Tuesday, February 27, 2007

Lomba UKS

Dulu ketika masih sekolah, entah itu SD, SMP maupun SMU kita sering mendengar kata-kata LOMba UKS (klo gak salah UKS = Usaha Kesehatan Sekolah). Sekolah kemudian bersolek dengan sedemikian rupa, tembok yang tadinya sudah agak muram dicat, taman sekolah mulai dihijaukan kembali, tanaman-tanaman yang sudah mati diganti. Bahkan yang lebih hebat lagi adalah, lahan kosong di pojok sekolah disulap menjadi apotik hidup. Apotiknya memang hidup, tapi mungkin hanya satu bulan, setelah itu gak ada yang hidup.

Kejadian itu terjadi secara rutin, entah satu tahun sekali atau 2 tahun sekali, tapi setiap menginjak pada satu tingkatan tertentu (SD,SMP,SMU) kita pasti akan mengalami yang namanya lomba UKS. Kalau dipikir-pikir sebenarnya lucu juga, karena kemudian Sekolah berusaha untuk memperbaiki diri agar pada saat hari penilaian UKS terlihat baik, semarak (emang Mall!), dengan fasilitas yang komplit dan memadai. Tapi beberapa hari kemudian segalanya kembali seperti semula, ruang UKS yang apek, sumpek dan isinya anak-anak yang melarikan diri dari pelajaran (yang tentu saja membosankan) atau dari acara upacara yang menyebalkan, membosankan. Entah yang lucu itu sekolahnya atau yang mengadakan lomba, seoalnya kalau mau serius mengadakan lomba seharusnya kabar peninjauan sekolah jangan sampai bocor, karena akan menghasilkan bias dalam penilaian.

Kejadian yang sama, kali ini juga terjadi pada adik saya yang masih SD. Pada hari ini Sekolahnya akan kedatangan tim penilai lomba UKS. Berbagai persiapan dadakan juga dilakukan (lucu juga, dari dulu sampai sekarang gak berubah, pokoke ndadak), mulai dari disuruh ngumpulin tanaman dalam pot, memotong kuku dan sikat gigi sebelum berangkat ke sekolah (emang kalau gak ada lomba, tidak sikat gigi ?), hingga membawa bekal makanan dari rumah. Dari semua itu kemudian muncul berbagai macam kejadian unik, konyol dan bahkan ada yang membuat iba.

Ada salah satu temen adikku yang gara-gara tidak memperoleh tanaman terong untuk dikumpulkan tidak mau masuk sekolah. Bahkan lebih parah lagi gara-gara itu dia sakit panas, maklum anak kecil. Tapi itu kan sudah bisa dikategorikan sebagai teror. Soalnya si anak kemudian mengalami ketakutan bahkan hingga sakit. Karena untuk memperoleh tanaman terong juga bukan hal yang mudah, mengingat di pasar, tanaman itu dijual setiap satu pasar sekali, tiap LEgi (hari pasaran penanggalan Jawa, terdiri atas Pon, Paing, Wage, Kliwon, Legi), jadi kalau mau beli tanaman itu di pasar ya harus nunggu lima hari sekali.

Cilakanya, perintah untuk mengumpulkan tanaman itu pas di hari pasaran (legi). Dan tanaman itu harus dikumpulkan tiga hari kemudian. Padahal anak-anak baru pulang sekolah sekitar jam 12, otomatis harus langsung menuju pasar. Untung saja adikku ketika itu langsung ke pasar dan dapat tanaman itu, kalau gak ya bisa jadi gak mau berangkat sekolah. Yang lebih mengagetkan lagi adalah, ternyata acara lombanya diundur, nah lho, piye kui. Udah susah-susah nyari tanaman bahkan hingga sakit, ternyata diundur.

Kondisi seperti diatas bukan hanya terjadi di sekolah, bahkan dikantor pemerintah-pun juga demikian. Ketika ada kunjungan dari pejabat yang lebih tinggi, maka semua pegawai akan berusaha untuk tampil sebaik mungkin. Ada yang kemudian sok kerja, ngetik, padahal biasanya main soliter atau zuma. Ada juga yang kemudian sibuk membalik-balik kertas, dengan memasang tampang serius seolah-oleh sedang mencari file yang penting, padahal biasanya hanya ngisi TTS. Dan lebih banyak lagi kejadian yang sebenarnya konyol tapi ironis.

Tapi lebih jauh lagi, ternyata pada level negara-pun hal itu juga terjadi. Seperti ketika diadakan acara peringatan 50 tahun KAA dibandung beberapa tahun lalu. Bandung kemudian bersolek, melakukan pengecatan di kanan kiri jalan, dan yang paling utama adalah menutup samapah. Karena pada saat itu Bandung mengalami permasalahan dengan sampah yang menumpuk di hampir setiap sudut kota. Jadi ada pernyataan yang menyatakan bahwa Bandung bukan lagi lautan api, tapi lautan sampah! Selain itu jalan tol JakartaBandung juga dibangun untuk menghindari kemacetan.

Berbagai gambaran diatas tentu saja memprihatinkan dan memunculkan berbagai pertanyaan. Apakah itu bisa dibenarkan ? Apakah kita sudah terlalu munafik, sehingga selalu berusaha tampil baik (mungkin dengan berbohong) di depan orang yang pangkatnya lebih tinggi dari kita ? Apakah ini sekedar merupakan bagian dari budaya Jawa yang selalu berusaha tampil baik di depan, tapi penuh maksud tersembunyi dibelakangnya.

Yang jelas, menurutku ada yang salah dan harus dirubah !

Wallahu ‘alam…

Saturday, February 24, 2007

Perubahan Harus Dimulai dari Sekarang !!



Saya harus mengatakannya lagi bahwa Indonesia sekarang ini dalam keadaan membusuk. Korupsi dan birokrasi dimana-mana, dan ini adalah dua sindrom utama dari penyakit kita. Saya rasa Indonesia sudah tidak bisa tertolong lagi, kecuali dengan melaksanakan perubahan yang radikal. Dan ini harus dipimpin oleh angkatan muda.!!

Pramoedya Ananta Toer dalam “Saya Terbakar Amarah Sendirian”.


Beberapa saat lalu, Masyarakat Perfilman Indonesia (MPI) -yang sebagian besar terdiri dari generasi muda- mengembalikan 30 piala Citra ke Menbudpar. Aksi tersebut merupakan protes MPI terhadap tatanan perfilman Indonesia yang menurut mereka memprihatinkan. Film Ekskul yang di daulat sebagai Film terbaik FFI merupakan pemicu aksi tersebut. Menurut mereka ada unsur penjiplakan dalam film tersebut dan penjiplakan dalam segala macam bentuknya adalah sebuah kejahatan.

Penjiplakan dalam film Indonesia bukan hal yang baru. Kalau memang tidak mau disebut penjiplakan, paling tidak ada beberapa film yang memiliki kemiripan dengan Film asing. Diantaranya adalah film Djanjiku (1956) yang memiliki kemiripan dengan Vachan (1950-an), kemudian Kasih Tak Sampai (1961) memiliki kemiripan dengan Imitation of Life (1959). Selain itu masih banyak lagi sinetron lokal yang memiliki kemiripan atau menjiplak serial TV asing. Kegiatan penjiplakan tersebut berlanjut hingga saat ini dan mengalami puncaknya ketika film yang melakukan penjiplakan di daulat sebagai film terbaik. Kemudian kita pun bertanya-tanya apakah kondisi perfilman Indonesia sudah sedemikian parahnya? Apakah sudah tidak ada lagi film yang bagus dan orisinal?

Sebenarnya banyak film Indonesia yang berkualitas dan orisinil, salah satu contohnya adalah film Rindu Kami Pada-Mu karya Garin. Film yang mengambil latar sebuah pasar tradisional dengan segala permasalahan dan romantikanya. Meskipun demikian, film ini tidak masuk dalam nominasi. Inilah yang mengejutkan, karena kemudian yang masuk nominasi dan akhirnya menjadi film terbaik adalah film yang ditengarai terdapat unsur penjiplakan di dalamnya.

Pemberian penghargaan terhadap film jiplakan bisa diartikan sebagai sebuah legitimasi terhadap penjiplakan itu sendiri, artinya penjiplakan yang seharusnya merupakan hal yang tabu dan illegal, sekarang sudah dianggap legal. Bahkan pelakunya-pun memperoleh panghargaan. Kalau ini yang terjadi, maka kemudian orang perfilman ataupun masyarakat umum tidak ada lagi yang mau bersusah payah menghasilkan sebuah film ataupun produk yang berkualitas dan orisinil, mendingan jiplak saja. Lha wong njiplak aja dapat penghargaan kok, ngapain susah-susah bikin yang asli?

Cilakanya kondisi tersebut benar-benar terjadi, beberapa penulis skenario secara blak-blakan mengakuinya. Menurut mereka ada keraguan terhadap kemampuan sumberdaya Indonesia untuk membuat sinetron sendiri. Mereka takut kalau tidak mampu mengangkat rating, jadi daripada beresiko tinggi lebih baik langsung mengambil apa yang sudah laku. Mahasiswa yang disebut sebagai golongan intelektuil muda bangsa ini, juga ikut-ikutan melakukan penjiplakan. Mereka dengan entengnya menjiplak skripsi orang lain, baik secara keseluruhan ataupun melakukan perubahan sedikit dengan sekedar menambah periode penelitian atau mengganti lokasi penelitian. Mereka berkilah bahwa itu dilakukan agar cepat lulus dan cari mudahnya saja.

Kondisi di atas menggambarkan parahnya kondisi perfilman dan masyarakat negri ini. Mereka rela melakukan apa saja demi mengejar tujuan. Padahal film memiliki nilai yang strategis, karena mampu membentuk opini dan pola pikir masyarakat. Kita masih ingat bagaimana Amerika membuat film yang mengesankan bahwa mereka memperoleh kesuksesan dalam Perang Vietnam, padahal yang terjadi adalah kebalikannya. Kita juga masih ingat bagaimana tayangan kekerasan di film dan televisi telah membentuk generasi yang akrab dengan kekerasan. Terbukti dari munculnya beberapa kasus kekerasan bahkan kematian yang menimpa anak-anak karena meniru adegan di televisi ataupun film.

Oleh karena itu, aksi MPI patut kita beri apresiasi. Kalau tidak dimulai dari sekarang, lalu kapan lagi? Tentunya kita tidak ingin, penjiplakan merupakan sesuatu kebiasaan bagi masyarakat kita. Dan kita tidak ingin kejadian-kejadian kekerasan sebagai akibat dari adegan di televisi maupun film memakan korban yang lebih banyak lagi. Dan perubahan harus dimulai dari sekarang, dan sekali lagi anak muda harus menjadi garda terdepan daam perubahan dinegeri ini.

Tuesday, February 06, 2007

Politik Bola ?


Adakah kaitan antara sepakbola dengan politik? Kalau ada, lalu dimana kaitannya? Apakah sebatas penggunaan strategi bola dalam berpolitik, ataukan penggunaan bola itu sendiri sebagai alat politik? Jawabannya tentu saja ada dan bisa dua-duanya, artinya strategi bola bisa digunakan dalam berpolitik namun bola juga bisa digunakan sebagai alat politik.

Gus Dur mungkin merupakan satu-satunya presiden RI yang secara terang-terangan menggunakan strategi permainan bola dalam berpolitik. Ketika menjabat sebagai Presiden RI, Gus Dur pernah mengatakan bahwa strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Selain itu Gus Dur juga menyatakan bahwa untuk menghadapi permasalahan tertentu, diperlukan strategi yang berbeda-beda, dalam satu hal menggunakan strategi cattennacio, sedang dalam hal lain menggunakan hit and run (Strategi tim Inggris), total footballnya Belanda, atau bisa juga menggunakan bola samba Brasil (Gus Dur, 2000).

Pernyataan tersebut merupakan tanggapan atas kritik yang ditulis oleh Sindhunata mengenai strategi Cattenacio yang digunakan Gus Dur dalam menyelesaikan maslah Pansus DPR. Sindhunata khawatir strategi tersebut digunakan Gus Dur dalam menyelesaikan seluruh masalah bangsa ini. Cattenacio merupakan strategi bertahan dalam sepakbola Italia. Ciri utamanya adalah bertahan dengan menggrendel lawan, lalu mencari sela-sela untuk secepat mungkin menggebuk gawang lawan (Sindhunata, 2000).

Kalau oleh Gus Dur strategi permainan bola dijadikan sebagai strategi dalam berpolitik. Maka di daerah, Sepakbola dijadikan alat untuk menaikkan popularitas para politikus daerah. Beberapa bakal calon bupati/walikota misalnya, pada kampanyenya berjanji akan memajukan sepakbola daerah. Calon bupati/walikota tersebut belajar dari keberhasilan pemilik AC Milan, Silvio Berlusconi ketika berhasil memenangkan pemilu perdana menteri Italia. Sebagaimana diketahui, Berlusconi adalah pengusaha yang kemudian berhasil membeli klub terbesar di Italia, yaitu AC Milan. Popularitasnya meningkat ketika dia berhasil memimpin AC Milan dengan gemilang. Popularitas tersebut kemudian dimanfaatkannya untuk memenangkan pemilu perdana menteri dan ternyata berhasil.

Partai politik juga mulai menggunakan bola sebagai alat untuk menarik massa. Beberapa partai politik ditengarai memberi dukungan pada tim sepakbola yang memiliki warna kaos sama dengan partai yang bersangkutan. Bahkan diduga mendorong tim untuk mengganti warna kaos mereka agar sama dengan partai yang bersangkutan. Hal ini bagi sebagian orang mungkin terkesan aneh, bagaimana mungkin partai politik mau menggelontorkan dana mereka hanya untuk membeli warna kaos tim bola. Namun, kondisi ini bisa dimaklumi mengingat di Indonesia warna sangat identik dengan partai politik. Warna hijau, misalnya identik dengan PPP, PKB ataupun partai berbasis Islam lainnya, kemudian kuning dengan Golkar, merah dengan PDIP dan biru dengan PAN atau bisa juga Demokrat.

Alasan lainnya adalah kepopuleran sepakbola yang tidak terkalahkan oleh olahraga lainnya. Selain itu, para pendukung fanatiknya rela melakukan apa saja untuk membela klub mereka. Inilah yang menjadi target partai politik, mereka ingin kepopuleran tim sepakbola yang “disponsorinya” akan membawa kepopuleran bagi partai yang bersangkutan. Target lain adalah massa pendukung tim tersebut akan secara otomatis menjadi pendukung partai yang bersangkutan.

Penggunaan strategi bola dalam berpolitik membuktikan bahwa sepakbola merupakan olahraga yang indah, memerlukan kecerdasan dan memberi inspirasi. Sedangkan penggunaan Bola sebagai alat untuk mendongkrak popularitas bagi sebagian politikus/sebagai alat politik merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan. Karena akan mencemari kemurnian sepakbola sebagai sebuah permainan olahraga. Selain itu, sepakbola dikhawatirkan akan semakin berpotensi memunculkan konflik sosial ditengah masyarakat.

“Airplane Crash”*


(tulisan lama yang baru sempet diupload)

Misteri hilangnya pesawat Adam Air akhirnya terpecahkan. Segala daya upaya telah dilakukan, mulai dari pemanfaatan teknologi canggih hingga yang paling tradisional (paranormal). Hilangnya pesawat Adam Air tersebut menambah panjang daftar kecelakaan pesawat terbang di Indonesia beberapa tahun terakhir. Menurut data Departemen Perhubungan, selama kurun 2001-2005 terjadi 22 kasus kecelakaan pesawat, dengan peningkatan 75,62 % kasus per tahun. Jumlah korban yang meninggal dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 jumlah korban meninggal 14 orang, tahun 2004 menjadi 57 orang dan tahun 2005 sebanyak 161 orang. Tahun 2006 lalu, dengan adanya kecelakaan pesawat Adam Air tersebut jumlah korban meninggal bisa lebih dari 100 orang.

Kalau dilihat secara historis, kasus yang menimpa industri penerbangan Indonesia saat ini mirip dengan krisis keuangan (financial crash) Indonesia pada tahun 1998. Krisis diawali dengan kebijakan liberalisasi sektor keuangan pada tahun 80-an. Kebijakan tersebut merangsang para pengusaha untuk membuka bank baru guna mendukung keuangan korporasi mereka. Padahal pengusaha tersebut tidak tahu seluk beluk dunia perbankan. Disisi lain liberalisasi tersebut tidak dibarengi dengan kesiapan institusi (aturan main) yang memadai.

Liberalisasi sektor keuangan kemudian memunculkan fenomena financial crash. Suatu kondisi dimana konglomerat yang menguasai bisnis perbankan memiliki hutang lebih besar dibanding grup atau perusahaan yang tidak mempunyai bank sendiri. Hutang tersebut banyak diperoleh dari pasar uang internasional yang mengandung resiko tinggi. Sehingga ketika bisnis perbankan collapse, hutang menjadi tidak terbayarkan, maka terjadilah financial crash.

Kalau dalam sektor keuangan ada fenomena financial crash, maka dalam industri penerbangan yang terjadi adalah airplane crash. Suatu kondisi yang merupakan konsekuensi dari liberalisasi industri penerbangan komersial yang tidak disertai dengan aturan main yang memadai. Liberalisasi kemudian diikuti dengan pembukaan maskapai penerbangan baru. Banyak diantara pengusaha maskapai penerbangan baru tersebut yang tidak memahami dunia penerbangan secara baik. Banyaknya maskapai penerbangan baru mendorong terjadinya persaingan tarif yang sangat ketat. Sehingga untuk menekan biaya, pengusaha memotong berbagai pos pengeluaran, termasuk pengeluaran yang terkait dengan faktor keselamatan penumpang. Konsekuensi dari pemotongan tersebut adalah terjadinya kecelakaan pesawat (airplane crash) yang memakan korban jiwa.

Pemerintah seharusnya menyadari bahwa liberalisasi sektor penerbangan tanpa disertai adanya kesiapan institusi akan berakibat buruk. Karena industri penerbangan memiliki kemiripan dengan industri perbankan, yaitu sebagai industri yang membutuhkan pengawasan ketat karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Bahkan dalam industri penerbangan, seharusnya pengawasan lebih ketat dari industri perbankan, karena kesalahan sedikit saja akan berakibat pada hilangnya nyawa manusia.


* Harian Seputar Indonesia, edisi 12 Januari 2007