Thursday, March 15, 2007

Demokrasi Vs Pertumbuhan Ekonomi

Tanggal 24 Februari 2007 silam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Boediono dikukuhkan sebagai guru besar UGM. Salah satu poin dalam pidato tersebut adalah kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Menurut beliau pertumbuhan ekonomi harus diutamakan terlebih dahulu karena akan mengurangi risiko kegagalan demokrasi, selain itu juga untuk menciptakan kelompok pembaharu yang nantinya akan memperkuat proses modernisasi dan demokrasi. Hal ini dikarenakan pada tingkat penghasilan rendah, masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari. Kebutuhan demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu keberlanjutan demokrasi. Berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500 (Zakaria, 2003).

Bagaimana dengan Indonesia? Jika dihitung berdasarkan PPP-dolar 2006, penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar, masih agak jauh dari batas aman demokrasi (6000 dolar). Sehingga salah satu prioritas utama bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia adalah memacu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based). Selain itu, pertumbuhan ekonomi tersebut harus memenuhi satu syarat lain, yaitu berasal dari kegiatan-kegiatan enterpreneunerial dalam iklim kompetisi yang sehat (Boediono, 2007). Dari beberapa hal diatas, poin terpenting adalah pertumbuhan ekonomi. Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan ekonomi pemerintah saat ini adalah memacu pertumbuhan ekonomi.

Paradigma mengutamakan pembangunan ekonomi dibanding demokrasi merupakan fenomena umum di negara sedang berkembang, terutama Asia. Hal ini didasarkan pada tiga hal, pertama, anggapan bahwa demokrasi, kebebasan sipil dan kebebasan politik akan menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini dikenal dengan nama Lee thesis. Kedua, jika masyarakat miskin diberi pilihan antara memiliki kebebasan berpolitik dan memenuhi kebutuhan ekonominya, mereka akan memilih yang terakhir. Ketiga, kemerdekaan politik, kebebasan dan demokrasi adalah nilai-nilai barat dan kurang cocok dengan budaya Asia (Sen, 1999).

Padahal disisi lain, demokrasi diperlukan juga dalam penentuan arah kebijakan ekonomi negara. Artinya masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan ekonominya. Dengan mengutamakan pembangunan ekonomi tanpa dibarengi atau didahului dengan kebebasan berekspresi, maka pemerintah akan memonopoli arah kebijakan bangsa. Dan ini bisa juga memunculkan friksi-friksi yang akan membahayakan arah pembangunan ekonomi itu sendiri, bahkan bisa mengakibatkan stagnasi, kemunduran dan krisis ekonomi.

No comments: