Sunday, November 30, 2008

Sepur

Tingkat kepadatan pemukiman yang cukup tinggi di Kota Jogja sedikit mengusik kerinduan kita akan adanya ruang publik di tengah-tengah kita. Sebuah ruang yang bisa digunakan untuk bersantai, bermain bagi anak-anak, bersosialisasi antar sesama dan lebih banyak lagi yang bisa kita lakukan di ruang ini. Saat ini, semakin banyak tanah lapang beralih fungsi menjadi pemukiman. Jalan kampung-pun semakin sempit, di beberapa wilayah, jalan kampung hanya selebar 1 – 1,5 meter. Jadi kalau ada dua pengendara motor bertemu, salah satu harus berhenti atau mundur mencari ruang yang agak longgar untuk berpapasan.

Keterbatasan ruang ini cukup menyusahkan bagi orang tua (ortu) yang memiliki anak kecil. Apalagi ketika menyuruh anak mereka makan, mereka biasanya mengajak jalan-jalan sambil menyuapinya. Pada saat saya kecil, kegiatan itu biasa dilakukan di dalam kampung sambil nonton pemuda kampung bermain layang-layang atau bola di tanah lapang kampung. Tidak adanya tanah lapang dan keberadaan jalan yang sempit tidak memungkinkan bagi ortu dan anak berjalan-jalan di dalam kampung, kalau berpapasan bisa kerepotan sendiri.

Akhirnya ortu mencari lokasi lain, salah satunya di bawah jembatan layang lempuyangan. Setiap sore ruangan sempit di sebelah barat teteg sepur bagian utara selalu dipadati oleh ortu yang mengajak anak mereka jalan-jalan sekaligus menyuapinya. Di lokasi tersebut sepur lalu-lalang, maju-mundur pindah jalur, masuk ke stasiun, ataupun masuk ke bengkel sepur di sebelah timur jembatan pempuyangan. Frekuensi lalu-lalang sepur (kereta api) yang cukup tinggi inilah yang dijadikan hiburan anak-anak.

Beberapa tahun lalu, lokasi tersebut belum begitu ramai, paling hanya beberapa anak dan ortu. Sekarang beberapa penjual makanan dan minuman, mulai dari penjual sate ayam hingga siomay, ikut nimbrung. Bahkan ada juga yang menjual jasa permainan anak, odong-odong. Lokasi tersebut akhirnya menjadi pusat keramaian baru yang memberi rejeki bagi warga yang hidup dari sektor informal.

Beberapa anak dan ortu yang tidak kebagian ruang di bawah jembatan, masuk ke lingkungan stasiun, tepatnya di sebelah selatan rel, dekat menara pengawasan। Ternyata bukan hanya anak-anak dan ortu mereka yang tertarik melihat sepur. Beberapa muda-mudi yang memadu kasih juga tidak mau ketinggalan, mereka bermesra-mesra diatas motor sambil nonton sepur. Mereka sebenarnya juga merindukan keberadaan ruang publik yang sudah begitu terbatas di kota ini. Penyelesaian yang dipilih-pun cukup sederhana, yaitu nonton sepur !

Semakin lama, lingkungan tersebut akan semakin ramai. Penonton sepur akan semakin banyak, begitu juga dengan penjual jasa dan makanan. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika pemerintah dengan alasan ketertiban menutup ruang tersebut dan melarang mereka “nonton sepur”. Tentu akan menimbulkan kekecewaan bagi anak-anak dan menghilangkan sumber penghasilan bagi pedagang. Kebijakan ini bukan tidak mungkin terjadi mengingat sebagian penjual sudah mulai menggunakan badan jalan di sebelah utara rel. Jika benar-benar terjadi, ortu harus kembali memutar otak untuk mencari ruang bagi ritual meyuapi anak mereka, begitu juga dengan pedagang, mereka harus mendorong atau memanggul dagangan mereka, mencari keramaian baru untuk sekedar memperoleh sesuap nasi. Semoga saja pemerintah bisa berlaku bijak.


Thursday, July 10, 2008

Perumahan Alternatif Bagi Rakyat

Ivan A. Hadar (Kompas, 3 Maret 2007) menjelaskan bahwa kemauan politik pemerintah dan semua pihak dalam mencari keseimbangan di antara berbagai kepentingan pelaku perumahan adalah dua syarat utama yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masalah perumahan di Indonesia. Dia mencontohkan kasus sukses Singapura dan Jerman dalam mengatasi masalah perumahan warganya dengan pembangunan rumah secara massal.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah program tersebut bisa menyelesaikan masalah perumahan rakyat di Indonesia. Disatu sisi, pemerintah juga dihadapkan pada permasalahan keterbatasan anggaran. Disisi lain, warga menengah ke bawah yang hidup di perkotaan biasanya menggantungkan diri dari sektor informal, mulai dari pemulung hingga pedagang kaki lima. Sehingga hampir bisa dipastikan bahwa penghasilan mereka tidak tetap dan kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan mereka untuk membeli rumah yang dibangun pemerintah tersebut layak dipertanyakan, meskipun dengan sistem cicilan.

Karena ketidakmampuan mereka untuk membayar cicilan rumah, mereka akhirnya akan kembali membangun rumah dengan cara mereka sendiri, entah itu di bantaran sungai, maupun di bawah jembatan. Pemerintah kemudian akan menggusur mereka, dan mereka akan membangun lagi di lokasi lain. Kejadian tersebut terus berulang dan menjadi semacam lingkaran setan.

Penyelesaian masalah perumahan dengan membangun rumah susun juga tidak sesuai dengan paradigma pembangunan saat ini yang mengedepankan pemberdayaan rakyat. Dalam kasus tersebut rakyat harus menerima keinginan pemerintah tanpa pernah ditanya apa sebenarnya keinginan mereka. Rakyat seharusnya berpartisipasi secara aktif untuk ikut menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Sebuah Alternatif

Adakah alternatif lain untuk menyelesaikan masalah perumahan dengan biaya yang lebih murah? John F.C. Turner, arsitek asal Inggris sekaligus penulis buku Housing by People, menyatakan bahwa masalah perumahan rakyat di Negara Sedang Berkembang bukan karena ketidakmampuan rakyat dalam membangun rumah, namun akibat dari kesalahan politik pemerintah. Pertama, pemerintah menganggap dirinya bertanggung jawab penuh dalam penyediaan perumahan bagi warganya. Kedua, rumah yang “layak” adalah rumah yang sesuai dengan standar pemerintah. Ketiga, pemerintah berhak merancang, membangun, dan menjual perumahan yang “layak” kepada masyarakatnya dengan harga terjangkau.

Menurutnya, pemerintah maupun pengembang perumahan, tidak akan mampu mengatasi masalah perumahan. Karena perumahan lebih merupakan suatu proses yang berkelanjutan, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan penghuninya, sehingga tidak bisa distandarisasikan. Untuk mengatasinya, perlu ada perubahan peran pemerintah dari perancang, pembangun, pemasok perumahan standar serta penggusur perumahan liar menjadi fasilitator.

Sebagai fasilitator, pemerintah hendaknya menghilangkan monopoli definisi rumah layak huni dan juga standardisasi perumahan rakyat. Pemerintah seharusnya mendorong masyarakat untuk membangun rumah dengan biaya sendiri. Pemerintah hanya menyediakan fasilitas yuridis (pemberian hak guna tanah dan status tanah), infrastruktur pendukung (listrik, air, jalan) dan bimbingan teknis (mengenai teknik bangunan, kesehatan, dan lingkungan).

Di Indonesia, meskipun memiliki potensi untuk dilaksanakan, namun sekali lagi, hambatan utamanya adalah dari pemerintah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tidak diterimanya usulan untuk mengesahkan perumahan liar. Atau dengan kata lain, pemerintah enggan untuk memberikan fasilitas yuridis, berupa pemberian hak guna tanah dan pengesahan status tanah yang ditempati masyarakat miskin kota.

Alternatif dari Sebuah Alternatif

Jalan lain yang sangat mungkin dilakukan untuk menyelesaikan masalah kebutuhan perumahan di Indonesia adalah dengan meniru cara Romo Mangun ketika membangun pemukiman Code-Gondolayu. Dalam proses pembangunannya, Romo Mangun mendukung kehendak rakyat untuk tetap bermukim dilokasinya dan melanjutkan kegiatan ekonominya. Dia bersama teman-temannya kemudian mengabdikan dirinya secara langsung mulai dari penataan kembali lingkungannya, perancangan kembali rumahnya, pembangunannya, pengecatannya hingga pembiayaannya. Selain itu sisi sosial ekonominya juga dibangun, mulai dari pembentukan pengurus kampung, koperasi simpan pinjam hingga kelompok belajar anak-anak.

Dalam perjalanannya, hambatan terberat yang dihadapi Romo Mangun adalah bagaimana memperoleh pemberian hak guna tanah dan pengesahan status tanah oleh pemerintah (tidak digusur). Untuk memperjuangkan usahanya, Romo Mangun mengancam akan melakukan mogok makan, jika penggusuran pemukiman Code tetap dilakukan oleh pemerintah.

Dari kasus tersebut kita bisa belajar bahwa pembangunan perumahan untuk masyarakat miskin sebenarnya tidak memerlukan dana yang sangat besar, namun bisa dilakukan secara swadaya. Pembangunan perumahan tidak boleh terpaku pada bangunan itu sendiri, namun juga harus bisa mendukung keberlangsungan hidup penghuninya. Selain itu, juga diperlukan pembangunan sosial-ekonomi agar bisa mengeluarkan masyarakat yang bermukim di daerah tersebut dari jurang kemiskinan.

Romo Mangun telah memperlihatkan bagaimana cinta kasih, ketulusan hati dan inovasi merupakan salah satu kunci utama untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Dan bangsa ini mungkin sudah kehilangan ketiga hal tersebut, sehingga penyelesaian permasalahan yang dihadapi seringkali menyakitkan dan kurang sehat (misal; penggusuran dan relokasi).




Saturday, February 09, 2008

Lasem Sebagai Kota Ziarah

Kota Lasem merupakan sebuah kota tua yang penuh dengan peninggalan kejayaan masa lalu. Peninggalan bersejarah kota Lasem bukan hanya terkait dengan keberadaan etnis Cina yang sudah bermukim selama ratusan tahun dan diduga sebagai generasi pertama masyarakat Cina yang menetap di Jawa, namun juga terkait dengan keberadaan Sunan Bonang sebagai salah satu wali penyebar agama Islam di Jawa. Keunikan Lasem juga terletak pada kerukunan antara etnis Cina dan Jawa yang hidup secara berdampingan selama ratusan tahun. Mereka bahkan pernah bekerjasama mengusir penjajah dari tanah Jawa.

Keberadaan Lasem sebagai jalur masuknya pendatang Cina dan Agama Islam ke Jawa menjadikan Lasem kaya dengan peninggalan religi yang bersejarah. Peninggalan sejarah yang terkait dengan religi di Lasem bisa digolongkan dalam dua kelompok, yaitu terkait dengan agama yang dianut etnis Cina dan terkait dengan keberadaan Sunan Bonang sebagai salah satu wali penyiar Agama Islam di Jawa.



Klenteng dan Kopi

Di Pusat kota Lasem terdapat klenteng Bie Yong Gio yang didirikan pada tahun 1780. Klenteng tersebut didirikan untuk menghormati pahlawan-pahlawan kota Lasem dalam perang melawan V.O.C pada tahun 1742 dan 1750. Perang tersebut dipimpin oleh tiga orang, yaitu Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat) yang merupakan Adipati Lasem (1727-1743) dan mayor Lasem (1743-1750). Kemudian Raden Panji Margono, seorang Islam-Jawa yang menjabat sebagai Adipati Lasem 1714-1727. Yang terakhir adalah Tan Kee Wie seorang pendekar kungfu dan pengusaha di Lasem. Perlawanan tersebut berhasil dipatahkan oleh kompeni atas bantuan pasukan dari madura. Penghormatan terhadap seorang pahlawan Islam-Jawa menunjukkan kerukunan antar Jawa-Cina dan juga menunjukkan toleransi antar umat beragama yang cukup baik.

Setelah melakukan perjalanan napak tilas di klenteng Bie Yong Gio kita bisa beristirahat sejenak dan menikmati Kopi Lelet khas Lasem di warung kopi Pak Gendut yang terletak di samping klenteng tersebut. Di sebut kopi lelet karena endapan air kopi digunakan untuk membatik (nglelet) di batang rokok. Alat yang digunakan untuk membatik bukanlah canting yang sering digunakan untuk membatik di kain, namun batang korek yang ujungnya runcing. Caranya, minuman kopi dituangkan sedikit di piring alas cangkir. Airnya diminum hingga menyisakan endapan kopi, agar endapannya lebih kering digunakan kertas tissu untuk menyerap air. Endapan kopi kemudian dicampur dengan susu kental manis agar lengket, kemudian baru digunakan untuk ngleleti batang rokok. Keberadaan kopi lelet di Lasem menunjukkan kuatnya budaya membatik yang dimiliki masyarakat Lasem yang tidak dimiliki oleh masyarakat daerah lain.



Jejak-jejak Islam

Dari warung kopi pak gendut, kita kembali ke jalan utama lasem dan berjalan ke arah timur. Disinilah dimulai perjalanan untuk menelusuri jejak peninggalan budaya Islam di lasem. Di sebelah selatan jalur utama tersebut kita akan menemukan masjid Lasem yang beberapa saat lalu baru dalam proses pemugaran. Lebih ke timur lagi, akan kita temukan pondok pesantren Al-Hidayah yang didirikan pada tahun 1917 oleh Mbah Ma’sum. Beliau merupakan aktivis Nahdatul Ulama bersama K.H. Hasjim Asj’ari dan beberapa pendiri NU lainnya sejak tahun 1927. Pondok ini cukup terkenal dan banyak menghasilkan tokoh-tokoh nasional. Beberapa alumninya sekarang juga mendirikan pondok pesantren yang banyak tersebar di seantero Jawa.

Tidak terlalu jauh dari pondok Al-Hidayah akan kita jumpai petilasan Sunan Bonang yang terletak diatas bukit dengan pemandangan laut Jawa yang cukup indah. Petilasan tersebut merupakan tempat yang biasa digunakan Sunan Bonang untuk sujud. Disamping petilasan terdapat makam Putri Cempo yang menurut cerita merupakan istri Sunan Bonang. Sayangnya di sepanjang tangga menuju petilasan banyak terdapat peminta-minta yang kadang sedikit memaksa. Dari kompleks petilasan, masuk ke selatan, terdapat makam Sunan Bonang. Makam Sunan Bonang sangat sederhana, merupakan tanah lapang yang dikelilingi pagar. Makam Sunan Bonang terletak ditengah-tengah ditandai dengan tanaman mawar.

Lebih jauh masuk ke desa tersebut bisa kita jumpai Rumah Sunan Bonang yang masih terjaga keasliannya. Rumah tersebut terlihat sebagai rumah Cina. Hal ini sesuai dengan cerita yang berkembang di masyarakat bahwa Sunan Bonang merupakan keturunan Cina. Rumah tersebut saat ini ditempati oleh keturunan beliau. Di selatan rumah tersebut terdapat masjid peninggalan Sunan Bonang. Disana terdapat mimbar tempat khutbah Sunan Bonang yang masih asli. Selain itu, yang cukup menarik adalah sumur masjid yang berbentuk kotak cukup besar, tidak seperti sumur yang umumnya kita temui.



Akhir Perjalanan

Tentu masih banyak lagi peninggalan budaya dan sejarah di kota lasem yang bisa menjadi lokasi tujuan wisata ziarah. Beberapa diantaranya adalah klenteng di daerah Dasun yang dulu dikenal sebagai tempat pembuat kapal yang sempat diaktifkan kembali di masa penjajahan Jepang. Kemudian makam Cina (bong) yang merupakan makam leluhur warga Cina Lasem. Beberapa diantaranya adalah pahlawan Lasem dalam melawan penjajah. Di daerah perbukitan yang terletak di sebelah timur Kota Lasem juga terdapat Vihara Ratanavana Arama. Dimana jalan menuju puncak kompleks Vihara tersebut di penuhi dengan kisah perjalanan Budha mulai dari kelahiran hingga kepergiannya.

Sayangnya beberapa lokasi tersebut kurang terawat dengan baik. Bahkan banyaknya peminta-minta di sekitar lokasi petilasan dan makam Sunan Bonang bisa mengurangi kekhusukan peziarah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar daerah tersebut sangat lekat dengan kemiskinan. Penanganan yang serius dari pemerintah dan pihak-pihak lain diperlukan untuk menjaga agar berbagai peninggalan itu tetap lestari dan tidak punah. Bahkan sangat dimungkinkan jika berbagai situs tersebut dipelihara dan dikelola dengan baik akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat sekitar, bukankah semua agama bertujuan untuk membawa kemakmuran pada umatnya?


"Pernah dimuat di Suara Merdeka, Oktober 2007"