Friday, May 18, 2012

Tentang doa dan Motivator berbayar..

Beberapa hari lalu saya dan sepupu secara sengaja nonton acara golden ways di Metro TV. Sepanjang acara kami hanya ketawa-ketawa dan saling memberi komentar yang tak putus-putus. Mirip komentator bola yang tak pernah ngasih waktu kosong barang sedetik pun, begitu juga kami mengomentari golden ways, tidak heran kalau sampai ada yang bilang bahwa hidup tak semudah cocote mario teguh :D

Kami komentar apa saja, mulai dari gaya penampilannya yang terlalu disetting, bagaimana cara berbicara bahkan tersenyum. Dibikin seolah-olah menjadi yang paling bijak, pencitraan abis! Tapi inilah dunia kita sekarang, ketika segala sesuatu dikemas sedemikian rupa agar kita terpengaruh. Dunia yang dibentuk oleh ilmu marketing, bagaimana menjual image atas barang, bukan barang itu sendiri. Sehingga kualitas bukan lagi yang utama, namun persepsi kita atas barang tersebut menjadi yang utama. Jadi kurang lebih, dunia ini dibentuk atas dasar persepsi?? Mungkin inilah kenapa kemudian semua menjadi begitu rumit..

Kenapa bisa begitu, apa yang disampaikan oleh para motivator menurut saya bukan barang yang baru. Kebajikan atau spiritualitas kalau saya boleh menyebutnya demikian, bisa dijumpai di hampir semua ajaran agama, selain itu juga bisa dijumpai pada kisah-kisah tokoh agama. Bahkan sangat bisa dijumpai pada kisah orang-orang sukses terdahulu, sehingga benar kata bung karno, Jangan sekali-kali melupakan Sejarah!

Salah satu yang dibahas adalah tentang Doa, apakah kita layak berdoa? jelas saja iya, dalam salah satu ayatnya Tuhan berfirman: "Berdoalah Kepadaku, Niscaya aku kabulkan (QS. Al-Mu'min: 60)". Jadi tidak ada alasan lagi kita mempertanyakan alasan kita berdoa. Kalau kita masih ragu dengan doa kita yang (mungkin) tidak dikabulkan, mungkin kita harus kembali melihat tingkat pemahaman agama kita. Kalau memang ragu dengan hal itu, berarti kita juga meragukan janji Tuhan? atau bahkan jangan2 kita ragu kepada Tuhan.

Memang doa itu tidak langsung terkabul. Masalahnya adalah kita seringkali hanya menghitung musibah, tanpa pernah menghitung nikmat yang kita peroleh. kalau dihitung-hitung sangat mungkin lebih banyak nikmat yang kita peroleh dibanding musibah. Misalkan saja ketika kita bangun pagi, bukankah itu nikmat tak terhingga bahwa kita masih diberi kehidupan dan kesehatan? dan ketika kita sedikit saja tersandung, kita langsung mengeluh seolah orang yang paling susah didunia. Bayangkan saja kalau misalnya kita langsung bablas atau tidak bangun ketika pagi, mungkin kita juga tidak bisa protes, karena sudah Innalillahi, tapi kalau bangun dan kemudian kesandung kita mengeluh setengah mati, semoga Tuhan tidak menyesal telah membangunkanmu nak..

Kalau menurut saya hidup itu ekuilibrium, kita sering tertimpa musibah, namun kita juga seringkali mendapatkan nikmat tak terduga. Misalnya sedang gak ada duit buat makan, mendadak teman kita nraktir. Atau ketika kita ingin pulang kampung, mendadak kantor menugaskan ke kota tempat kelahiran kita atau ke kota yang dekat dengan kampung kita sehingga bisa pulang kampung dengan fasilitas tugas. dan lebih banyak lagi. Atau ketika kita ingin pup, mendadak lewat kamar mandi umum, atu ketika di perjalanan lewat pom bensin yang biasanya ada tempat pup.

Bersyukur, mungkin itu kunci agar kita tidak senantiasa mengeluh, selain itu mungkin bisa dilakukan melalui belajar kearifan atau makna spiritualitas, bisa dari baca Alquran dengan maknanya, membaca kitab suci agama lain, ataupun kisah-kisah tokoh agama, seperti nabi atau saint. Atau cobalah luangkan waktu sejenak untuk membaca entah itu ajaran agama (apapun) atau membaca kisah hidup orang sukses ataupun pembaharu seperti Nabi Muhammad, Founding Fathers Indonesia, Nabi Isa, Gandhi, Aung San Suu Kyi, Mother Theresa dan lain sebagainya, sehingga kita tahu bagaimana susahnya perjuangan mereka, agar kita tidak menjadi manusia yang cengeng, galau dan mudah mengeluh. Kehidupan mereka tidak mudah, bahkan mungkin secara sengaja mengorbankan kenyamanan hidup untuk membahagiakan orang, hidup untuk orang lain. Seperti kata mbah Sudjiwo Tedjo ketika ditanya agamanya apa; Agamaku adalah membahagiakan orang lain.  Hidup memang tidak semudah perkataan mario teguh, beliau itu hanya berusaha menyampaikan agar kita lebih bijak dalam menjalani kehidupan. tidak ada yang salah dari pernyataan beliau, kearifan, spiritualitas, tapi ketergantungan kita pada para motivator adalah kesalahan. Apalagi kalau kita kemudian harus membayar mahal hanya agar mendengar ceramah mereka. Menurut saya itu konyol.

Mungkin kita terlalu banyak meminta, berharap, berhitung bahwa setelah melakukan sesuatu harus ada balasan sesuatu yang lain. Seringkali cara Tuhan itu memutar, tidak langsung, tapi memberi nikmat dengan cara lain yang seringkali tidak kita duga dan mungkin tidak kita syukuri karena menganggap sebagai hal yang biasa. Apakah kita perlu motivator, iya! tapi darimana, itu bisa darimana saja..  yang namanya motivator itu bisa siapa saja, bisa saja dari teman kita. Dan itulah gunanya berbagi, baik dengan keluarga dan orang-orang terdekat, merekalah yang menurut saya motivator kita, karena tanpa pamrih, tidak perlu ongkos.. Dan selalu siap kapanpun kita membutuhkan mereka...

Kalau Tuhan ya itu tidak perlu kita tanyakan lah apakah kita butuh atau gak, ya iyalah!! Tuhan sudah memberi kita segalanya, bahkan memberi kita Garansi, berdoalah niscaya Aku kabulkan! jadi menurut saya berdoalah kapanpun dan dimanapun, bukan hanya ketika kepepet, namun kita juga harus berusaha. jangan trus doa doa doa tapi tanpa usaha, lha itu sama aja kita ngomong ama kerjaan, selesai-selesai-selesai tapi tidak kita kerjain ya gak bakal kelar... Bahkan Tuhan juga pernah berfirman, kalau tidak salah dalam Hadits Qudsi, "Aku adalah apa yang dipersangkakan umatKU"... Kalau kita berprasangka buruk, bisa jadi sangat buruk, kalau berprasangka baik akan sangat baik, tergantung pilihan kita yang mana...?