Sunday, February 05, 2012

Jakarta dengan Tanda Tanya ??


Jakarta? Ada satu kata dari Om saya yang selalu terngiang tentang Jakarta: “Kalau bisa nyari uang di luar Jakarta, jangan tinggal di Jakarta, amit-amit.” Mungkin benar, selama ini dia tidak tinggal di Jakarta, bahkan juga tidak di Indonesia, mungkin Jakarta terlalu riuh, semrawut, kurang beradab. Apapun bisa dilakukan di Jakarta, konon yang tidak boleh di Jakarta itu hanya merokok di POM Bensin dan masuk masjid pakai alas kaki (sandal/Sepatu).

Lalu apa yang diharapkan dari sebuah kota yang begitu karut marut? Mungkin ini bukan hanya dialami Jakarta, namun juga kota besar lain di Dunia dan juga kota-kota besar lain di Indonesia, ketika hampir semua penduduknya pendatang dan hanya berpikir bagaimana mencari uang dan sedikit mereguk kebahagiaan dari gemerlap kota megapolitan.

Pertanyaan ini seringkali menghinggap, bahkan terlalu sering mungkin, bukan hanya bagi saya, mungkin juga beberapa orang yang tinggal di Jakarta. Lihat saja bagaimana mereka (orang-orang jakarta) meninggalkan Jakarta ketika akhir pekan tiba. Sesuatu yang bisa terlihat dengan mudah dari susahnya mencari tiket keluar kota ketika hari libur tiba, terutama ketika long weekend.

Belum lagi kalau melihat wajah-wajah sayu di dalam angkutan umum Jakarta, baik ketik berangkat kerja maupun ketika pulang kerja. Bagaimana tidak, sebagian dari mereka adalah komuter yang tinggal di sekitar Jakarta. Mereka berangkat ke kerja pagi buta dan pulang ketika malam tiba, hidup mereka habis di jalan. Belum lagi kalau hujan disore hari menjelang pulang kerja, jalanan menjadi parkiran raksasa yang menahan semua untuk diam sejenak seolah mengheningkan cipta.

Dan keheranan saya akan Jakarta bertambah ketka tadi siang datang ke Pameran Properti di JCC. Wow, harga property di Jakarta naudzubillah!! Kalau mau yang agak di dalam kota pilihannya apartemen aka rumah susun. Untuk apartemen dua kamar dengan luas 33m2 seharga 260 juta-an. Itu pun lokasinya di dalam, di daerah Pancoran dekat kalibata, di pinggir sungai. Begitu juga untuk lokasi di Jalan Pramuka, harganya gak terlalu beda jauh. Untuk di kawasan sekitar Cakung (Kantor Walikota Jakarta Timur) harganya lebih murah, sekitar 140 juta (subsidi).

Nah, kalau rumah, harganya sudah minta ampun untuk di dalam Jakarta. Rata-rata lokasi perumahan di Depok, Bekasi, Serpong, Tangerang, itupun dengan harga diatas 200 juta, untuk luas tanah 100m2 harganya di kisaran 300-400 juta. Kalau dengan kredit KPR 15 tahun, cicilannya sekitar 2-4 juta/bulan. Bayangkan saja 15 tahun baru lunas tuh rumah, itupun dengan cicilan yang tidak sedikit. Untuk PNS seperti saya tentu saja bikin pusing tujuh keliling, dengan gaji yang segitunya.

Mendadak teman bercerita tentang keinginannya untuk membeli tanah di Jogja dan membangun rumah disana. Ketika di jogja dia sudah survey beberapa tanah dengan kisaran harga 500-600 ribu per meter. Jadi kalau seratus meter persegi bisa didapat dengan duit 50-60 juta! Dan setahu saya, pengembang di sana gak terlalu mahal, apalagi kalau susah kenal dengan tukang dan kontraktornya, bisa dinego lah pokoknya. Katanya Jakarta itu buat kerja dimasa muda lah, tapi jangan berpikir untuk seterusnya di Jakarta, Kota seperti Jogja bisa menjadi pilihan setelah tuntas di masa muda.

Yak, mendadak keinginan untuk kembali di Jogja muncul kembali. Kalau Jakarta masih saja seperti ini, apa yang bisa diharapkan? Bukan hanya dari mahalnya property, tapi juga buat kehidupan anak-anak (emang punya?). Kata-kata itu kembali muncul: “Kalau bisa mencari duit di luar Jakarta, jangan hidup di Jakarta!!”. Jadi bagaimana Jakarta??

No comments: