orang, dari sebelumnya 1.184 orang.
Banyaknya pegawai yang harus ditanggung oleh Pemda tersebut menguras sebagian besar anggaran daerah. Kenyataan ini menyebabkan besarnya DAU yang diterima daerah menjadi semu, karena sebagian besar dipakai untuk belanja pegawai dan tidak menambah dana untuk pembangunan daerah. Di Sumatra Utara belanja pegawai di era Otoda meningkat sebesar 321%, di Nusa tenggara Timur kenaikannya sebesar 258%, kemudian di Kabupaten Lombok Barat, kenaikannya sebesar 159%.
Kenaikan jumlah pegawai kemudian ditambah dengan kenaikan gaji/tunjangan DPRD di era Otoda mengakibatkan kenaikan anggaran rutin lebih besar dari kenaikan anggaran pembangunan. Kenaikan anggaran rutin daerah seluruh Indonesia secara rata-rata paska pelaksanaan Otoda sebesar 206%. Angka tersebut lebih besar dari rata-rata kenaikan anggaran pembangunan daerah yaitu 183% (Wibowo, 2004).
Kenaikan gaji/tunjangan DPRD sebagaimana yang diatur dalam PP No. 37/2006 tentu saja akan menaikkan anggaran rutin Pemda. Di Provinsi DIY, untuk memenuhi PP tersebut pemda mengalokasikan dana tambahan dalam APBD 2007 sebesar Rp 13 miliar, atau setara dengan 866 rumah tahan gempa senilai Rp 15 juta per unit.
Ada dua pilihan bagi pemda untuk menutup kenaikan anggaran tersebut. Yaitu dengan mengurangi porsi anggaran pembangunan atau menaikkan PAD. Pengurangan porsi anggaran pembangunan berarti kesejahteraan masyarakat di daerah akan semakin menurun. Padahal diketahui bahwa tingkat kemiskinan semakin meningkat dan kasus busung lapar juga terjadi di beberapa daerah.
Pilihan kedua adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan adanya Kenaikan PAD berarti akan ada kenaikan pajak, retribusi dan pungutan lain yang harus dibayarkan oleh masyarakat maupun pengusaha. Padahal banyak pengusaha yang sudah mengeluh dengan adanya berbagai macam pungutan dari pemda. Untuk mengurangi biaya produksi akibat kenaikan pajak/pungutan tersebut, bisa jadi pengusaha akan melakukan pemotongan jumlah karyawan (PHK). Jika terjadi PHK tingkat pengguran akan meningkat, kemudian berimbas pada kenaikan angka kemiskinan di daerah.
Wednesday, January 24, 2007
Belajar dari Penerima Nobel (Perdamaian)
Pramoedya A.T. adalah orang Indonesia pertama yang masuk nominasi peraih nobel, meskipun hingga akhir hayatnya hal tersebut tidak terwujud. Tapi Pram adalah satu-satunya orang Indonesia yang berkali-kali masuk dalam nominasi peraih nobel (sastra). Selain Pram ada dua orang Indonesia yang juga dinominasikan sebagai peraih nobel, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Keduanya dinominasikan sebagai peraih nobel perdamaian atas keberhasilannya menyelesaikan konflik Aceh dengan damai.
Namun lagi-lagi impian orang Indonesia untuk memperoleh Nobel tidak terwujud. Ternyata yang nobel sastra adalah Orhan Pamuk (54) seorang penulis Turki. Kemudian yang memperoleh memperoleh Nobel Perdamaian adalah Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank. Pemberian penghargaan Nobel Perdamaian kali ini benar-benar diluar dugaan. Karena M. Yunus tidak pernah dijagokan sebagai peraih nobel perdamaian.
Salah satu pertimbangannya adalah bahwa M. Yunus berhasil menghilangkan akar penyebab konflik, yaitu kemiskinan. Sebagai contoh, konflik Aceh dan Papua berakar dari kemiskinan masyarakat di dua daerah tersebut. Padahal mereka mempunyai SDA melimpah dan menghasilkan uang sangat besar, namun masyarakat disana tidak pernah memperolah bagian dan tetap miskin. Sehingga kemudian muncul kelompok (GAM dan OPM) yang memperjuangkan hak-haknya dengan jalan apapun.
Bersama dengan Grameen bank yang didirikannya Muhammad Yunus berhasil mengentaskan masyarakat miskin Bangladesh dari kemiskinan. Yaitu dengan jalan memberi mereka akses ke sumber pendanaan tanpa agunan. Sehingga jutaan warga miskin Bangladesh berhasil keluar dari jeratan lintah darat yang selama ini menghisap mereka. Hebatnya lagi, semua dilakukannya tanpa pamrih apapun dan berasal dari hati nuraninya.
Semua berawal dari kegelisahannya dengan banyaknya masyarakat miskin di Bangladesh yang berjuang melawan kelaparan. Namun dia sebagai seorang ekonom yang sebenarnya memiliki kompetensi untuk mengatasi permasalahan tersebut, justru hanya berkutat di ruang kuliah memberikan teori-teori ekonomi yang elegan. Diapun kemudian membenci diri sendiri karena bersikap arogan dan menganggap bisa menyelesaikan masalah kemiskinan. Padahal sebenarnya dia tidak tahu tentang masalah kemiskinan di sekitanya. Kemudian dia mulai mempelajari kemiskinan disana dan mengembangkan konsep pemberdayaan kaum miskin.
Di Indonesia sebenarnya sudah banyak program pengentasan kemiskinan yang mencontoh apa yang telah dilakukan Grameen Bank. Namun banyak diantara program tersebut hanya sekedar berjalan tanpa ada hasil yang nyata. Salah satunya penyebabnya mungkin adalah semuanya bukan didasari oleh niat yang tulus. Tapi banyak yang memanjadikan pengentasan kemiskinan sebagai proyek dan berusaha untuk meraup untung dari proyek tersebut. Jadi semakin banyak orang miskin juga berarti akan semakin banyak proyek dan juga berarti akan semakin banyak keuntungan materi yang akan diraupnya. Inilah “mungkin” salah satu penyebab kurang maksimalnya program pengentasan kemiskinan di negeri ini.
Masa Depan Posisi Indonesia di ASEAN
“Kami, angkatan muda, dengan segenap-genap kepercayaan di hati sebagai kekuatan yang menggerakkan, bangkit menjadi pemutar baling-baling sejarah masa depan.”
Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa.
ASEAN secara resmi didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Pada dasarnya pembentukan ASEAN di dasari oleh alasan strategis dan kemanan. Meskipun demikian, tujuan pembentukan ASEAN - seperti yang tertuang dalam deklarasi Bangkok - adalah untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan kebudayaan di kawasan ASEAN. Sejak ASEAN didirikan, Indonesia telah banyak berperan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Meskipun demikian kita tidak boleh terlena dalam romantika sejarah, kita harus bisa membuat sejarah baru yang lebih baik. Atau dengan kata lain, kita harus bisa berperan lebih banyak lagi dalam perjalanan ASEAN di masa depan.
Masa depan adalah milik generasi muda, bukanlah generasi tua ataupun mereka yang menjadi pemimpin ASEAN saat ini. Generasi muda-lah yang akan menentukan arah perkembangan ASEAN pada sepuluh atau duapuluh tahun mendatang. Sejarah membuktikan bahwa anak muda merupakan agen perubahan yang sanggup merubah arah perjalanan bangsa, bahkan dunia. Hal ini lebih dikarenakan sikap anak muda yang cenderung idealis, progressif, memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkan apa yang diinginkannya dan tidak takut akan rintangan apapun.
Oleh karena itu kedudukan generasi muda menjadi sangat penting, baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Karena sumber daya yang paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa, bukan modal fisik ataupun sumber daya material, namun sumber daya manusia. Sehingga kita harus memiliki generasi muda yang berkualitas untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Pengangguran dan Tingkat Pendidikan
Jika dilihat dari jumlah penduduk usia muda yang cukup besar, Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk bisa berbicara di tingkat ASEAN pada masa yang akan datang. Menurut data BPS pada tahun 2004, penduduk berusia muda (usia 15-24 tahun) sebesar 39 juta atau 25,5% dari total populasi Indonesia. Jumlah tersebut masih lebih besar daripada jumlah penduduk Malaysia tahun 2004, sebesar 23 juta. Bahkan jika dibandingkan dengan Singapura yang berpenduduk 2,4 juta (tahun 2004), jumlah penduduk usia muda Indonesia jauh lebih besar.
Jumlah penduduk usia muda yang cukup besar, justru akan menjadi masalah bila tidak dibekali dengan keahlian dan tingkat pendidikan yang memadai. Pada tahun 2004 sebanyak 5,7 juta penduduk Indonesia yang berusia 16-18 tahun sudah tidak bersekolah lagi. Mereka adalah yang tidak menyelesaikan pendidikan lanjutan (SMU) atau bahkan tidak pernah masuk SMU. Kemudian pada tahun yang sama, sebanyak 20,3 juta penduduk Indonesia yang berusia 19-24 tahun, sudah tidak bersekolah lagi. Jumlah tersebut adalah 72,4% dari total populasi penduduk di usia tersebut. Mereka kemudian menjadi pekerja atau menjadi pengangguran. Yang mengkhawatirkan adalah ketika mereka tidak bekerja dan menjadi pengangguran.
Dari data diatas bisa dilihat bahwa tingkat pendidikan generasi muda indonesia masih cukup memprihatinkan. Hal tersebut masih ditambah dengan angka tingkat pengangguran terbuka usia muda yang cukup besar, bahkan cenderung mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Perpaduan antara tingkat pendidikan yang rendah dan tingginya tingkat pengangguran usia muda berpotensi meningkatkan angka kriminalitas bahkan bisa memunculkan gejolak sosial yang berbahaya.
Pendidikan dan Kewirausahaan
Tingkat pendidikan yang rendah dan pengangguran yang tinggi merupakan masalah serius bagi anak muda. Untuk mengatasi permasalahan tersebut bisa dilakukan dengan menyediakan pendidikan yang memadai dan menumbuhkan semangat kewirausahaan. Ada dua hal yang bisa menarik minat untuk menempuh pendidikan, yaitu harapan untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan baik secara langsung maupun tidak langsung (terjangkau). Sehingga pendidikan bagi generasi muda paling tidak harus bisa memenuhi dua hal tersebut.
Masalah kewirausahaan juga merupakan masalah yang cukup penting, agar generasi muda bisa menciptakan lapangan pekerjaan mereka sendiri sehingga bisa ikut mengatasi masalah pengangguran. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membangun usaha kecil, baik formal maupun informal yang dikenal lebih tahan terhadap krisis ekonomi. Ketahanan usaha kecil terhadap krisis ekonomi telah terbukti pada tahun 1998 saat krisis melanda Asia Tenggara. Selain itu, banyak kisah usahawan sukses kelas dunia yang merintis usaha mereka sejak mereka berusia muda. Diantaranya adalah Bill Gates - salah satu orang terkaya di dunia - yang merintis usahanya dari nol di usia muda.
Dalam konteks ASEAN, perlu dibangun jaringan anak-anak muda ASEAN dalam bidang pendidikan (akademis) dan kewirausahaan. Jaringan tersebut bisa digunakan untuk melakukan penelitian bersama, baik dalam bidang sosial maupun teknologi. Hal ini di mungkinkan karena setiap bangsa memiliki keunikan tersendiri dan keunggulan masing-masing. Jaringan usahawan muda diharapkan bisa lebih mengasah kemampuan kewirausahaan dengan bertukar pengalaman menjalankan bisnis di masing-masing negara. Bahkan sangat dimungkinkan untuk bisa bekerjasama membangun jaringan bisnis usahawan muda ASEAN. Jaringan tersebut diharapkan bisa menjadi kerajaan bisnis ASEAN di masa yang akan datang. Sehingga tujuan untuk mewujudkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya bisa terwujud.
Kedua hal tersebut harus segera diupayakan agar generasi muda Indonesia tidak menjadi generasi yang frustasi. Generasi yang justru akan memperburuk kondisi bangsa ini. Namun generasi muda Indonesia harus menjadi generasi yang cerdas, kreatif, percaya diri dan tidak gamang dengan globalisasi yang melanda dunia saat ini. Suatu generasi yang akan membawa kemajuan bangsa dan mampu berperan di tingkat regional (ASEAN).
Kesimpulan
Masa depan adalah milik anak muda, sehingga agar Indonesia bisa lebih memiliki peran di ASEAN harus bisa mencetak anak muda yang berkualitas. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dan melatih keahlian berwirausaha sejak dini. Selain itu juga harus dibiasakan untuk berbaur dan bekerjasama dengan bangsa lain agar lebih memahami bangsa lain dan tidak minder jika berhadapan dengan bangsa lain. Jika tidak, alih-alih mau berperan di tingkat ASEAN mungkin berperan di negara sendiri-pun sulit, karena generasi muda masih dihadapkan pada permasalahan diri sendiri (masalah pendidikan dan lapangan kerja).
Referensi:
Gould, Eric D., Bruce A. Weinberg, and David B. Mustard (2002), Crime Rates And Local Labor Market Opportunities In The United States: 1979–1997, The Review of Economics and Statistics.
McMahon, Walter W. (1999), Education and Development; Measuring the Social Benefits, Oxford University Press, New York.
Nilsson, Anna and Jonas Agell (2003), Crime, Unemployment And Labor Market Programs In Turbulent Times.
Papps, Kerry L. dan Rainer Winkelmann (1999), Unemployment And Crime: New Evidence For An Old Question.
Prabowo, Dibyo dan Sonia Wardoyo (2004), AFTA; Suatu Pengantar, BPFE, Yogyakarta.
Todaro, Michael P. (1997), Economic Development, 6th ed., Adisson Wesley Longman Limited, London.
Toer, Pramoedya Ananta (2002), Anak Semua Bangsa, Hasta Mitra, Jakarta.
Witte, Ann Dryden and Robert Witt (2001), Crime Causation: Economic Theories, Encyclopedia of Crime and Justice.
Statistik :
BPS, Statistik Indonesia, berbagai edisi.
ASEAN Statistical Yearbook 2005.
Sunday, June 18, 2006

Kotagede terkenal dengan jalan kampung yang sempit dengan tembok tinggi di samping kanan kirinya. Namun gempa yang terjadi pada tanggal 27 mei silam mengubah segalanya. Lorong-lorong kampung Kotagede yang tadinya menarik, kini menjadi menakutkan. karena tembok dikanan kiri lorong sudfah miring, bahkan beberapa sudah amruk dan hilang.
berikut ini adalah beberapa gambar lorong tersebut.





Wednesday, March 22, 2006
Dalam beberapa novelnya, Pram selalu menempatkan anak muda sebagai agen perubahan, yang menentukan masa depan sebuah bangsa. Bahkan dalam bukunya yang terakhir (saya terbakar amarah sendirian), Pram menyatakan bahwa bangsa ini memerlukan perubahan yang radikal dan hanya bisa dipimpin oleh generasi muda. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana potret anak muda di Indonesia?
Menurut beberapa perbincangan dan pengalaman bergaul dengan teman-teman, menurut saya ada dua hal yang meresahkan bagi anak muda (terutama yang sudah menyelesaikan studi) yaitu menjadi pengangguran dan jomblo. Untuk tingkat pengangguran, pada tahun 1997, angka pengangguran di Indonesia sebesar 4,7% dari total angkatan kerja, kemudian meningkat menjadi 6,08% (2000), 8,1% (2001), 9,86% (2004), dan 10,9%(2005).
Secara makro bisa dilihat bahwa terjadi peningkatan angka pengangguran usia muda (berusia 15-24tahun) pada periode tahun 2000-2004. Pada tahun 2004 pengangguran yang berusia antara 15-19 tahun sebesar 37,65% dari total angka pengangguran, kemudian yang berusia 20-24 tahun sebesar 24,63%. Angka tersebut jauh lebih besar dari tahun 2000, dimana angka pengangguran yang berusia 15-19 tahun sebesar 23,46% dan yang berusia 20-24 tahun sebesar 17,56%. Untuk lebih lengkapnya lihat tabel dibawah ini.
Tabel 1.
Presentase Tingkat Pengangguran Terbuka Terhadap Angkatan Kerja Menurut Golongan Umur, Tahun 2000-2004
Golongan umur | 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2004 |
15-19 | 23,46% | 28,72% | 34,57% | 36,68% | 37,65% |
20-24 | 17,56% | 20,99% | 23,56% | 23,09% | 24,63% |
25-29 | 7,65% | 8,66% | 9,80% | 9,73% | 10,38% |
30-34 | 3,27% | 4,12% | 4,52% | 4,50% | 4,80% |
35-39 | 1,38% | 2,36% | 3,01% | 2,86% | 2,87% |
40-44 | 1,01% | 2,13% | 2,11% | 2,08% | 2,27% |
45-49 | 1,14% | 2,24% | 2,13% | 2,29% | 2,10% |
50-54 | 0,51% | 2,46% | 3,09% | 2,92% | 2,81% |
55-59 | 0,48% | 2,63% | 3,73% | 4,11% | 3,95% |
60 + | 0,21% | 4,82% | 2,84% | 8,84% | 8,00% |
Sumber : Statistik Indonesia BPS, Berbagai Edisi
Peningkatan angka penganggur usia muda, bukan saja mereka yang tidak terdidik, namun juga terdidik. Di Kota Yogyakarta, struktur pencari kerja terdaftar sebagian besar adalah berpendidikan tinggi (sarjana). Pada tahun 2003 dari 4.733 pencari kerja terdaftar 47,3% berpendidikan S-1, kemudian diikuti oleh yang berpendidikan SMU sebanyak 39,7% dan D-3 sebanyak 8,79%. Pada tahun 2004 dari 18.964 pencari kerja terdaftar 61,34% berpendidikan S-1, kemudian diikuti oleh yang berpendidikan SMU sebanyak 26,72% dan D-3 sebanyak 9,08%.
Tingkat pengangguran usia muda yang semakin besar dikhawatirkan akan meningkatkan tingkat kejahatan di Indonesia. Karena anak muda memiliki potensi tinggi untuk melakukan tindakan melanggar hukum (Moffit, 1993 dan Witte, 1997). Menurut beberapa studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa tingkat pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kejahatan (Kerry L. Papps dan Rainer Winkelmann, 1999, Anna Nilsson and Jonas Agell, 2003 dan Eric D. Gould, Bruce A. Weinberg, and David B. Mustard, 2002).
Sehingga kombinasi antara keduanya (pengangguran berusia muda) akan sangat mengkhawatirkan. Bahkan bukan tidak mungkin peningkatan angka pengangguran usia muda akan menimbulkan gejolak sosial yang berbahaya (Samhadi, 18 Februari 2006).
Wallahu alam,
Thursday, January 05, 2006
Islam as a Tool of Modernization
A big worry in Iraq and the wider Middle East is that Islam and modernization are enemies. But Malaysian history over the past three decades shows that this belief is mistaken. In fact, Islamization has proved to be an effective political means of reconciling the majority of Malays to the country’s rapid economic development.
In the early 1970’s, when it was still an overwhelmingly agrarian country and Islamization was just gaining momentum, Malaysia embarked on its so-called “New Economic Policy” (NEP), designed to help the majority Malays gain a bigger share of the country’s wealth. After three decades of spectacular economic growth, many Malays have become prosperous and content not only through secular capitalism, but through the country’s renewed sense of Islamic identity, one which – for the most part – embraced modernization. (Of course, paradoxes appear every now and then, such as when globalization is advocated alongside demands for stronger censorship.)
Islamic-minded politicians such as Anwar Ibrahim gained prominence when Islamization took off in the 1970’s. But the Islam they promoted was not backward looking; instead, it sought to shape a modernizing economic policy that took note of Muslim sensibilities.
Faced with the grassroots popularity of this movement, by 1982 the government of then Prime Minister Mahathir Mohamed decided to co-opt Anwar Ibrahim into his United Malays National Organisation (UMNO), the dominant party within the country’s ruling coalition. The strategy worked well, and helped defuse Islamic opposition to the wrenching changes that accompanied the country’s rapid economic modernization.
During the 1990’s, however, Anwar increased his influence within the party, unsettling many of the old guard. Matters came to a head after the 1997 financial crisis, when Anwar, the deputy prime minister, adopted an even more economically liberal approach than Mahathir. Partly in response to this challenge, Anwar was sacked.
Anwar’s bizarre trial and sentencing on charges of sodomy and abuse of power invigorated the reformasi movement, as growing anti-UMNO and anti-Mahathir sentiments took hold among Islamic-minded Malays. This culminated in poor electoral results for the ruling coalition in November 1999.
The Islamist party, Parti Islam SeMalaysia (PAS), took power in the states of Kelantan and Trengganu and strongly threatened UMNO in other northern states. The personal conflict between Mahathir and Anwar thus led to an apparent rupture between Malaysia’s Islamist political forces and the modernizers of UMNO.
So, once again, Mahathir felt pressure to adopt a strategy aimed at preventing Islam from becoming a tool of opposition. This impulse strongly affected his choice of a successor when he decided to step down as prime minister. His choice of Abdullah Badawi, the current prime minister, helped UMNO regain the Islamist moral high ground that the PAS had been claiming.
It was the beginning of America’s global “war on terror” in 2001, however, that brought the political march of the Islamist parties to a screeching halt, as it provided an excuse for the government to crack down on the Malay right and the PAS.
But this only renewed UMNO’s desire to portray itself as sufficiently Islamist. So, before stepping down, Mahathir went so far as to declare Malaysia a de facto Muslim state. Eyebrows were raised and questions were asked about the lengths to which Mahathir would go to counteract the Islamist appeal.
This trend continues. One of Badawi’s first acts after taking over as prime minister in October 2003 was to introduce the concept of Islam Hadhari. This vague term was finally fleshed out with a list of ten principles in September 2004, all but one of which, however, was without religious connotations. Nevertheless, this move appeared to be all that was needed for Islam-minded voters to return to the fold of the ruling front.
In the general election in March 2004 – the first since Mahathir stepped down after 22 years in power – moderate Muslims helped Abdullah Badawi to a landslide victory. The release of Anwar Ibrahim soon afterwards raised the new premier’s prestige further as a leader who could heal intra-Malay, and intra-Muslim, conflicts.
Since then, Abdullah Badawi has been popularizing the concept of “Hadhari,” shaping it as a means to shift Islam’s focus from its sanctioning function to its civilizing potential and rendering it less ideological. In Malaysia today, Islam is being presented as a generator of civilization and culture, and not merely as a source of religious inspiration. This has helped to counter extremist tendencies domestically and provides a conceptual platform for moderate Islam. Islam Hadhari tries to project the idea that UMNO’s materialism and nationalism do not contradict Islam.
With various feints and strategies, Malaysia has effectively managed the tensions between a secular, modernizing agenda and the Islamic faith that the Malays profess. By making Islamists and Islamist sentiments a part of the process of modernization, Malaysia demonstrates that Islamic faith and economic growth can be reconciled if politicians are clever enough not to treat them as contradictions.
Ooi Kee Beng is a Fellow at Singapore’s Institute of Southeast Asian Studies, and Coordinator of its Malaysia Studies Program.
Copyright: Project Syndicate, 2005.www.project-syndicate.org