Thursday, January 25, 2007

Konsekuensi Logis Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 2006

Kenaikan gaji/tunjangan DPRD di era Otonomi Daerah (Otoda) sebenarnya bukan hal baru. Pada awal pelaksanaan Otoda gaji/tunjangan yang diterima DPRD sudah naik dengan signifikan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh SMERU tahun 2002, di provinsi Sumatra Utara, gaji DPRD setelah Otoda naik 300%. Di kabupaten Lombok Barat kenaikannya lebih tinggi lagi, yaitu sebesar 330%, dan yang paling tinggi adalah Provinsi Sumatra Barat, yaitu 460%.

Disisi lain, pelaksanaan Otoda juga dibarengi dengan adanya transfer pegawai. Adanya alih-status pegawai pusat ke daerah menyebabkan terjadi kelebihan pegawai terutama di tingkat propinsi. Propinsi Jawa Barat, misalnya, menerima 5.459 orang pegawai pusat, atau meningkat 45% dari jumlah pegawai sebelumnya. Propinsi Sumatera Utara yang sebelumnya mempunyai pegawai 10.044, mulai Januari 2001 harus mengurus 38.398 pegawai. Sejak 1 Januari 2001, jumlah pegawai Kabupaten Kudus meningkat menjadi 8.875 orang, dari sebelumnya 1.184 orang.

Banyaknya pegawai yang harus ditanggung oleh Pemda tersebut menguras sebagian besar anggaran daerah. Kenyataan ini menyebabkan besarnya DAU yang diterima daerah menjadi semu, karena sebagian besar dipakai untuk belanja pegawai dan tidak menambah dana untuk pembangunan daerah. Di Sumatra Utara belanja pegawai di era Otoda meningkat sebesar 321%, di Nusa tenggara Timur kenaikannya sebesar 258%, kemudian di Kabupaten Lombok Barat, kenaikannya sebesar 159%.

Kenaikan jumlah pegawai kemudian ditambah dengan kenaikan gaji/tunjangan DPRD di era Otoda mengakibatkan kenaikan anggaran rutin lebih besar dari kenaikan anggaran pembangunan. Kenaikan anggaran rutin daerah seluruh Indonesia secara rata-rata paska pelaksanaan Otoda sebesar 206%. Angka tersebut lebih besar dari rata-rata kenaikan anggaran pembangunan daerah yaitu 183% (Wibowo, 2004).

Kenaikan gaji/tunjangan DPRD sebagaimana yang diatur dalam PP No. 37/2006 tentu saja akan menaikkan anggaran rutin Pemda. Di Provinsi DIY, untuk memenuhi PP tersebut pemda mengalokasikan dana tambahan dalam APBD 2007 sebesar Rp 13 miliar, atau setara dengan 866 rumah tahan gempa senilai Rp 15 juta per unit.

Ada dua pilihan bagi pemda untuk menutup kenaikan anggaran tersebut. Yaitu dengan mengurangi porsi anggaran pembangunan atau menaikkan PAD. Pengurangan porsi anggaran pembangunan berarti kesejahteraan masyarakat di daerah akan semakin menurun. Padahal diketahui bahwa tingkat kemiskinan semakin meningkat dan kasus busung lapar juga terjadi di beberapa daerah.

Pilihan kedua adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan adanya Kenaikan PAD berarti akan ada kenaikan pajak, retribusi dan pungutan lain yang harus dibayarkan oleh masyarakat maupun pengusaha. Padahal banyak pengusaha yang sudah mengeluh dengan adanya berbagai macam pungutan dari pemda. Untuk mengurangi biaya produksi akibat kenaikan pajak/pungutan tersebut, bisa jadi pengusaha akan melakukan pemotongan jumlah karyawan (PHK). Jika terjadi PHK tingkat pengguran akan meningkat, kemudian berimbas pada kenaikan angka kemiskinan di daerah.

Wednesday, January 24, 2007

Belajar dari Penerima Nobel (Perdamaian)


Pramoedya A.T. adalah orang Indonesia pertama yang masuk nominasi peraih nobel, meskipun hingga akhir hayatnya hal tersebut tidak terwujud. Tapi Pram adalah satu-satunya orang Indonesia yang berkali-kali masuk dalam nominasi peraih nobel (sastra). Selain Pram ada dua orang Indonesia yang juga dinominasikan sebagai peraih nobel, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Keduanya dinominasikan sebagai peraih nobel perdamaian atas keberhasilannya menyelesaikan konflik Aceh dengan damai.

Namun lagi-lagi impian orang Indonesia untuk memperoleh Nobel tidak terwujud. Ternyata yang nobel sastra adalah Orhan Pamuk (54) seorang penulis Turki. Kemudian yang memperoleh memperoleh Nobel Perdamaian adalah Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank. Pemberian penghargaan Nobel Perdamaian kali ini benar-benar diluar dugaan. Karena M. Yunus tidak pernah dijagokan sebagai peraih nobel perdamaian.

Salah satu pertimbangannya adalah bahwa M. Yunus berhasil menghilangkan akar penyebab konflik, yaitu kemiskinan. Sebagai contoh, konflik Aceh dan Papua berakar dari kemiskinan masyarakat di dua daerah tersebut. Padahal mereka mempunyai SDA melimpah dan menghasilkan uang sangat besar, namun masyarakat disana tidak pernah memperolah bagian dan tetap miskin. Sehingga kemudian muncul kelompok (GAM dan OPM) yang memperjuangkan hak-haknya dengan jalan apapun.

Bersama dengan Grameen bank yang didirikannya Muhammad Yunus berhasil mengentaskan masyarakat miskin Bangladesh dari kemiskinan. Yaitu dengan jalan memberi mereka akses ke sumber pendanaan tanpa agunan. Sehingga jutaan warga miskin Bangladesh berhasil keluar dari jeratan lintah darat yang selama ini menghisap mereka. Hebatnya lagi, semua dilakukannya tanpa pamrih apapun dan berasal dari hati nuraninya.

Semua berawal dari kegelisahannya dengan banyaknya masyarakat miskin di Bangladesh yang berjuang melawan kelaparan. Namun dia sebagai seorang ekonom yang sebenarnya memiliki kompetensi untuk mengatasi permasalahan tersebut, justru hanya berkutat di ruang kuliah memberikan teori-teori ekonomi yang elegan. Diapun kemudian membenci diri sendiri karena bersikap arogan dan menganggap bisa menyelesaikan masalah kemiskinan. Padahal sebenarnya dia tidak tahu tentang masalah kemiskinan di sekitanya. Kemudian dia mulai mempelajari kemiskinan disana dan mengembangkan konsep pemberdayaan kaum miskin.

Di Indonesia sebenarnya sudah banyak program pengentasan kemiskinan yang mencontoh apa yang telah dilakukan Grameen Bank. Namun banyak diantara program tersebut hanya sekedar berjalan tanpa ada hasil yang nyata. Salah satunya penyebabnya mungkin adalah semuanya bukan didasari oleh niat yang tulus. Tapi banyak yang memanjadikan pengentasan kemiskinan sebagai proyek dan berusaha untuk meraup untung dari proyek tersebut. Jadi semakin banyak orang miskin juga berarti akan semakin banyak proyek dan juga berarti akan semakin banyak keuntungan materi yang akan diraupnya. Inilah “mungkin” salah satu penyebab kurang maksimalnya program pengentasan kemiskinan di negeri ini.

Masa Depan Posisi Indonesia di ASEAN


Kami, angkatan muda, dengan segenap-genap kepercayaan di hati sebagai kekuatan yang menggerakkan, bangkit menjadi pemutar baling-baling sejarah masa depan.”

Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa.




ASEAN secara resmi didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Pada dasarnya pembentukan ASEAN di dasari oleh alasan strategis dan kemanan. Meskipun demikian, tujuan pembentukan ASEAN - seperti yang tertuang dalam deklarasi Bangkok - adalah untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan kebudayaan di kawasan ASEAN. Sejak ASEAN didirikan, Indonesia telah banyak berperan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Meskipun demikian kita tidak boleh terlena dalam romantika sejarah, kita harus bisa membuat sejarah baru yang lebih baik. Atau dengan kata lain, kita harus bisa berperan lebih banyak lagi dalam perjalanan ASEAN di masa depan.

Masa depan adalah milik generasi muda, bukanlah generasi tua ataupun mereka yang menjadi pemimpin ASEAN saat ini. Generasi muda-lah yang akan menentukan arah perkembangan ASEAN pada sepuluh atau duapuluh tahun mendatang. Sejarah membuktikan bahwa anak muda merupakan agen perubahan yang sanggup merubah arah perjalanan bangsa, bahkan dunia. Hal ini lebih dikarenakan sikap anak muda yang cenderung idealis, progressif, memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkan apa yang diinginkannya dan tidak takut akan rintangan apapun.

Oleh karena itu kedudukan generasi muda menjadi sangat penting, baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Karena sumber daya yang paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa, bukan modal fisik ataupun sumber daya material, namun sumber daya manusia. Sehingga kita harus memiliki generasi muda yang berkualitas untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.



Pengangguran dan Tingkat Pendidikan

Jika dilihat dari jumlah penduduk usia muda yang cukup besar, Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk bisa berbicara di tingkat ASEAN pada masa yang akan datang. Menurut data BPS pada tahun 2004, penduduk berusia muda (usia 15-24 tahun) sebesar 39 juta atau 25,5% dari total populasi Indonesia. Jumlah tersebut masih lebih besar daripada jumlah penduduk Malaysia tahun 2004, sebesar 23 juta. Bahkan jika dibandingkan dengan Singapura yang berpenduduk 2,4 juta (tahun 2004), jumlah penduduk usia muda Indonesia jauh lebih besar.

Jumlah penduduk usia muda yang cukup besar, justru akan menjadi masalah bila tidak dibekali dengan keahlian dan tingkat pendidikan yang memadai. Pada tahun 2004 sebanyak 5,7 juta penduduk Indonesia yang berusia 16-18 tahun sudah tidak bersekolah lagi. Mereka adalah yang tidak menyelesaikan pendidikan lanjutan (SMU) atau bahkan tidak pernah masuk SMU. Kemudian pada tahun yang sama, sebanyak 20,3 juta penduduk Indonesia yang berusia 19-24 tahun, sudah tidak bersekolah lagi. Jumlah tersebut adalah 72,4% dari total populasi penduduk di usia tersebut. Mereka kemudian menjadi pekerja atau menjadi pengangguran. Yang mengkhawatirkan adalah ketika mereka tidak bekerja dan menjadi pengangguran.

Dari data diatas bisa dilihat bahwa tingkat pendidikan generasi muda indonesia masih cukup memprihatinkan. Hal tersebut masih ditambah dengan angka tingkat pengangguran terbuka usia muda yang cukup besar, bahkan cenderung mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Perpaduan antara tingkat pendidikan yang rendah dan tingginya tingkat pengangguran usia muda berpotensi meningkatkan angka kriminalitas bahkan bisa memunculkan gejolak sosial yang berbahaya.



Pendidikan dan Kewirausahaan

Tingkat pendidikan yang rendah dan pengangguran yang tinggi merupakan masalah serius bagi anak muda. Untuk mengatasi permasalahan tersebut bisa dilakukan dengan menyediakan pendidikan yang memadai dan menumbuhkan semangat kewirausahaan. Ada dua hal yang bisa menarik minat untuk menempuh pendidikan, yaitu harapan untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan baik secara langsung maupun tidak langsung (terjangkau). Sehingga pendidikan bagi generasi muda paling tidak harus bisa memenuhi dua hal tersebut.

Masalah kewirausahaan juga merupakan masalah yang cukup penting, agar generasi muda bisa menciptakan lapangan pekerjaan mereka sendiri sehingga bisa ikut mengatasi masalah pengangguran. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membangun usaha kecil, baik formal maupun informal yang dikenal lebih tahan terhadap krisis ekonomi. Ketahanan usaha kecil terhadap krisis ekonomi telah terbukti pada tahun 1998 saat krisis melanda Asia Tenggara. Selain itu, banyak kisah usahawan sukses kelas dunia yang merintis usaha mereka sejak mereka berusia muda. Diantaranya adalah Bill Gates - salah satu orang terkaya di dunia - yang merintis usahanya dari nol di usia muda.

Dalam konteks ASEAN, perlu dibangun jaringan anak-anak muda ASEAN dalam bidang pendidikan (akademis) dan kewirausahaan. Jaringan tersebut bisa digunakan untuk melakukan penelitian bersama, baik dalam bidang sosial maupun teknologi. Hal ini di mungkinkan karena setiap bangsa memiliki keunikan tersendiri dan keunggulan masing-masing. Jaringan usahawan muda diharapkan bisa lebih mengasah kemampuan kewirausahaan dengan bertukar pengalaman menjalankan bisnis di masing-masing negara. Bahkan sangat dimungkinkan untuk bisa bekerjasama membangun jaringan bisnis usahawan muda ASEAN. Jaringan tersebut diharapkan bisa menjadi kerajaan bisnis ASEAN di masa yang akan datang. Sehingga tujuan untuk mewujudkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya bisa terwujud.

Kedua hal tersebut harus segera diupayakan agar generasi muda Indonesia tidak menjadi generasi yang frustasi. Generasi yang justru akan memperburuk kondisi bangsa ini. Namun generasi muda Indonesia harus menjadi generasi yang cerdas, kreatif, percaya diri dan tidak gamang dengan globalisasi yang melanda dunia saat ini. Suatu generasi yang akan membawa kemajuan bangsa dan mampu berperan di tingkat regional (ASEAN).


Kesimpulan

Masa depan adalah milik anak muda, sehingga agar Indonesia bisa lebih memiliki peran di ASEAN harus bisa mencetak anak muda yang berkualitas. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dan melatih keahlian berwirausaha sejak dini. Selain itu juga harus dibiasakan untuk berbaur dan bekerjasama dengan bangsa lain agar lebih memahami bangsa lain dan tidak minder jika berhadapan dengan bangsa lain. Jika tidak, alih-alih mau berperan di tingkat ASEAN mungkin berperan di negara sendiri-pun sulit, karena generasi muda masih dihadapkan pada permasalahan diri sendiri (masalah pendidikan dan lapangan kerja).


Referensi:

Gould, Eric D., Bruce A. Weinberg, and David B. Mustard (2002), Crime Rates And Local Labor Market Opportunities In The United States: 1979–1997, The Review of Economics and Statistics.

McMahon, Walter W. (1999), Education and Development; Measuring the Social Benefits, Oxford University Press, New York.

Nilsson, Anna and Jonas Agell (2003), Crime, Unemployment And Labor Market Programs In Turbulent Times.

Papps, Kerry L. dan Rainer Winkelmann (1999), Unemployment And Crime: New Evidence For An Old Question.

Prabowo, Dibyo dan Sonia Wardoyo (2004), AFTA; Suatu Pengantar, BPFE, Yogyakarta.

Todaro, Michael P. (1997), Economic Development, 6th ed., Adisson Wesley Longman Limited, London.

Toer, Pramoedya Ananta (2002), Anak Semua Bangsa, Hasta Mitra, Jakarta.

Witte, Ann Dryden and Robert Witt (2001), Crime Causation: Economic Theories, Encyclopedia of Crime and Justice.



Statistik :

BPS, Statistik Indonesia, berbagai edisi.

ASEAN Statistical Yearbook 2005.