Wednesday, September 12, 2007

Menengok Sistem Keuangan China

Tuntutlah Ilmu Hingga Ke Negeri China”

Hadits Nabi Muhammad S.A.W.


Hadits dalam kutipan diatas telah berusia ratusan tahun, namun masih relevan hingga sekarang. Bagaimana tidak, selama 25 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan ekonomi China secara rata-rata lebih dari 9%. Jika angka tersebut tetap bertahan selama 20 tahun kedepan, dan negara lain di asumsikan tumbuh pada tingkat yang sama dengan kondisi saat ini, maka dibutuhkan 10 tahun untuk melampaui perekonomian Prancis, 14 tahun untuk melampaui Jerman, dan 21 tahun untuk melampaui Jepang. Bahkan jika diasumsikan tingkat pertumbuhan ekonomi AS sebesar 3,63% per tahun, maka hanya dibutuhkan 15 tahun untuk bisa melampaui perekonomian AS dan menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia (F. Allen, J. Qian and M. Qian, 2002).

Kemajuan perekonomian China menjadi menarik karena menjadi contoh sukses campur tangan pemerintah dalam memajukan perekonomian. Hal ini bertolak belakang dengan India yang mengalami kemajuan ekonomi karena lebih didorong oleh keinginan masyarakatnya untuk lepas dari keterbelakangan dan kemiskinan. Telah banyak kajian mengenai keberhasilan pembangunan China dari sisi pertanian dan Industri, namun kajian sektor keuangan China masih jarang ditemukan di Indonesia. Tulisan ini akan berusaha untuk sedikit bercerita mengenai sektor keuangan China.



Dominansi Negara dalam Sektor Keuangan

Ciri utama dari sektor keuangan China adalah campur tangan negara yang cukup besar. Sektor perbankan domestik China, 60-70% dikuasai oleh empat State-own Banks (SOBs). Pada akhir tahun 2001, keempat bank tersebut menguasai 62% dari total tabungan dan kredit usaha, selain itu juga menguasai 80% dari total transaksi bisnis. Padahal kredit perbankan merupakan sumber pembiayaan utama bagi perusahaan-perusahaan China. Pada tahun 1998, kredit bank merepresentasikan 70% dari total pembiayaan. Lebih dari 80 bank komersial perkotaan hanya memiliki porsi 4% dari total bisnis perbankan dalam negeri. Koperasi Kredit Pedesaan yang berjumah 3,200 hanya menguasai 5% dari bisnis perbankan dalam negeri.

Empat bank tersebut adalah The Bank of China, yang bertanggung jawab terhadap aktivitas pertukaran mata uang asing dan pembiayaan ekspor-impor. The Industrial and Commercial Bank of China, yang berspesialisasi dalam pembiayaan bagi sektor industri. The China Construction Bank, secara tradisional fokus pada pembiayaan pembangunan infrastruktur. The Agricultural Bank of China, secara tradisional fokus pada kredit sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Keempat Bank tersebut memiliki misi pembangunannya masing-masing secara spesifik. Dibawah bimbingan negara, SOBs menyalurkan sebagian besar dananya kepada State Owned Enterprises (SOEs) melalui kebijakan kredit murah dengan tingkat bunga dibawah pasar.

Campur tangan pemerintah juga mencakup bagaimana mengurangi ketimpangan regional melalui sektor keuangan. Hal ini dilakukan dengan menarik pajak secara implisit bagi daerah kaya dan mensubsidi daerah yang miskin. Mekanismenya adalah dengan memberikan skema kredit khusus bagi daerah miskin.



Represi Finansial

Besarnya campur tangan pemerintah dalam perekonomian negara sedang berkembang oleh McKinnon disebut dengan istilah financial repression (represi finansial). represi finansial merupakan pembiasan dari tujuan penerapan kebijakan restriktif terhadap sektor keuangan. Instrumen yang digunakan untuk menerapkan kebijakan restriktif adalah dengan mengalokasikan kredit secara selektif dan sektoral. Kebijakan ini ditentang secara frontal oleh kaum liberalis, diantaranya adalah McKinnon dan Shaw.

Secara umum menurut McKinnon-Shaw, penetapan tingkat suku bunga akan mendistorsi pembangunan ekonomi melalui tiga cara. Pertama, tingkat suku bunga yang dipatok rendah akan mendorong konsumen memilih konsumsi sekarang daripada konsumsi akan datang. Sehingga tingkat tabungan menurun dibawah tingkat optimum. Kedua, pemilik modal lebih memilih menanamkan modalnya pada investasi langsung dengan return lebih tinggi daripada mendepositokannya di bank. Hal ini mengakibatkan lending capacity sektor perbankan menjadi rendah.

Ketiga, investor dapat memperoleh dana dengan tingkat suku bunga rendah melalui kredit perbankan. Akibatnya investor akan cenderung memilih proyek-proyek padat modal. Bagi negara berkembang, proyek-proyek padat modal merupakan pemborosan devisa karena tidak memperluas lapangan pekerjaan. Selain itu output yang dihasilkan tidak memiliki keunggulan komparatif, sehingga tidak kompetitif di pasar global.

Diktum McKinnon-Shaw itulah yang menjadi inspirasi bagi terjadinya liberalisasi finansial di beberapa negara sedang berkembang, termasuk Indonesia pada tahun 80-an. Secara umum liberalisasi tersebut terdiri atas, liberalisasi harga (khususnya suku bunga deposito), liberalisasi produk (ragam jasa yang ditawarkan) dan liberalisasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang)

Di beberapa negara, liberalisasi yang bertujuan meningkatkan efisiensi struktur industri perbankan tersebut justru memunculkan fenomena financial crash. Suatu kondisi dimana konglomerat yang menguasai bisnis perbankan memiliki hutang yang jauh lebih tinggi dibanding grup atau perusahaan yang tidak mempunyai bank sendiri. Hutang tersebut banyak diperoleh dari pasar uang internasional yang mengandung resiko tinggi. Sehingga ketika bisnis perbankan dilanda collapse, hutang menjadi tidak terbayarkan. Maka terjadilah financial crash dan penjadwalan hutang luar negeri.



Kasus China; Sebuah Pengecualian?

Apakah restriksi dalam sektor keuangan China mendistorsi pembangunan ekonomi China sebagaimana pernyataan kaum liberal? Data menunjukkan bahwa rasio M2 terhadap GDP (financial depth) China cukup tinggi. Pada tahun 1978 nilainya sebesar 24%, kemudian pada tahun 2004 menjadi sebesar 182%. Rasio tersebut meningkat 30% pada periode 1994-1999 dan 50% pada periode 1999-2004. Tingkat Trend rasio M2 yang tinggi sepanjang waktu menunjukkan bahwa pembangunan sektor keuangan China bisa dikatakan cukup sukses dan kuat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu tingginya tingkat monetisasi dan tingkat tabungan masyarakat. Tingkat tabungan masyarakat China bahkan melebihi Jepang, Korea Selatan dan India (F. Allen, J. Qian dan M. Qian, 2006).

Pinjaman bank-bank komersial terhadap perusahaan dan rumah tangga China sebagai persentase GDP mencapai angka 124%. Angka tersebut dua kali lebih besar dari AS (70%). Sehingga bisa disimpulkan sektor perbankan china telah beralih dari transaction-related operations (aktivitas jangka pendek) ke sistem transaksi jangka panjang. Selain itu ada kecenderungan pengalihan dari pembiayaan pemerintah (dalam hal pembiayaan investasi) kepada pinjaman domestik. Pada tahun 1981, anggaran pemerintah membiayai 28.1% dari total fixed asset investment, sedangkan share dari pinjaman domestik hanya 12.7%. pada tahun 2001, anggaran pemerintah sudah tidak begitu signifikan, sedangkan pinjaman menjadi sumber pembiayaan utama.

Output industri China bisa dikatakan sangat kompetitif di tingkat global. Hal ini terlihat dari membanjirnya produk China ke seluruh dunia dengan harga murah dan kualitas cukup baik. Produk tersebut pada umumnya merupakan produk padat karya. Bukan hanya itu saja, banyak perusahaan China yang telah mengglobal, salah satunya adalah Lenovo yang sukses mengakuisisi IBM-PC, ikon komputer Amerika (Gatra, 2006). Berbagai kondisi diatas menunjukkan bahwa sektor keuangan China yang cenderung restriktif ternyata tidak mendistorsi pembangunan ekonomi China.



Kesimpulan

Meskipun campur tangan negara dalam perekonomian cukup besar, namun Financial depth di China telah mencapai level yang cukup tinggi bahkan melampaui negara maju. Selain itu intermediasi perbankan juga menunjukkan performa cukup baik. Kondisi tersebut menjukkan bahwa China terhindar dari efek negatif represi finansial, bahkan kebijaksanaan represi keuangan China bisa dikatakan berhasil dengan baik. Lebih jauh lagi Maswana (2005) menyatakan bahwa sistem keuangan China tidak bisa dianalisis dengan menggunakan market-based standards, hal ini dikarenakan pembangunan sistem keuangan China tidak mengacu pada standar negara industri maju.

Salah satu kunci sukses sektor keuangan china dalam mendukung pembangunan ekonomi adalah alokasi kredit secara sektoral (He, 2006). Kunci sukses lainnya adalah dengan melaksanakan liberalisasi keuangan di daerah kaya dan memberikan insentif kredit (represi finansial) di daerah yang miskin. Penerapan mekanisme partial convertibility mata uang renmimbi juga merupakan salah satu kunci sukses China. Sistem tersebut terbukti tahan terhadap krisis keuangan yang melanda Asia beberapa tahun silam.


Referensi:

Allen, Franklin, Jun Qian and Meijun Qian, Comparing China’s Financial System, September 2002.

_____, China’s Financial System: Past, Present, and Future, April 2006.

He, Qichun., Gradual Financial Reform, Sectoral Allocation of Credit, and Economic Growth: Evidence from China, Job Market Paper, October 2006

Maswana, Jean-Claude, Reconciling the Chinese Financial Development with its Economic Growth: A Discursive Essay, Working Paper N0. 78, Graduate School of Economics, Kyoto University, Japan March 2005

Permono, Iswardono S., dan Mudrajad Kuncoro, Kebijaksanaan Moneter: Dari “Financial Crash” hingga Bahaya “Financial Repression”, JEBI.

Sang Naga Sang Adikuasa, Laporan Utama Gatra, Majalah Gatra No.51, Thn XII, 8 Nopember 2006.

Sutikno, Pengaruh Kebijakan Liberalisasi Sektor Keuangan Dan Pembangunan Sektor Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia (Periode 1970:1-1997:4), Skripsi Sarjana, FE-UGM, Tidak dipublikasikan, 2002



Artikel yang sama dengan Judul sedikit berbeda bisa dibaca dalam Majalah Equilibrium, Nomor 8/TH XXXIX/2007.

.

Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi, FE-UGM. Email : antasariputra@gmail.com

Monday, August 13, 2007

Lasem yang Selalu Melawan



”Menulis buat saya adalah perlawanan...”

Pramoedya A.T.

Setiap individu, masyarakat maupun negara memiliki bentuk dan sejarah perlawanannya sendiri. Begitu juga dengan Lasem, sebuah Kota Kecamatan di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Pada masa perang cina (1740), Lasem dikenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kompeni. Perlawanan dipimpin oleh Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono dan Tan Kee Wie. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh Kompeni dengan bantuan pasukan dari Madura. Untuk menghormati mereka, masyarakat Lasem mendirikan Kelenteng Bie Yong Gio pada tahun 1780.

Pada masa Perang Jawa Pertama atau perang Diponegoro (1825-1830), beberapa orang Cina Lasem berperan sebagai pengimpor senjata api gelap dari Singapura. Mereka kemudian menyalurkan kepada seorang wanita bangsawan pelarian kraton di Rembang dan selanjutnya diserahkan kepada pasukan Diponegoro. Para penyelundup berhasil ditangkap dan kemudian digantung di depan umum oleh kompeni.

Di masa penjajahan Jepang, Lasem menjadi basis gerakan bawah tanah anti-fasis Jepang. Mereka menyusun kekuatan setelah terdesak dari Surabaya dan Kediri. Gerakan itu berhasil meledakkan tangki-tangki minyak di Cepu, meskipun kemudian terhalau kembali. Selain itu, mereka berhasil menenggelamkan 3 kapal kayu Jepang yang diproduksi di Dasun (Toer, 2005).

Batik Tulis

Berbagai kisah sejarah di atas hampir tidak ditemukan dalam buku sejarah nasional, sehingga tidak banyak yang tahu peran Lasem dalam membentuk sebuah nasion bernama Indonesia. Jika tidak dimunculkan, bukan tidak mungkin nama Lasem akan benar-benar dilupakan. Untunglah Lasem masih memiliki produksi batik tulis pesisiran yang membuat nama kota kecil itu masih dikenal hingga sekarang.

Batik Lasem dikenal luas sejak Abad ke-19, wilayah pemasarannya merambah hingga ke semenanjung Malaka, Asia Timur, Suriname dan Benua Eropa (Khususnya Belanda dan Inggris). Batik Lasem terkenal karena keunikannya sebagai produk persilangan budaya, terutama Jawa dan Cina. Motif Cina bisa dilihat dari motif burung hong, bunga seruni, banji, mata uang, dan lain sebagainya. Adapun motif Jawa bisa dilihat dari motif geometris khas batik vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) seperti parang, kawung, dan udan liris.

Kemunduran

Industri batik Lasem saat ini bisa dikatakan berada di titik nadir. Pengusaha batik Lasem saat ini tinggal 20-an orang, cukup kecil dibanding jumlah pengusaha sebelum krisis yang lebih dari 100 orang. Penyebab kemunduran industri batik Lasem diantaranya adalah krisis ekonomi 1998 yang membuat harga bahan baku (kain dan pewarna) melambung. Kemudian persaingan dengan batik printing dari wilayah lain yang mampu memproduksi batik murah secara masal. Yang terakhir adalah rendahnya minat kalangan muda Lasem terhadap batik, sehingga tidak ada regenerasi pelaku usaha batik, baik pengrajin ataupun pengusahanya.

Yang paling dikhawatirkan dari kemunduran industri batik Lasem adalah nasib masyarakat Lasem yang menggantungkan hidup dari batik. Masyarakat di pusat kota Lasem, adalah pengusaha batik, pedagang batik di pasar Lasem dan penjual jajanan untuk buruh batik di sekitar bengkel batik. Bagi masyarakat pedesaan sekitar kota Lasem, mereka adalah para perempuan pembatik yang berasal dari keluarga petani di sekitar Lasem. Mereka menjadi pengrajin batik untuk menambah penghasilan keluarga.

Dampak kemunduran industri batik bisa terlihat secara langsung dari kurang terawatnya bangunan cina di kota Lasem yang beberapa diantaranya pernah menjadi bengkel produksi batik. Di pedesaan, dampak kemunduran terlihat dari banyaknya perempuan pembatik yang menganggur atau beralih profesi. Dahulu diperkirakan 90% perempuan dewasa di Lasem berprofesi sebagai pembatik. Sekarang diperkirakan kurang dari 20% perempuan yang masih berprofesi sebagai pembatik.

Survei Institut Pluralisme Indonesia (IPI) yang dilakukan pada bulan Oktober 2006-Januari 2007, menunjukkan hanya 33 orang (19%) dari 177 orang pembatik di desa Jeruk, kecamatan Pancur, kabupaten Rembang, yang masih aktif sebagai pembatik. Sedangkan 70 orang (41%) pembatik beralih pekerjaan ke usaha non batik, dan 69 orang (40%) pembatik menganggur (Kwan, 2007). Kondisi ini tentu saja cukup mengkhawatirkan.

Sebuah Perlawanan

Untuk mengambalikan kejayaan batik Lasem dan mencapai kemakmuran Lasem, masyarakat Lasem harus kembali melakukan perlawanan. Tentu saja bukan perlawanan kontak fisik sebagaimana era kolonial, namun sebuah perlawanan terhadap kemunduran Indutri Batik Lasem. Masyarakat Lasem harus melawan serbuan batik dari daerah lain, terutama Pekalongan. Mereka juga harus melawan gempuran tekstil dan produk tekstil dari Cina yang sangat murah. Selain itu, mereka harus bersiap-siap melawan Malaysia yang sudah melakukan persiapan untuk memproduksi batik sendiri dengan mendatangkan beberapa pembatik dari Indonesia untuk memberikan pelatihan disana.

Perlawanan bisa dilakukan dengan melakukan inovasi cara berproduksi, desain, produk turunan, maupun pasar bagi batik. Hal ini sesuai dengan teori Schumpeter, seorang ekonom Austria yang menyatakan bahwa kunci dari kemajuan perekonomian adalah pengusaha yang inovatif, berani mengambil risiko dan memperkenalkan teknologi baru untuk mendorong proses produksi (Pass, 1994).

Saat ini, pengusaha inovatif seperti yang dilukiskan oleh Scumpeter tersebut bisa ditemui di Lasem, namun jumlahnya sangat kecil. Selain itu, usia mereka yang sudah lanjut menimbulkan kekhawatiran tersendiri, terutama terkait dengan masalah regenerasi. Belum lagi jika kita melihat anak muda Lasem yang kurang berminat terhadap batik. Padahal anak muda adalah kunci perubahan dan perlawanan terhadap kemunduran. Sesuai dengan karakteristik anak muda yang cenderung berpikiran progressif, inovatif dan nekat. Pertanyaannya kemudian adalah, sanggupkah generasi muda Lasem menjawab tantangan ini dan kembali membuat sejarah perlawanannya sendiri ? Semoga !

Suara Merdeka, 8 Agustus 2007



Wednesday, June 06, 2007

Krisis ?

Tim Indonesia Bangkit menyatakan adanya ancaman terulangnya krisis 97/98. Salah satu pemicu adalah derasnya arus modal asing dalam bentuk hot money ke Indonesia dan sewaktu-waktu bisa berbalik arah. Selain itu, fenomena terputusnya kaitan antara sektor riil dan finansial juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Sektor finansial saat ini cukup menjanjikan, bisa dilihat dari kinerja pasar modal dan pasar keuangan yang cukup mengesankan. Namun, sektor riil masih terseok-seok berusaha untuk bangkit.
Beberapa kalangan menyatakan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan kondisi 10 tahun yang lalu. Beberapa alasannya adalah, nilai mata uang rupiah tidak lagi dipatok terhadap dolar, keadaan perbankan nasional jauh lebih sehat dan baik, jumlah cadangan devisa melebihi arus hot money yang masuk, terakhir BI sudah memiliki instrumen untuk memonitoring arus modal masuk (Hasan, Sindo, 14/05/07). Meskipun beberapa indikator diatas bisa menjadi alasan tidak terulangnya krisis, namun bukan jaminan bahwa krisis tidak terulang.
Kita harus ingat dengan fenomena krisis yang ditandai dengan inflasi yang melonjak tinggi (galloping). Dalam teori ekonomi dikenal istilah lenins diktum yang menyatakan bahwa “untuk menghancurkan suatu masyarakat bisa dilakukan melalui penghancuran mata uang”. Krisis 1997, bahkan 1965 bisa dijelaskan dengan fenomena ini. Pada tahun 1965 krisis diawali dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi (hyperinflasi). Pada saat itu, bukan hanya harga kebutuhan pokok yang mahal, namun hilang dari pasar. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 1997.
Padahal untuk kasus Indonesia tingkat inflasi sangat tergantung dari kemampuan pemerintah dalam mengendalikan harga, terutama harga bahan pokok (administered price). Kenaikan harga BBM pada tahun 2005 misalnya, secara langsung melambungkan tingkat inflasi bulan November mencapai 8%, sehingga inflasi tahunan menembus angka 2 digit. Kenaikan tersebut tentu saja langung menurunkan daya beli masyarakat dan tentu saja tingkat kesejahteraannya juga anjlok. Begitu juga dengan sektor riil, mereka sangat terpukul dengan kenaikan tersebut, beberapa usaha bahkan tutup dan terpaksa merumahkan karyawan mereka.
Kenaikan harga beras beberapa saat lalu juga menjadi salah satu kehawatiran tersendiri. Selain itu, lambannya pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan beras tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kurang memiliki kemampuan dalam pengendalian harga. Fenomena tersebut kemudian disusul dengan kenaikan harga minyak goreng akhir-akhir ini yang juga cukup membuat masyarakat resah. Kedua kondisi yang cukup bisa melukiskan lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengontrol harga.
Krisis memang bisa muncul dari fenomena makro seperti kurs atau indikator lainnya, namun krisis sangat mungkin muncul dari perut. Atau dari ketidak mampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya akibat harga yang melambung tinggi dan tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai. Ketidak mampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya membuat mereka rela melakukan apa saja asal perut mereka terisi. Sehingga yang terjadi adalah krisis yang dipicu oleh kerusuhan sosial.
Jogja, 15 Mei 2007

Monday, March 26, 2007

Beras dan Lingkaran Kemiskinan

Saat ini masyarakat sedang dipusingkan dengan kenaikan harga beras. Yang paling terpukul dengan kenaikan harga beras ini tentu saja masyarakat miskin yang saat ini berjumlah 39,1 juta orang. Dengan adanya kenaikan harga beras ini mereka dihadapkan pada beberapa pilihan. Pertama mengurangi konsumsi beras yang juga berarti mengurangi porsi makan, yang tadinya 3 kali sehari menjadi dua kali sehari dengan kualitas lauk yang juga berkurang. Kedua, mempertahankan jumlah konsumsi beras dengan konsekuensi mengurangi pos pengeluaran lainnya, misalnya untuk pendidikan maupun kesehatan. Ketiga, beralih ke komoditas lain, seperti nasi aking maupun ketela.


Ketiga hal diatas jelas bukan merupakan pilihan yang tidak menyenangkan, karena ketiganya memiliki konsekuensi lanjutan yang cukup mengkhawatirkan. konsekuensi dari pilihan pertama adalah mereka akan mengalami kekurangan pasokan energi dan sangat mungkin mengalami kekurangan gizi. Sehingga produktivitas mereka akan berkurang. Dan bisa jadi akan mengurangi pendapatan mereka, karena mayoritas masyarakat miskin mengandalkan tenaga dalam pekerjaan mereka.


Pilihan kedua adalah dengan mengurangi pos pengeluaran lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Kalau ini yang terjadi, maka yang menjadi korban adalah anak-anak. Dengan minimnya anggaran pendidikan dan kesehatan dalam keluarga sangat mungkin nasib mereka di masa depan tidak akan jauh berbeda dengan nasib kedua orang tua mereka saat ini. Untuk pilihan ketiga, dengan beralih ke nasi aking maupun ketela, maka bisa jadi asupan kebutuhan kalori dibawah kebutuhan yang semestinya. Konsekuensinya mirip dengan pilihan pertama.


Dengan gambaran diatas maka akan sangat sulit bagi masyarakat miskin untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan. Karena mereka masih disibukkan dengan pertanyaan, bagaimana untuk bisa hidup pada hari ini. Sehingga tidak pernah terpikirkan di benak mereka, bagaimana agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik di masa depan.


Maka tidaklah mengherankan jika pemerintah kemudian melakukan impor beras sebesar 500.000 ton untuk menekan harga beras. Pertanyaannya kemudian adalah apakah menurunkan harga beras adalah keputusan yang tepat? Karena sebagian besar masyarakat miskin Indonesia berprofesi sebagai petani. Sehingga dengan menurunkan harga beras berarti juga akan menurunkan harga jual produk mereka, meskipun mereka seringkali tidak menikmati berkah dari kenaikan harga tersebut.


Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah, pertama adalah mengatasi ulah para tengkulak atau pedagang yang seringkali keterlaluan. Karena membuat petani tidak memiliki daya tawar terhadap produk mereka. Selain itu para tengkulak dan pedaganglah yang paling diuntungkan dari naiknya harga beras. Kedua, pemerintah bisa mengembalikan fungsi bulog seperti dulu. Sehingga bisa membeli beras secara langsung dari petani dengan harga yang menguntungkan petani, meskipun disisi lain tetap menjaga harga beras murah. Artinya subsidi diberikan secara langsung kepada petani dengan membeli gabah mereka pada kisaran harga yang cukup tinggi.

Thursday, March 15, 2007

Demokrasi Vs Pertumbuhan Ekonomi

Tanggal 24 Februari 2007 silam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Boediono dikukuhkan sebagai guru besar UGM. Salah satu poin dalam pidato tersebut adalah kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Menurut beliau pertumbuhan ekonomi harus diutamakan terlebih dahulu karena akan mengurangi risiko kegagalan demokrasi, selain itu juga untuk menciptakan kelompok pembaharu yang nantinya akan memperkuat proses modernisasi dan demokrasi. Hal ini dikarenakan pada tingkat penghasilan rendah, masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari. Kebutuhan demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu keberlanjutan demokrasi. Berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500 (Zakaria, 2003).

Bagaimana dengan Indonesia? Jika dihitung berdasarkan PPP-dolar 2006, penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar, masih agak jauh dari batas aman demokrasi (6000 dolar). Sehingga salah satu prioritas utama bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia adalah memacu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based). Selain itu, pertumbuhan ekonomi tersebut harus memenuhi satu syarat lain, yaitu berasal dari kegiatan-kegiatan enterpreneunerial dalam iklim kompetisi yang sehat (Boediono, 2007). Dari beberapa hal diatas, poin terpenting adalah pertumbuhan ekonomi. Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan ekonomi pemerintah saat ini adalah memacu pertumbuhan ekonomi.

Paradigma mengutamakan pembangunan ekonomi dibanding demokrasi merupakan fenomena umum di negara sedang berkembang, terutama Asia. Hal ini didasarkan pada tiga hal, pertama, anggapan bahwa demokrasi, kebebasan sipil dan kebebasan politik akan menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini dikenal dengan nama Lee thesis. Kedua, jika masyarakat miskin diberi pilihan antara memiliki kebebasan berpolitik dan memenuhi kebutuhan ekonominya, mereka akan memilih yang terakhir. Ketiga, kemerdekaan politik, kebebasan dan demokrasi adalah nilai-nilai barat dan kurang cocok dengan budaya Asia (Sen, 1999).

Padahal disisi lain, demokrasi diperlukan juga dalam penentuan arah kebijakan ekonomi negara. Artinya masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan ekonominya. Dengan mengutamakan pembangunan ekonomi tanpa dibarengi atau didahului dengan kebebasan berekspresi, maka pemerintah akan memonopoli arah kebijakan bangsa. Dan ini bisa juga memunculkan friksi-friksi yang akan membahayakan arah pembangunan ekonomi itu sendiri, bahkan bisa mengakibatkan stagnasi, kemunduran dan krisis ekonomi.

Tuesday, February 27, 2007

Lomba UKS

Dulu ketika masih sekolah, entah itu SD, SMP maupun SMU kita sering mendengar kata-kata LOMba UKS (klo gak salah UKS = Usaha Kesehatan Sekolah). Sekolah kemudian bersolek dengan sedemikian rupa, tembok yang tadinya sudah agak muram dicat, taman sekolah mulai dihijaukan kembali, tanaman-tanaman yang sudah mati diganti. Bahkan yang lebih hebat lagi adalah, lahan kosong di pojok sekolah disulap menjadi apotik hidup. Apotiknya memang hidup, tapi mungkin hanya satu bulan, setelah itu gak ada yang hidup.

Kejadian itu terjadi secara rutin, entah satu tahun sekali atau 2 tahun sekali, tapi setiap menginjak pada satu tingkatan tertentu (SD,SMP,SMU) kita pasti akan mengalami yang namanya lomba UKS. Kalau dipikir-pikir sebenarnya lucu juga, karena kemudian Sekolah berusaha untuk memperbaiki diri agar pada saat hari penilaian UKS terlihat baik, semarak (emang Mall!), dengan fasilitas yang komplit dan memadai. Tapi beberapa hari kemudian segalanya kembali seperti semula, ruang UKS yang apek, sumpek dan isinya anak-anak yang melarikan diri dari pelajaran (yang tentu saja membosankan) atau dari acara upacara yang menyebalkan, membosankan. Entah yang lucu itu sekolahnya atau yang mengadakan lomba, seoalnya kalau mau serius mengadakan lomba seharusnya kabar peninjauan sekolah jangan sampai bocor, karena akan menghasilkan bias dalam penilaian.

Kejadian yang sama, kali ini juga terjadi pada adik saya yang masih SD. Pada hari ini Sekolahnya akan kedatangan tim penilai lomba UKS. Berbagai persiapan dadakan juga dilakukan (lucu juga, dari dulu sampai sekarang gak berubah, pokoke ndadak), mulai dari disuruh ngumpulin tanaman dalam pot, memotong kuku dan sikat gigi sebelum berangkat ke sekolah (emang kalau gak ada lomba, tidak sikat gigi ?), hingga membawa bekal makanan dari rumah. Dari semua itu kemudian muncul berbagai macam kejadian unik, konyol dan bahkan ada yang membuat iba.

Ada salah satu temen adikku yang gara-gara tidak memperoleh tanaman terong untuk dikumpulkan tidak mau masuk sekolah. Bahkan lebih parah lagi gara-gara itu dia sakit panas, maklum anak kecil. Tapi itu kan sudah bisa dikategorikan sebagai teror. Soalnya si anak kemudian mengalami ketakutan bahkan hingga sakit. Karena untuk memperoleh tanaman terong juga bukan hal yang mudah, mengingat di pasar, tanaman itu dijual setiap satu pasar sekali, tiap LEgi (hari pasaran penanggalan Jawa, terdiri atas Pon, Paing, Wage, Kliwon, Legi), jadi kalau mau beli tanaman itu di pasar ya harus nunggu lima hari sekali.

Cilakanya, perintah untuk mengumpulkan tanaman itu pas di hari pasaran (legi). Dan tanaman itu harus dikumpulkan tiga hari kemudian. Padahal anak-anak baru pulang sekolah sekitar jam 12, otomatis harus langsung menuju pasar. Untung saja adikku ketika itu langsung ke pasar dan dapat tanaman itu, kalau gak ya bisa jadi gak mau berangkat sekolah. Yang lebih mengagetkan lagi adalah, ternyata acara lombanya diundur, nah lho, piye kui. Udah susah-susah nyari tanaman bahkan hingga sakit, ternyata diundur.

Kondisi seperti diatas bukan hanya terjadi di sekolah, bahkan dikantor pemerintah-pun juga demikian. Ketika ada kunjungan dari pejabat yang lebih tinggi, maka semua pegawai akan berusaha untuk tampil sebaik mungkin. Ada yang kemudian sok kerja, ngetik, padahal biasanya main soliter atau zuma. Ada juga yang kemudian sibuk membalik-balik kertas, dengan memasang tampang serius seolah-oleh sedang mencari file yang penting, padahal biasanya hanya ngisi TTS. Dan lebih banyak lagi kejadian yang sebenarnya konyol tapi ironis.

Tapi lebih jauh lagi, ternyata pada level negara-pun hal itu juga terjadi. Seperti ketika diadakan acara peringatan 50 tahun KAA dibandung beberapa tahun lalu. Bandung kemudian bersolek, melakukan pengecatan di kanan kiri jalan, dan yang paling utama adalah menutup samapah. Karena pada saat itu Bandung mengalami permasalahan dengan sampah yang menumpuk di hampir setiap sudut kota. Jadi ada pernyataan yang menyatakan bahwa Bandung bukan lagi lautan api, tapi lautan sampah! Selain itu jalan tol JakartaBandung juga dibangun untuk menghindari kemacetan.

Berbagai gambaran diatas tentu saja memprihatinkan dan memunculkan berbagai pertanyaan. Apakah itu bisa dibenarkan ? Apakah kita sudah terlalu munafik, sehingga selalu berusaha tampil baik (mungkin dengan berbohong) di depan orang yang pangkatnya lebih tinggi dari kita ? Apakah ini sekedar merupakan bagian dari budaya Jawa yang selalu berusaha tampil baik di depan, tapi penuh maksud tersembunyi dibelakangnya.

Yang jelas, menurutku ada yang salah dan harus dirubah !

Wallahu ‘alam…

Saturday, February 24, 2007

Perubahan Harus Dimulai dari Sekarang !!



Saya harus mengatakannya lagi bahwa Indonesia sekarang ini dalam keadaan membusuk. Korupsi dan birokrasi dimana-mana, dan ini adalah dua sindrom utama dari penyakit kita. Saya rasa Indonesia sudah tidak bisa tertolong lagi, kecuali dengan melaksanakan perubahan yang radikal. Dan ini harus dipimpin oleh angkatan muda.!!

Pramoedya Ananta Toer dalam “Saya Terbakar Amarah Sendirian”.


Beberapa saat lalu, Masyarakat Perfilman Indonesia (MPI) -yang sebagian besar terdiri dari generasi muda- mengembalikan 30 piala Citra ke Menbudpar. Aksi tersebut merupakan protes MPI terhadap tatanan perfilman Indonesia yang menurut mereka memprihatinkan. Film Ekskul yang di daulat sebagai Film terbaik FFI merupakan pemicu aksi tersebut. Menurut mereka ada unsur penjiplakan dalam film tersebut dan penjiplakan dalam segala macam bentuknya adalah sebuah kejahatan.

Penjiplakan dalam film Indonesia bukan hal yang baru. Kalau memang tidak mau disebut penjiplakan, paling tidak ada beberapa film yang memiliki kemiripan dengan Film asing. Diantaranya adalah film Djanjiku (1956) yang memiliki kemiripan dengan Vachan (1950-an), kemudian Kasih Tak Sampai (1961) memiliki kemiripan dengan Imitation of Life (1959). Selain itu masih banyak lagi sinetron lokal yang memiliki kemiripan atau menjiplak serial TV asing. Kegiatan penjiplakan tersebut berlanjut hingga saat ini dan mengalami puncaknya ketika film yang melakukan penjiplakan di daulat sebagai film terbaik. Kemudian kita pun bertanya-tanya apakah kondisi perfilman Indonesia sudah sedemikian parahnya? Apakah sudah tidak ada lagi film yang bagus dan orisinal?

Sebenarnya banyak film Indonesia yang berkualitas dan orisinil, salah satu contohnya adalah film Rindu Kami Pada-Mu karya Garin. Film yang mengambil latar sebuah pasar tradisional dengan segala permasalahan dan romantikanya. Meskipun demikian, film ini tidak masuk dalam nominasi. Inilah yang mengejutkan, karena kemudian yang masuk nominasi dan akhirnya menjadi film terbaik adalah film yang ditengarai terdapat unsur penjiplakan di dalamnya.

Pemberian penghargaan terhadap film jiplakan bisa diartikan sebagai sebuah legitimasi terhadap penjiplakan itu sendiri, artinya penjiplakan yang seharusnya merupakan hal yang tabu dan illegal, sekarang sudah dianggap legal. Bahkan pelakunya-pun memperoleh panghargaan. Kalau ini yang terjadi, maka kemudian orang perfilman ataupun masyarakat umum tidak ada lagi yang mau bersusah payah menghasilkan sebuah film ataupun produk yang berkualitas dan orisinil, mendingan jiplak saja. Lha wong njiplak aja dapat penghargaan kok, ngapain susah-susah bikin yang asli?

Cilakanya kondisi tersebut benar-benar terjadi, beberapa penulis skenario secara blak-blakan mengakuinya. Menurut mereka ada keraguan terhadap kemampuan sumberdaya Indonesia untuk membuat sinetron sendiri. Mereka takut kalau tidak mampu mengangkat rating, jadi daripada beresiko tinggi lebih baik langsung mengambil apa yang sudah laku. Mahasiswa yang disebut sebagai golongan intelektuil muda bangsa ini, juga ikut-ikutan melakukan penjiplakan. Mereka dengan entengnya menjiplak skripsi orang lain, baik secara keseluruhan ataupun melakukan perubahan sedikit dengan sekedar menambah periode penelitian atau mengganti lokasi penelitian. Mereka berkilah bahwa itu dilakukan agar cepat lulus dan cari mudahnya saja.

Kondisi di atas menggambarkan parahnya kondisi perfilman dan masyarakat negri ini. Mereka rela melakukan apa saja demi mengejar tujuan. Padahal film memiliki nilai yang strategis, karena mampu membentuk opini dan pola pikir masyarakat. Kita masih ingat bagaimana Amerika membuat film yang mengesankan bahwa mereka memperoleh kesuksesan dalam Perang Vietnam, padahal yang terjadi adalah kebalikannya. Kita juga masih ingat bagaimana tayangan kekerasan di film dan televisi telah membentuk generasi yang akrab dengan kekerasan. Terbukti dari munculnya beberapa kasus kekerasan bahkan kematian yang menimpa anak-anak karena meniru adegan di televisi ataupun film.

Oleh karena itu, aksi MPI patut kita beri apresiasi. Kalau tidak dimulai dari sekarang, lalu kapan lagi? Tentunya kita tidak ingin, penjiplakan merupakan sesuatu kebiasaan bagi masyarakat kita. Dan kita tidak ingin kejadian-kejadian kekerasan sebagai akibat dari adegan di televisi maupun film memakan korban yang lebih banyak lagi. Dan perubahan harus dimulai dari sekarang, dan sekali lagi anak muda harus menjadi garda terdepan daam perubahan dinegeri ini.

Tuesday, February 06, 2007

Politik Bola ?


Adakah kaitan antara sepakbola dengan politik? Kalau ada, lalu dimana kaitannya? Apakah sebatas penggunaan strategi bola dalam berpolitik, ataukan penggunaan bola itu sendiri sebagai alat politik? Jawabannya tentu saja ada dan bisa dua-duanya, artinya strategi bola bisa digunakan dalam berpolitik namun bola juga bisa digunakan sebagai alat politik.

Gus Dur mungkin merupakan satu-satunya presiden RI yang secara terang-terangan menggunakan strategi permainan bola dalam berpolitik. Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur pernah mengatakan bahwa strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Selain itu Gus Dur juga menyatakan bahwa untuk menghadapi permasalahan tertentu, diperlukan strategi yang berbeda-beda, dalam satu hal menggunakan strategi cattennacio, sedang dalam hal lain menggunakan hit and run (Strategi tim Inggris), total footballnya Belanda, atau bisa juga menggunakan bola samba Brasil (Gus Dur, 2000).

Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas kritik yang ditulis oleh Sindhunata mengenai strategi Cattenacio yang digunakan Gus Dur dalam menyelesaikan maslah Pansus DPR. Sindhunata khawatir strategi tersebut digunakan Gus Dur dalam menyelesaikan seluruh masalah bangsa ini. Cattenacio merupakan strategi bertahan dalam sepakbola Italia. Ciri utamanya adalah bertahan dengan menggrendel lawan, lalu mencari sela-sela untuk secepat mungkin menggebuk gawang lawan (Sindhunata, 2000).

Kalau oleh Gus Dur strategi permainan bola dijadikan sebagai strategi dalam berpolitik. Maka di daerah, Sepakbola dijadikan alat untuk menaikkan popularitas para politikus daerah. Beberapa bakal calon bupati/walikota misalnya, pada kampanyenya berjanji akan memajukan sepakbola daerah. Calon bupati/walikota tersebut belajar dari keberhasilan pemilik AC Milan, Silvio Berlusconi ketika berhasil memenangkan pemilu perdana menteri Italia. Sebagaimana diketahui, Berlusconi adalah pengusaha yang kemudian berhasil membeli klub terbesar di Italia, yaitu AC Milan. Popularitasnya meningkat ketika dia berhasil memimpin AC Milan dengan gemilang. Popularitas tersebut kemudian dimanfaatkannya untuk memenangkan pemilu perdana menteri dan ternyata berhasil.

Partai politik juga mulai menggunakan bola sebagai alat untuk menarik massa. Beberapa partai politik ditengarai memberi dukungan pada tim sepakbola yang memiliki warna kaos sama dengan partai yang bersangkutan. Bahkan diduga mendorong tim untuk mengganti warna kaos mereka agar sama dengan partai yang bersangkutan. Hal ini bagi sebagian orang mungkin terkesan aneh, bagaimana mungkin partai politik mau menggelontorkan dana mereka hanya untuk membeli warna kaos tim bola. Namun, kondisi ini bisa dimaklumi mengingat di Indonesia warna sangat identik dengan partai politik. Warna hijau, misalnya identik dengan PPP, PKB ataupun partai berbasis Islam lainnya, kemudian kuning dengan Golkar, merah dengan PDIP dan biru dengan PAN atau bisa juga Demokrat.

Alasan lainnya adalah kepopuleran sepakbola yang tidak terkalahkan oleh olahraga lainnya. Selain itu, para pendukung fanatiknya rela melakukan apa saja untuk membela klub mereka. Inilah yang menjadi target partai politik, mereka ingin kepopuleran tim sepakbola yang “disponsorinya” akan membawa kepopuleran bagi partai yang bersangkutan. Target lain adalah massa pendukung tim tersebut akan secara otomatis menjadi pendukung partai yang bersangkutan.

Penggunaan strategi bola dalam berpolitik membuktikan bahwa sepakbola merupakan olahraga yang indah, memerlukan kecerdasan dan memberi inspirasi. Sedangkan penggunaan Bola sebagai alat untuk mendongkrak popularitas bagi sebagian politikus/sebagai alat politik merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan. Karena akan mencemari kemurnian sepakbola sebagai sebuah permainan olahraga. Selain itu, sepakbola dikhawatirkan akan semakin berpotensi memunculkan konflik sosial ditengah masyarakat.

“Airplane Crash”*


(tulisan lama yang baru sempet diupload)

Misteri hilangnya pesawat Adam Air akhirnya terpecahkan. Segala daya upaya telah dilakukan, mulai dari pemanfaatan teknologi canggih hingga yang paling tradisional (paranormal). Hilangnya pesawat Adam Air tersebut menambah panjang daftar kecelakaan pesawat terbang di Indonesia beberapa tahun terakhir. Menurut data Departemen Perhubungan, selama kurun 2001-2005 terjadi 22 kasus kecelakaan pesawat, dengan peningkatan 75,62 % kasus per tahun. Jumlah korban yang meninggal dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah korban meninggal 14 orang, tahun 2004 menjadi 57 orang dan tahun 2005 sebanyak 161 orang. Tahun 2006 lalu, dengan adanya kecelakaan pesawat Adam Air tersebut jumlah korban meninggal bisa lebih dari 100 orang.

Kalau dilihat secara historis, kasus yang menimpa industri penerbangan Indonesia saat ini mirip dengan krisis keuangan (financial crash) Indonesia pada tahun 1998. Krisis diawali dengan kebijakan liberalisasi sektor keuangan pada tahun 80-an. Kebijakan tersebut merangsang para pengusaha untuk membuka bank baru guna mendukung keuangan korporasi mereka. Padahal pengusaha tersebut tidak tahu seluk beluk dunia perbankan. Disisi lain liberalisasi tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan institusi (aturan main) yang memadai.

Liberalisasi sektor keuangan kemudian memunculkan fenomena financial crash. Suatu kondisi dimana konglomerat yang menguasai bisnis perbankan memiliki hutang lebih besar dibanding grup atau perusahaan yang tidak mempunyai bank sendiri. Hutang tersebut banyak diperoleh dari pasar uang internasional yang mengandung resiko tinggi. Sehingga ketika bisnis perbankan collapse, hutang menjadi tidak terbayarkan, maka terjadilah financial crash.

Kalau dalam sektor keuangan ada fenomena financial crash, maka dalam industri penerbangan yang terjadi adalah airplane crash. Suatu kondisi yang merupakan konsekuensi dari liberalisasi industri penerbangan komersial yang tidak disertai dengan aturan main yang memadai. Liberalisasi kemudian diikuti dengan pembukaan maskapai penerbangan baru. Banyak diantara pengusaha maskapai penerbangan baru tersebut yang tidak memahami dunia penerbangan secara baik. Banyaknya maskapai penerbangan baru mendorong terjadinya persaingan tarif yang sangat ketat. Sehingga untuk menekan biaya, pengusaha memotong berbagai pos pengeluaran, termasuk pengeluaran yang terkait dengan faktor keselamatan penumpang. Konsekuensi dari pemotongan tersebut adalah terjadinya kecelakaan pesawat (airplane crash) yang memakan korban jiwa.

Pemerintah seharusnya menyadari bahwa liberalisasi sektor penerbangan tanpa disertai adanya kesiapan institusi akan berakibat buruk. Karena industri penerbangan memiliki kemiripan dengan industri perbankan, yaitu sebagai industri yang membutuhkan pengawasan ketat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan dalam industri penerbangan, seharusnya pengawasan lebih ketat dari industri perbankan, karena kesalahan sedikit saja akan berakibat pada hilangnya nyawa manusia.


* Harian Seputar Indonesia, edisi 12 Januari 2007

Thursday, January 25, 2007

Konsekuensi Logis Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 2006

Kenaikan gaji/tunjangan DPRD di era Otonomi Daerah (Otoda) sebenarnya bukan hal baru. Pada awal pelaksanaan Otoda gaji/tunjangan yang diterima DPRD sudah naik dengan signifikan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh SMERU tahun 2002, di provinsi Sumatra Utara, gaji DPRD setelah Otoda naik 300%. Di kabupaten Lombok Barat kenaikannya lebih tinggi lagi, yaitu sebesar 330%, dan yang paling tinggi adalah Provinsi Sumatra Barat, yaitu 460%.

Disisi lain, pelaksanaan Otoda juga dibarengi dengan adanya transfer pegawai. Adanya alih-status pegawai pusat ke daerah menyebabkan terjadi kelebihan pegawai terutama di tingkat propinsi. Propinsi Jawa Barat, misalnya, menerima 5.459 orang pegawai pusat, atau meningkat 45% dari jumlah pegawai sebelumnya. Propinsi Sumatera Utara yang sebelumnya mempunyai pegawai 10.044, mulai Januari 2001 harus mengurus 38.398 pegawai. Sejak 1 Januari 2001, jumlah pegawai Kabupaten Kudus meningkat menjadi 8.875 orang, dari sebelumnya 1.184 orang.

Banyaknya pegawai yang harus ditanggung oleh Pemda tersebut menguras sebagian besar anggaran daerah. Kenyataan ini menyebabkan besarnya DAU yang diterima daerah menjadi semu, karena sebagian besar dipakai untuk belanja pegawai dan tidak menambah dana untuk pembangunan daerah. Di Sumatra Utara belanja pegawai di era Otoda meningkat sebesar 321%, di Nusa tenggara Timur kenaikannya sebesar 258%, kemudian di Kabupaten Lombok Barat, kenaikannya sebesar 159%.

Kenaikan jumlah pegawai kemudian ditambah dengan kenaikan gaji/tunjangan DPRD di era Otoda mengakibatkan kenaikan anggaran rutin lebih besar dari kenaikan anggaran pembangunan. Kenaikan anggaran rutin daerah seluruh Indonesia secara rata-rata paska pelaksanaan Otoda sebesar 206%. Angka tersebut lebih besar dari rata-rata kenaikan anggaran pembangunan daerah yaitu 183% (Wibowo, 2004).

Kenaikan gaji/tunjangan DPRD sebagaimana yang diatur dalam PP No. 37/2006 tentu saja akan menaikkan anggaran rutin Pemda. Di Provinsi DIY, untuk memenuhi PP tersebut pemda mengalokasikan dana tambahan dalam APBD 2007 sebesar Rp 13 miliar, atau setara dengan 866 rumah tahan gempa senilai Rp 15 juta per unit.

Ada dua pilihan bagi pemda untuk menutup kenaikan anggaran tersebut. Yaitu dengan mengurangi porsi anggaran pembangunan atau menaikkan PAD. Pengurangan porsi anggaran pembangunan berarti kesejahteraan masyarakat di daerah akan semakin menurun. Padahal diketahui bahwa tingkat kemiskinan semakin meningkat dan kasus busung lapar juga terjadi di beberapa daerah.

Pilihan kedua adalah meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan adanya Kenaikan PAD berarti akan ada kenaikan pajak, retribusi dan pungutan lain yang harus dibayarkan oleh masyarakat maupun pengusaha. Padahal banyak pengusaha yang sudah mengeluh dengan adanya berbagai macam pungutan dari pemda. Untuk mengurangi biaya produksi akibat kenaikan pajak/pungutan tersebut, bisa jadi pengusaha akan melakukan pemotongan jumlah karyawan (PHK). Jika terjadi PHK tingkat pengguran akan meningkat, kemudian berimbas pada kenaikan angka kemiskinan di daerah.

Wednesday, January 24, 2007

Belajar dari Penerima Nobel (Perdamaian)


Pramoedya A.T. adalah orang Indonesia pertama yang masuk nominasi peraih nobel, meskipun hingga akhir hayatnya hal tersebut tidak terwujud. Tapi Pram adalah satu-satunya orang Indonesia yang berkali-kali masuk dalam nominasi peraih nobel (sastra). Selain Pram ada dua orang Indonesia yang juga dinominasikan sebagai peraih nobel, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Keduanya dinominasikan sebagai peraih nobel perdamaian atas keberhasilannya menyelesaikan konflik Aceh dengan damai.

Namun lagi-lagi impian orang Indonesia untuk memperoleh Nobel tidak terwujud. Ternyata yang nobel sastra adalah Orhan Pamuk (54) seorang penulis Turki. Kemudian yang memperoleh memperoleh Nobel Perdamaian adalah Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank. Pemberian penghargaan Nobel Perdamaian kali ini benar-benar diluar dugaan. Karena M. Yunus tidak pernah dijagokan sebagai peraih nobel perdamaian.

Salah satu pertimbangannya adalah bahwa M. Yunus berhasil menghilangkan akar penyebab konflik, yaitu kemiskinan. Sebagai contoh, konflik Aceh dan Papua berakar dari kemiskinan masyarakat di dua daerah tersebut. Padahal mereka mempunyai SDA melimpah dan menghasilkan uang sangat besar, namun masyarakat disana tidak pernah memperolah bagian dan tetap miskin. Sehingga kemudian muncul kelompok (GAM dan OPM) yang memperjuangkan hak-haknya dengan jalan apapun.

Bersama dengan Grameen bank yang didirikannya Muhammad Yunus berhasil mengentaskan masyarakat miskin Bangladesh dari kemiskinan. Yaitu dengan jalan memberi mereka akses ke sumber pendanaan tanpa agunan. Sehingga jutaan warga miskin Bangladesh berhasil keluar dari jeratan lintah darat yang selama ini menghisap mereka. Hebatnya lagi, semua dilakukannya tanpa pamrih apapun dan berasal dari hati nuraninya.

Semua berawal dari kegelisahannya dengan banyaknya masyarakat miskin di Bangladesh yang berjuang melawan kelaparan. Namun dia sebagai seorang ekonom yang sebenarnya memiliki kompetensi untuk mengatasi permasalahan tersebut, justru hanya berkutat di ruang kuliah memberikan teori-teori ekonomi yang elegan. Diapun kemudian membenci diri sendiri karena bersikap arogan dan menganggap bisa menyelesaikan masalah kemiskinan. Padahal sebenarnya dia tidak tahu tentang masalah kemiskinan di sekitanya. Kemudian dia mulai mempelajari kemiskinan disana dan mengembangkan konsep pemberdayaan kaum miskin.

Di Indonesia sebenarnya sudah banyak program pengentasan kemiskinan yang mencontoh apa yang telah dilakukan Grameen Bank. Namun banyak diantara program tersebut hanya sekedar berjalan tanpa ada hasil yang nyata. Salah satunya penyebabnya mungkin adalah semuanya bukan didasari oleh niat yang tulus. Tapi banyak yang memanjadikan pengentasan kemiskinan sebagai proyek dan berusaha untuk meraup untung dari proyek tersebut. Jadi semakin banyak orang miskin juga berarti akan semakin banyak proyek dan juga berarti akan semakin banyak keuntungan materi yang akan diraupnya. Inilah “mungkin” salah satu penyebab kurang maksimalnya program pengentasan kemiskinan di negeri ini.

Masa Depan Posisi Indonesia di ASEAN


Kami, angkatan muda, dengan segenap-genap kepercayaan di hati sebagai kekuatan yang menggerakkan, bangkit menjadi pemutar baling-baling sejarah masa depan.”

Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa.




ASEAN secara resmi didirikan pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Pada dasarnya pembentukan ASEAN di dasari oleh alasan strategis dan kemanan. Meskipun demikian, tujuan pembentukan ASEAN - seperti yang tertuang dalam deklarasi Bangkok - adalah untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan kebudayaan di kawasan ASEAN. Sejak ASEAN didirikan, Indonesia telah banyak berperan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Meskipun demikian kita tidak boleh terlena dalam romantika sejarah, kita harus bisa membuat sejarah baru yang lebih baik. Atau dengan kata lain, kita harus bisa berperan lebih banyak lagi dalam perjalanan ASEAN di masa depan.

Masa depan adalah milik generasi muda, bukanlah generasi tua ataupun mereka yang menjadi pemimpin ASEAN saat ini. Generasi muda-lah yang akan menentukan arah perkembangan ASEAN pada sepuluh atau duapuluh tahun mendatang. Sejarah membuktikan bahwa anak muda merupakan agen perubahan yang sanggup merubah arah perjalanan bangsa, bahkan dunia. Hal ini lebih dikarenakan sikap anak muda yang cenderung idealis, progressif, memiliki keinginan yang kuat untuk mewujudkan apa yang diinginkannya dan tidak takut akan rintangan apapun.

Oleh karena itu kedudukan generasi muda menjadi sangat penting, baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Karena sumber daya yang paling menentukan karakter dan kecepatan pembangunan sosial dan ekonomi suatu bangsa, bukan modal fisik ataupun sumber daya material, namun sumber daya manusia. Sehingga kita harus memiliki generasi muda yang berkualitas untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.



Pengangguran dan Tingkat Pendidikan

Jika dilihat dari jumlah penduduk usia muda yang cukup besar, Indonesia sebenarnya memiliki potensi untuk bisa berbicara di tingkat ASEAN pada masa yang akan datang. Menurut data BPS pada tahun 2004, penduduk berusia muda (usia 15-24 tahun) sebesar 39 juta atau 25,5% dari total populasi Indonesia. Jumlah tersebut masih lebih besar daripada jumlah penduduk Malaysia tahun 2004, sebesar 23 juta. Bahkan jika dibandingkan dengan Singapura yang berpenduduk 2,4 juta (tahun 2004), jumlah penduduk usia muda Indonesia jauh lebih besar.

Jumlah penduduk usia muda yang cukup besar, justru akan menjadi masalah bila tidak dibekali dengan keahlian dan tingkat pendidikan yang memadai. Pada tahun 2004 sebanyak 5,7 juta penduduk Indonesia yang berusia 16-18 tahun sudah tidak bersekolah lagi. Mereka adalah yang tidak menyelesaikan pendidikan lanjutan (SMU) atau bahkan tidak pernah masuk SMU. Kemudian pada tahun yang sama, sebanyak 20,3 juta penduduk Indonesia yang berusia 19-24 tahun, sudah tidak bersekolah lagi. Jumlah tersebut adalah 72,4% dari total populasi penduduk di usia tersebut. Mereka kemudian menjadi pekerja atau menjadi pengangguran. Yang mengkhawatirkan adalah ketika mereka tidak bekerja dan menjadi pengangguran.

Dari data diatas bisa dilihat bahwa tingkat pendidikan generasi muda indonesia masih cukup memprihatinkan. Hal tersebut masih ditambah dengan angka tingkat pengangguran terbuka usia muda yang cukup besar, bahkan cenderung mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Perpaduan antara tingkat pendidikan yang rendah dan tingginya tingkat pengangguran usia muda berpotensi meningkatkan angka kriminalitas bahkan bisa memunculkan gejolak sosial yang berbahaya.



Pendidikan dan Kewirausahaan

Tingkat pendidikan yang rendah dan pengangguran yang tinggi merupakan masalah serius bagi anak muda. Untuk mengatasi permasalahan tersebut bisa dilakukan dengan menyediakan pendidikan yang memadai dan menumbuhkan semangat kewirausahaan. Ada dua hal yang bisa menarik minat untuk menempuh pendidikan, yaitu harapan untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan baik secara langsung maupun tidak langsung (terjangkau). Sehingga pendidikan bagi generasi muda paling tidak harus bisa memenuhi dua hal tersebut.

Masalah kewirausahaan juga merupakan masalah yang cukup penting, agar generasi muda bisa menciptakan lapangan pekerjaan mereka sendiri sehingga bisa ikut mengatasi masalah pengangguran. Hal tersebut bisa dilakukan dengan membangun usaha kecil, baik formal maupun informal yang dikenal lebih tahan terhadap krisis ekonomi. Ketahanan usaha kecil terhadap krisis ekonomi telah terbukti pada tahun 1998 saat krisis melanda Asia Tenggara. Selain itu, banyak kisah usahawan sukses kelas dunia yang merintis usaha mereka sejak mereka berusia muda. Diantaranya adalah Bill Gates - salah satu orang terkaya di dunia - yang merintis usahanya dari nol di usia muda.

Dalam konteks ASEAN, perlu dibangun jaringan anak-anak muda ASEAN dalam bidang pendidikan (akademis) dan kewirausahaan. Jaringan tersebut bisa digunakan untuk melakukan penelitian bersama, baik dalam bidang sosial maupun teknologi. Hal ini di mungkinkan karena setiap bangsa memiliki keunikan tersendiri dan keunggulan masing-masing. Jaringan usahawan muda diharapkan bisa lebih mengasah kemampuan kewirausahaan dengan bertukar pengalaman menjalankan bisnis di masing-masing negara. Bahkan sangat dimungkinkan untuk bisa bekerjasama membangun jaringan bisnis usahawan muda ASEAN. Jaringan tersebut diharapkan bisa menjadi kerajaan bisnis ASEAN di masa yang akan datang. Sehingga tujuan untuk mewujudkan kemajuan ekonomi, sosial dan budaya bisa terwujud.

Kedua hal tersebut harus segera diupayakan agar generasi muda Indonesia tidak menjadi generasi yang frustasi. Generasi yang justru akan memperburuk kondisi bangsa ini. Namun generasi muda Indonesia harus menjadi generasi yang cerdas, kreatif, percaya diri dan tidak gamang dengan globalisasi yang melanda dunia saat ini. Suatu generasi yang akan membawa kemajuan bangsa dan mampu berperan di tingkat regional (ASEAN).


Kesimpulan

Masa depan adalah milik anak muda, sehingga agar Indonesia bisa lebih memiliki peran di ASEAN harus bisa mencetak anak muda yang berkualitas. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan yang berkualitas dan melatih keahlian berwirausaha sejak dini. Selain itu juga harus dibiasakan untuk berbaur dan bekerjasama dengan bangsa lain agar lebih memahami bangsa lain dan tidak minder jika berhadapan dengan bangsa lain. Jika tidak, alih-alih mau berperan di tingkat ASEAN mungkin berperan di negara sendiri-pun sulit, karena generasi muda masih dihadapkan pada permasalahan diri sendiri (masalah pendidikan dan lapangan kerja).


Referensi:

Gould, Eric D., Bruce A. Weinberg, and David B. Mustard (2002), Crime Rates And Local Labor Market Opportunities In The United States: 1979–1997, The Review of Economics and Statistics.

McMahon, Walter W. (1999), Education and Development; Measuring the Social Benefits, Oxford University Press, New York.

Nilsson, Anna and Jonas Agell (2003), Crime, Unemployment And Labor Market Programs In Turbulent Times.

Papps, Kerry L. dan Rainer Winkelmann (1999), Unemployment And Crime: New Evidence For An Old Question.

Prabowo, Dibyo dan Sonia Wardoyo (2004), AFTA; Suatu Pengantar, BPFE, Yogyakarta.

Todaro, Michael P. (1997), Economic Development, 6th ed., Adisson Wesley Longman Limited, London.

Toer, Pramoedya Ananta (2002), Anak Semua Bangsa, Hasta Mitra, Jakarta.

Witte, Ann Dryden and Robert Witt (2001), Crime Causation: Economic Theories, Encyclopedia of Crime and Justice.



Statistik :

BPS, Statistik Indonesia, berbagai edisi.

ASEAN Statistical Yearbook 2005.