Monday, March 26, 2007

Beras dan Lingkaran Kemiskinan

Saat ini masyarakat sedang dipusingkan dengan kenaikan harga beras. Yang paling terpukul dengan kenaikan harga beras ini tentu saja masyarakat miskin yang saat ini berjumlah 39,1 juta orang. Dengan adanya kenaikan harga beras ini mereka dihadapkan pada beberapa pilihan. Pertama mengurangi konsumsi beras yang juga berarti mengurangi porsi makan, yang tadinya 3 kali sehari menjadi dua kali sehari dengan kualitas lauk yang juga berkurang. Kedua, mempertahankan jumlah konsumsi beras dengan konsekuensi mengurangi pos pengeluaran lainnya, misalnya untuk pendidikan maupun kesehatan. Ketiga, beralih ke komoditas lain, seperti nasi aking maupun ketela.


Ketiga hal diatas jelas bukan merupakan pilihan yang tidak menyenangkan, karena ketiganya memiliki konsekuensi lanjutan yang cukup mengkhawatirkan. konsekuensi dari pilihan pertama adalah mereka akan mengalami kekurangan pasokan energi dan sangat mungkin mengalami kekurangan gizi. Sehingga produktivitas mereka akan berkurang. Dan bisa jadi akan mengurangi pendapatan mereka, karena mayoritas masyarakat miskin mengandalkan tenaga dalam pekerjaan mereka.


Pilihan kedua adalah dengan mengurangi pos pengeluaran lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Kalau ini yang terjadi, maka yang menjadi korban adalah anak-anak. Dengan minimnya anggaran pendidikan dan kesehatan dalam keluarga sangat mungkin nasib mereka di masa depan tidak akan jauh berbeda dengan nasib kedua orang tua mereka saat ini. Untuk pilihan ketiga, dengan beralih ke nasi aking maupun ketela, maka bisa jadi asupan kebutuhan kalori dibawah kebutuhan yang semestinya. Konsekuensinya mirip dengan pilihan pertama.


Dengan gambaran diatas maka akan sangat sulit bagi masyarakat miskin untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan. Karena mereka masih disibukkan dengan pertanyaan, bagaimana untuk bisa hidup pada hari ini. Sehingga tidak pernah terpikirkan di benak mereka, bagaimana agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik di masa depan.


Maka tidaklah mengherankan jika pemerintah kemudian melakukan impor beras sebesar 500.000 ton untuk menekan harga beras. Pertanyaannya kemudian adalah apakah menurunkan harga beras adalah keputusan yang tepat? Karena sebagian besar masyarakat miskin Indonesia berprofesi sebagai petani. Sehingga dengan menurunkan harga beras berarti juga akan menurunkan harga jual produk mereka, meskipun mereka seringkali tidak menikmati berkah dari kenaikan harga tersebut.


Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah, pertama adalah mengatasi ulah para tengkulak atau pedagang yang seringkali keterlaluan. Karena membuat petani tidak memiliki daya tawar terhadap produk mereka. Selain itu para tengkulak dan pedaganglah yang paling diuntungkan dari naiknya harga beras. Kedua, pemerintah bisa mengembalikan fungsi bulog seperti dulu. Sehingga bisa membeli beras secara langsung dari petani dengan harga yang menguntungkan petani, meskipun disisi lain tetap menjaga harga beras murah. Artinya subsidi diberikan secara langsung kepada petani dengan membeli gabah mereka pada kisaran harga yang cukup tinggi.

Thursday, March 15, 2007

Demokrasi Vs Pertumbuhan Ekonomi

Tanggal 24 Februari 2007 silam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Boediono dikukuhkan sebagai guru besar UGM. Salah satu poin dalam pidato tersebut adalah kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Menurut beliau pertumbuhan ekonomi harus diutamakan terlebih dahulu karena akan mengurangi risiko kegagalan demokrasi, selain itu juga untuk menciptakan kelompok pembaharu yang nantinya akan memperkuat proses modernisasi dan demokrasi. Hal ini dikarenakan pada tingkat penghasilan rendah, masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari. Kebutuhan demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu keberlanjutan demokrasi. Berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500 (Zakaria, 2003).

Bagaimana dengan Indonesia? Jika dihitung berdasarkan PPP-dolar 2006, penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar, masih agak jauh dari batas aman demokrasi (6000 dolar). Sehingga salah satu prioritas utama bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia adalah memacu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based). Selain itu, pertumbuhan ekonomi tersebut harus memenuhi satu syarat lain, yaitu berasal dari kegiatan-kegiatan enterpreneunerial dalam iklim kompetisi yang sehat (Boediono, 2007). Dari beberapa hal diatas, poin terpenting adalah pertumbuhan ekonomi. Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan ekonomi pemerintah saat ini adalah memacu pertumbuhan ekonomi.

Paradigma mengutamakan pembangunan ekonomi dibanding demokrasi merupakan fenomena umum di negara sedang berkembang, terutama Asia. Hal ini didasarkan pada tiga hal, pertama, anggapan bahwa demokrasi, kebebasan sipil dan kebebasan politik akan menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini dikenal dengan nama Lee thesis. Kedua, jika masyarakat miskin diberi pilihan antara memiliki kebebasan berpolitik dan memenuhi kebutuhan ekonominya, mereka akan memilih yang terakhir. Ketiga, kemerdekaan politik, kebebasan dan demokrasi adalah nilai-nilai barat dan kurang cocok dengan budaya Asia (Sen, 1999).

Padahal disisi lain, demokrasi diperlukan juga dalam penentuan arah kebijakan ekonomi negara. Artinya masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan ekonominya. Dengan mengutamakan pembangunan ekonomi tanpa dibarengi atau didahului dengan kebebasan berekspresi, maka pemerintah akan memonopoli arah kebijakan bangsa. Dan ini bisa juga memunculkan friksi-friksi yang akan membahayakan arah pembangunan ekonomi itu sendiri, bahkan bisa mengakibatkan stagnasi, kemunduran dan krisis ekonomi.