Sunday, February 26, 2012

Cooking Time (part 2)

Tempe Garit Bawang Uyah dan Tumis!

Setelah beberapa kali merencanakan masak-masakan lagi dan ndak jadi-jadi, akhirnya acara memasak bareng pun kejadian. Sebenarnya udah agak kemalaman sih, late dinner. Udah jam 19.30 saya baru berangkat dari kos menuju rasuna, acara masak-pun baru mulai jam 20.00 dibarengi rasa lapar yang mengusik nurani untuk segera memakan makanan yang udah matang.

Malam ini masak tempe dan tumis, saya sih kebagian masak tempe, sesuai kemampuan. Tempe garit bumbu bawang uyah! Ini menu favorit saya sejak kecil, ibu saya sering memasak ini untuk kami sekeluarga, masakan mudah, murah meriah dan tentu saja enak. Mudah bukan saja dalan artian mudah cara memasaknya, tapi juga cara dapetin tempenya.

Tempe Garit Bawang Uyah

Jadi caranya begini, cari tempenya dulu yang pasti, kalau mau yang enak, cari tempe bungkus daun yang segitiga, yang dibikin satu persatu. Biasanya diluarnya ada bungles kertas dan alat penguncinya bukan strapless, tapi biting yang di runcingi di kedua sisi trus ditusukkan agar lipatan bungkus kertas dan daun gak lepas. Berhubung agak susah nyari tempe bungkus daun di Jakarta, ada sih tapi bukan yang satu-satu, tapi yang gedhe, panjang gitu kayak yang bungkus plastik.

Kalau udah ada tempenya tinggal ditelanjangi deh, buka bajunya trus dipotong sesuai selera. Enaknya sih agak tipis dan motongnya miring, trus digarit garis disisi yang lebar, di sisi kanan dan kiri. Digarit itu disayat tipis-tipis dibentuk kayak sarang lebah, biar bumbunya lebih meresap. Setelah itu dimasukkan ke bawang uyah yang udah di ulek dan dikasih air dikit, paling gak biar tempenya bisa tercelup. Celup-celup, didiamkan sebentar, panaskan wajan beserta minyaknya dan goreng sampai berwarna kecoklatan.

Ternyata saya pun sudah tidak bisa menahan lapar, alhasil setiap mengangkat tempe dari penggorengan, satu tempe jadi korban, dicuwil trus dimakan sebagai camilan penahan lapar.

Tumis Gado-gado

Ini saya asal ngasih nama aja sih, yang masak Ani dan saya hanya bantu aduk dikit-dikit sambil memperhatikan bumbu dan caranya, belajar dikit. Saya kasih nama gado-gado soalnya semua bumbu dimasukin, mulai dari terong, jamur, kol trus apa lagi sampai saya lupa. Nah bumbunya itu cuman bawang putih, kalau gak salah bawang merah, trus cabai merah, semuanya cukup dipotong-potong dan tambahkan garam sedikit. Sangat-sangat berwarna, semua rempah masik tanpa diulek.

Jadi langkahnya berbagai bumbu itu ditumis, kurang leboh begini, masukkan minyak sedikit, trus cemplungkan semua bumbu, di goreng kering sebentar. Sampai beraroma yang jelas, jangan terlalu lama, setelah itu masukkan bahan baku yang lain, terong, jamur dan kawan-kawan. Tambahkan sedikit air biar agak berkuah, dan gak gosong pas ditumis. Sambil diaduk terus tentunya. Setelah agak matang masukkan tomat kalau suka, yang jelas akan lebih berwarna, ungu, hijau, merah dan putih!

Oh iya, ada yang hamper lupa, kebetulan kita berdua penggemar telur! Jadi dari kemaren masak pertama kali sampai sekarang ini selalu ada menu telur dan sekarang cukup telur godog yang tinggal memasukkan telur bulat-bulat kedalam air mendidih sampai matang, tandanya kalau udah matang sih, telur tenggelam, atau sebaliknya ya? Setelah itu diangkat dan siap disajikan, gak repot kan?

Sebagai teman ketika akan dimakan, bisa ditambahkan sambal bawang cabe hijau, atau saos kalau udah gak kuat nahan laper lagi. Untuk minuman bisa disajikan sesuai selera, the manis hangat kalau memang anda seorang jawa tulen, atau the tarik, jika melayu, atau jus biar lebih sehat. Atau bisa juga red wine kalau anda tidak bermasalah dengan minuman semacam itu. Nah, yang paling enak tentu saja dinikmati bersama keluarga atau orang terdekat yang dicintai, eaaaaa..

Selamat membaca dan jangan lupa ngiler kalau emang bener-bener kepengen, boleh dicoba juga sih…

Saturday, February 18, 2012

Menuliskan Indonesia (part 3)

Voila! Setelah beranjak dari Sumatera dan Jawa, saatnya ke Bali.


Bali adalah misteri, dalam arti yang sebenarnya. Masih banyak hal-hal yang belum terungkapkan disini, banyak mitos dan hal-hal mistis lainnya yang menjadi kepercayaan masyarakat Bali dan masih bertahan sampai saat ini, inilah keunikan Bali. Dan inilah Bali, ketika modernisasi melaju dalam balutan tradisi. Mungkin tdak ada daerah di Indonesia yang begitu banyak orang asingnya selain di Bali, yang bahkan orang lebih mengenal bali dibanding Indonesia.

Dimulai dari Kuta, tempat yang paling ramai dan paling dekat dengan Bandara Ngurah Rai, pintu masuk ke Bali selain pelabuhan Gilimanuk tentu saja. Kalau dulu, menuju ke Bali melalui darat harus mengantri dulu berjam-jam sebelum bisa menyeberang dengan kapal ferry dimana banyak anak yang siap terjun ke laut dengan lemparan koin seratus perak (pertama kali ke bali jaman SMU). Sekarang, ke bali hanya perlu satu klik pesan tiket di internet, bayar pakai kartu kredit atau ATM dan Voila!! Sudah bisa mendarat di Ngurah Rai yang begitu dekat dengan Kuta, Legian, Seminyak.

Bali Selatan, ini yang paling banyak dikenal oleh wisatawan, karena keramaian memang bisa ditemukan disini. Sebut saja Jimbaran tempat makan malam sambil menikmati sunset di bibir pantai. Atau Uluwatu, dimana kita bisa menikmati tari kecak bersamaan dengan tenggelamnya matahari di pinggir tebing samping pura uluwatu. Atau sekedar menikmati minuman dan snack di Rock Bar sambil menunggu sunset.

Ada lagi Nusa Dua, dimana tempat Konvensi International biasanya diselenggarakan. Hotel-hotel mewah begitu banyak dibangun saat ini, di Bali Selatan. Kita juga bisa menikmati bermacam-macam permainan air di Bali Selatan, parasailing, banana boat dan lain sebagainya. Atau kalau memang ingin benar-benar menikmati pantai, kita bisa hanya sekedar berjalan menyusuri pantai sambil ngobrol sambil menghabiskan waktu sore. Masih ada lagi sisi lain bali yang menarik, bali barat, bali tengah (ubud) dan juga bali utara. Saya belum pernah ke bali utara.

Oke, sedikit menyeberang ke Nusa Tenggara Barat. Tradisi yang sangat beda ditemukan disini, kalau di Bali mayoritas Hindu, di NTB mayoritas penduduknya muslim. Masih belum terlalu ramai disana, hanya beberapa titik yang saya pernah kunjungi, di senggigi dan tentu saja yang paling asyik adalah Gili’s. Tiga pulau kecil dengan pantai pasir putih yang begitu indah dan pemandangan bawah laut yang begitu ciamik.

Lain lagi di NTT, saya baru sekali menginjakkan kaki di Kupang, itupun hanya mampir tidur, karena hanya satu hari. Jadi ceritanya transit di Bali dan pesawat delay, sehingga sampai Kupang sudah sore dan paginya harus menuju ke Surabaya. Kesannya sih lebih gersang dan menurut saya lebih maju Lombok di banding Kupang. Mulai dari fasilitas Bandaranya (Bandara El Tari) dan juga suasana kotanya.

Saturday, February 11, 2012

Cooking Time




Ternyata sudah lama juga gak menyentuh dapur, setelah kepindahan dari rumah gathel di akhir tahun lalu. Ternyata dapur itu juga bisa bikin kangen, aromanya, kesibukannya dan kadang belepotannya itu yang ngangeni. Terus terang, yang saya suka dari rumah gathel salah satunya adalah dapur, meskipun agak belepotan dan sempit. Dapur itu tempat dimana kita bisa bereksperimen dengan sayuran dan rempah! Ya, rempah, mungkin beberapa orang menganggap remeh khasiat rempah namun benda inilah yang mengubah wajah dunia dengan kolonialisme yang konon diawali dengan perburuan rempah.

Dan akhirnya sayapun kembali bergumul dengan dapur, di apartemen Rasuna. Lumayan lah akhirnya ada yang sukarela membiarkan dapurnya saya ublek-ublek (istilah jawa yang saya gak tahu bahasa indonesianya). Thanks Ani yang udah menyediakan dapurnya, oh iya, Ani itu sepupu saya, hehe.. Dapurnya sangat komplit dan lega, bersih, sangat berbeda dengan dapur di #RumahGathel tempat saya tinggal sejak pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. #RumahGathel itu sebutan bagi kontrakan kami di setiabudi yang memang gathel, lingkungannya dan juga bangunannya.

Kompor di dapur cukup besar, ada 4 tungku atau apalah namanya, yang mengeluarkan api. Trus disampingnya ada kran yang digunakan untuk mencuci perabotan, kemudian di sebelah kirinya lagi ada tempat yang buat mengiris atau mempersiapkan bahan masakan. Dan diujung paling kiri ada kulkas. Jadi semua sudah ada dan mudah terjangkau, betul-betul surga dunia (mulai lebay). Maklum, dapur dirumah saya di jogja itu kecil dan semua peralatannya nyampur agak berantakan.

Nah, saatnya memasak, kebetulan beberapa hari yang lalu saya ke Semarang dan membeli Bandeng Juwana vacuum. Saya sengaja beli yang vakum agar bisa tahan beberapa bulan, karena memang saya “Dapurless” atau gak punya dapur, jadi harus nyari-nyari dapur yang bisa direcokin buat masak, dan itu butuh waktu dan kesabaran.

Bahan yang dibutuhkan gak banyak, hanya telur, sedikit garam, cabe merah dan sedikit ketelatenan dan kecintaan pada dapur, Ahay.. Bikinnya gak susah sih, tapi ceritanya panjang kemana-mana. Jadi ceritanya begini;

1. Bandeng ditelanjangi dari plastiknya, dikeluarkan paksa kalau agak susah, tenang gak ada yang namanya pelanggaran HAB (Hak Asasi Bandeng). Setelah itu, iris sesuai dengan kebutuhan, nah ini tugas saya untuk mengiris-iris. Mungkin tampang saya memang agak sadis, jadi cocok di bagian ini, pegang pisau lagi. Caranya tinggal disiapkan telenan (alas) dan pisau, kemudian eksekusi dimulai, bagi badan bandeng ke dalam beberapa bagian agak kecil biar bisa digoreng garing.

2. Nah, untuk bagian kocok mengkocok telur itu bagiannya ani, siapin mangkok dan sendok, pecah telurnya dan masukkan kedalam mangkok, trus kocoklah pakai sendok hingga merata bercampur antara kuning dan putih telur, sedikit berbuih sih biasanya. Trus kasih garam sesuai selera, jangan terlalu banyak sih, bandengnya udah agak asin, ntar jadi telur asin, gak enak dan gak baik juga bagi penderita darah tinggi.

3. Kalau mau sedikit berbeda tambahkan saja dengan irisan cabe merah, yang ini improvisasi karena kebetulan di meja ada cabai merah merona yang menggoda iman, keliatan ingin disantap. Setelah itu, ceburkan bandeng yang telah di iris ke dalam telur yang sudah dikopyok. Dan kemudian taburkan irisan cabai merah dalam adonan telur dan bandeng.

4. Langkah selanjutnya, sebenarnya bisa dilakukan simultan sih, panaskan penggorengan dengan sedikit minyak dan kalau ada mentega, bisa dipakai mentegabiar lebih beraroma. Aroma mentega goring itu maknyus, beda dengan aroma minyak goreng, ya iyalah..

5. Tunggu sampai minyaknya hangat, jangan terlalu gedhe apinya, nanti gosong. Jangan dipegang juga minyak gorengnya, nanti tangannya ikutan kegoreng *kriuk. Semua yang berlebihan itu tidak baik, termasuk api penggorengan yang berlebihan, bisa bikin gosong dan bikin panas ruangan dapur (keringetan). Ani menyebut memasak itu olahraga, ya karena berkeringat, bagi saya makan itu olehraga, karena berkeringat juga :p.

6. Kalau minyak sudah hangat, masukkan bandeng yang telah dilumuri telur satu per satu. Tunggu sampai agak kecoklatan kemudian dibalik, biar merata, biar adil, jangan berat sebelah nanti gak enak. Disini kita diajarkan manfaat dari bersikap adil, biar merata dan tentu saja agar enak masakannya #mendadakbijak.

7. Nah, kalau sudah tinggal diangkat dan disantap bersama dengan nasi hangat dari rice cooker dan sambal yang sudah satu paket dengan bandengnya.



Makan makanan yang dimasak dengan kehangatan persaudaraan itu bagaimanapun juga rasanya tak terlukiskan, enak lah pokoke. Mungkin inilah kenapa ketika saya masih kecil Ibu saya selalu menyuruh anak-anaknya untuk membantu beliau memasak. Masakan yang dimasak dalam kebersamaan itu rasanya beda, ada hal-hal yang lebih dari sekedar rasa makanan, ada nilai-nilai kebersamaan, keakraban rasa persaudaraan yang lebur dalam sebuah makanan. Yang jelas, memasak bersama keluarga itu memupuk keakraban, menjadikan hubungan keluarga menjadi lebih kohesif, apalagi setelah itu dimakan bersama-sama, sambil saling curcol, eaaa. Sekian, soalnya saya mendadak lapar..

Sunday, February 05, 2012

Jakarta dengan Tanda Tanya ??


Jakarta? Ada satu kata dari Om saya yang selalu terngiang tentang Jakarta: “Kalau bisa nyari uang di luar Jakarta, jangan tinggal di Jakarta, amit-amit.” Mungkin benar, selama ini dia tidak tinggal di Jakarta, bahkan juga tidak di Indonesia, mungkin Jakarta terlalu riuh, semrawut, kurang beradab. Apapun bisa dilakukan di Jakarta, konon yang tidak boleh di Jakarta itu hanya merokok di POM Bensin dan masuk masjid pakai alas kaki (sandal/Sepatu).

Lalu apa yang diharapkan dari sebuah kota yang begitu karut marut? Mungkin ini bukan hanya dialami Jakarta, namun juga kota besar lain di Dunia dan juga kota-kota besar lain di Indonesia, ketika hampir semua penduduknya pendatang dan hanya berpikir bagaimana mencari uang dan sedikit mereguk kebahagiaan dari gemerlap kota megapolitan.

Pertanyaan ini seringkali menghinggap, bahkan terlalu sering mungkin, bukan hanya bagi saya, mungkin juga beberapa orang yang tinggal di Jakarta. Lihat saja bagaimana mereka (orang-orang jakarta) meninggalkan Jakarta ketika akhir pekan tiba. Sesuatu yang bisa terlihat dengan mudah dari susahnya mencari tiket keluar kota ketika hari libur tiba, terutama ketika long weekend.

Belum lagi kalau melihat wajah-wajah sayu di dalam angkutan umum Jakarta, baik ketik berangkat kerja maupun ketika pulang kerja. Bagaimana tidak, sebagian dari mereka adalah komuter yang tinggal di sekitar Jakarta. Mereka berangkat ke kerja pagi buta dan pulang ketika malam tiba, hidup mereka habis di jalan. Belum lagi kalau hujan disore hari menjelang pulang kerja, jalanan menjadi parkiran raksasa yang menahan semua untuk diam sejenak seolah mengheningkan cipta.

Dan keheranan saya akan Jakarta bertambah ketka tadi siang datang ke Pameran Properti di JCC. Wow, harga property di Jakarta naudzubillah!! Kalau mau yang agak di dalam kota pilihannya apartemen aka rumah susun. Untuk apartemen dua kamar dengan luas 33m2 seharga 260 juta-an. Itu pun lokasinya di dalam, di daerah Pancoran dekat kalibata, di pinggir sungai. Begitu juga untuk lokasi di Jalan Pramuka, harganya gak terlalu beda jauh. Untuk di kawasan sekitar Cakung (Kantor Walikota Jakarta Timur) harganya lebih murah, sekitar 140 juta (subsidi).

Nah, kalau rumah, harganya sudah minta ampun untuk di dalam Jakarta. Rata-rata lokasi perumahan di Depok, Bekasi, Serpong, Tangerang, itupun dengan harga diatas 200 juta, untuk luas tanah 100m2 harganya di kisaran 300-400 juta. Kalau dengan kredit KPR 15 tahun, cicilannya sekitar 2-4 juta/bulan. Bayangkan saja 15 tahun baru lunas tuh rumah, itupun dengan cicilan yang tidak sedikit. Untuk PNS seperti saya tentu saja bikin pusing tujuh keliling, dengan gaji yang segitunya.

Mendadak teman bercerita tentang keinginannya untuk membeli tanah di Jogja dan membangun rumah disana. Ketika di jogja dia sudah survey beberapa tanah dengan kisaran harga 500-600 ribu per meter. Jadi kalau seratus meter persegi bisa didapat dengan duit 50-60 juta! Dan setahu saya, pengembang di sana gak terlalu mahal, apalagi kalau susah kenal dengan tukang dan kontraktornya, bisa dinego lah pokoknya. Katanya Jakarta itu buat kerja dimasa muda lah, tapi jangan berpikir untuk seterusnya di Jakarta, Kota seperti Jogja bisa menjadi pilihan setelah tuntas di masa muda.

Yak, mendadak keinginan untuk kembali di Jogja muncul kembali. Kalau Jakarta masih saja seperti ini, apa yang bisa diharapkan? Bukan hanya dari mahalnya property, tapi juga buat kehidupan anak-anak (emang punya?). Kata-kata itu kembali muncul: “Kalau bisa mencari duit di luar Jakarta, jangan hidup di Jakarta!!”. Jadi bagaimana Jakarta??

Friday, February 03, 2012

Tanpa Rencana

Apa yang tidak mengesankan dari sesuatu yang baru
Yang membuatmu tidak ingin meninggalkannya

Meskipun mungkin itu akan mempercepat rasa bosanmu
Rasa Bosan yang datang bersama keraguan

Tapi bagaimana kalau rasa bosan tak kunjung datang
Dan Keraguan menjadi harapan

Mungkin itulah cinta,
Yang datang tanpa rencana

Ketika sesuatu yang membosankan pun terasa menyenangkan
Ketika kau rela untuk melakukannya tanpa paksaan

Cinta tak pernah memaksa,
karena cinta datang tiba-tiba tanpa rencana

Apakah ini anugrah atau cobaan
Hanya Tuhan yang tahu

Apakah akan berakhir, atau menjadi kisah tanpa akhir
Hanya Tuhan yang tahu

Berdoa, mungkin itu yang bisa dilakukan selain berusaha
Dan merawat apa yang ada,

Menjalani tanpa keluhan
Melewati tanpa banyak tanya

Tanpa paksaan
Dengan kerelaan

Dengan senyuman
Tanpa rencana..