Saturday, June 04, 2011

Kampung(an) Jakarta

Seringkali kita malu kalau dibilang anak kampung atau dikatakan kampungan, mungkin hanya Slank saja yang berani memposisikan diri mereka dengan kata kampungan, sebuah kata yang sering di identikkan dengan urakan, terbelakang, gak mau tahu aturan dll. Saya tidak akan ngemeng tentang definisi kampung disini, tapi yang jelas kampung adalah tempat kita hidup bermasyarakat sehari-hari, terutama bagi kelas menengah kebawah di perkotaan, tentu saja termasuk Jakarta. Ya, Jakarta adalah kampung raksasa, identitas yang dilupakan saat ini. Kalau tidak percaya, coba saja naik ke salah satu gedung bertingkat di Jakarta dan tengoklah sekeliling, pasti akan melihat rumah-rumah berdesak-desakan yang kalau kita lihat secara lebih dekat akan menemukan jalan berliku, berkelok-kelok laiknya labyrinth.

Anehnya, selama saya tinggal di perkampungan di Jakarta, saya belum melihat program pemerintah Provinsi/Kota Jakarta untuk membangun kampung, sesuatu yang akan dengan mudah ditemukan di kota Yogyakarta. Paling tidak yang terlihat adalah adanya tamanisasi di kampung-kampung kota Yogyakarta, jadi masing-masing kampung memeroleh sejumlah anggaran tertentu untuk memperbaiki taman kampong. Kemudian ada lagi program biopori dan pembuatan sumur resapan di jalan-jalan kampung untuk menampung limpahan air hujan agar jalanan tidak banjir tentunya. Hal ini dikarenakan di jalan-jalan kampong jarang ditemui got/saluran air kecil. Selain itu juga untuk menambah debit air tanah yang semakin turun kualitas dan kuantitasnya. Ada juga program pemilahan sampah dan pengolahan sampah organik bagi warga kampung, karena semakin banyak sampah yang dihasilkan masyarakat dan ada kemungkinan akan ditutupnya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah Kota Yogyakarta yang selama ini berada di Kabupaten Bantul.

Dulu, pada masa Ali Sadikin konon ada program untuk memperbaiki perkampungan Jakarta, programnya sederhana, memperbaiki got/saluran pembuangan air di kampung-kampung. Warga-pun menyambut baik program itu dan sangat berterimakasih kepada pemerintah karena sangat perhatian. Sekarang, yang pernah saya lihat adalah perbaikan/pengecoran jalan kampung, hanya untuk memperhalus jalan. Selain itu saya tidak melihat program lain untuk kampung, mungkin saya yang memang kurang gaul dengan pak RT jadi kagak tau program pembangunan perkampungan Jakarta. Atau mungkin saya terlalu banyak main di kawasan menteng jadi tahu-nya Jakarta itu terdiri dari taman-taman kota yang asri, jalanan yang di tengahnya ada jalur hijau dengan bunga-bunga yang bermekaran.

Tapi bagaimanapun juga, Jakarta ke depan tentu masih akan berhadapan dengan berbagai masalah, salah satunya banjir. Pertanyannya adalah bagaimana mengurangi hal tersebut, dimulai dari perkampungan. Kenapa kampung? karena hampir semua rumah di jakarta membuang limbah air dan juga limpahan air hujan ke got-got atau bahkan jalan kampung yang kemudian bermuara di sungai atau membanjiri jalan raya. Sementara untuk gedung bertingkat atau perumahan elit, mereka sudah lebih tertata system sanitasinya. Bagaimana solusinya? Apakah dengan membangun sumur resapan di kampong-kampung agar limpahan air hujan tidak mengalir ke jalanan atau mengumpul di daerah tertentu yang berakibat bajir? Ataukah dengan memperbaiki got-got yang ada, memperlebar dan memperdalam dari tahun ke tahun sehingga ada proyek perbaikan got tiap tahun? Sebagaimana proyek mengatasi kemacetan dengan membangun jalan baru, absurd memang. Tapi itulah Jakarta kita, sebuah daerah/wilayah yang gak mau disebut kampung tapi kampungan.

Belum lagi kita berbicara tentang sampah dan kemacetan? Ah, sudahlah saya mau tidur dulu..

RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, 23:40

Monday, December 27, 2010

Pada Sebuah Jalan

1. Akhirnya aku sampai pada sebuah jalan, yang aku yakini,
Sebuah Jalan yang seringkali terlalu berisik, terlalu banyak suara, terlalu banyak kata, sampai kita tak menyapa
Namun terKadang jalan ini begitu sunyi, tak bersuara, hanya diam, menyimpan Tanya,

2. Jalan ini sungguh berliku, Kadang naik begitu tinggi, dan yang paling kutakutkan, ketika jalan ini turun begitu tajam, curam, menyakitkan
Kadang jalan ini menikung tajam, belok ke kanan dengan tiba-tiba, membuat terhenyak, kaget tak terkira
Sesekali menikung ke kiri, tanpa ada tanda, hanya kelokan tajam yang harus dilalui, tanpa tahu mengapa

3. Jalan ini belum bebas hambatan, bukan melulu jalan tol, namun bukan pula jalan kampung
Jalan ini kadang macet, Berhenti di suatu titik dan tak beranjak, Hanya diam tak bersuara
Namun terkadang, jalan ini berjalan terlalu cepat, sampai aku lepas kendali

4. Pada suatu kali, jalan ini hilang, Entah kemana, aku tak tahu, terus mencari,
Aku pun berteriak, untuk memanggilmu, agar kau tahu bahwa aku terus mencari,
Kadang aku bernyanyi untuk membuatmu kembali, hingga suara tak ada lagi

5. Kadang jalan basah, air mata turun tak terkira, tak tertahankan
Hingga memunculkan sebuah genangan, pada lubang-lubang jalanan, yang belum juga hilang
Air mata itu kadang sangat menyejukkan, membuat teduh jalanan, tenang, membuai-kan

6. Dikanan kiri jalan ini, dipenuhi berbagai warna cerah menyenangkan,
Seringkali aku dibikin takjub, oleh jalan ini, membuatku mengucap syukur tanpa henti
Tidak ada jalan yang lebih indah kataku, tidak ada jalan yang begitu memikat selain jalan ini

7. Dan Pada sebuah jalan ini, pada akhirnya kutambatkan semua mimpiku, untuk bisa bersamamu
Pada sebuah jalan yang penuh harapan, karena hanya pada jalan ini aku bisa menemukan sebuah cinta yang penuh
Pada sebuah jalan, hadir sebuah cerita, pencarian makna, upaya penyempurnaan hidup dan kehidupan,
untuk menjadi manusia yang benar-benar utuh, untuk akhirnya purna, dengan sempurna

Monday, May 10, 2010

Kita Perlu Solusi bukan Polusi..

Mengeluh bukanlah jalan keluar, apapun itu, sebagaimana ketika kita hanya geram dengan cuaca Jakarta akhir-akhir ini yang semakin tak menentu. Ketika siang suasana sangat panas dan mendadak mendung menggantung dan akhirnya hujan disertai angin, bahkan di beberapa daerah terjadi hujan es. Bagaimanapun juga ini merupakan fenomena alam yang tak biasa, semakin hari bukannya semakin menentu, tapi menunjukkan kecenderungan terjadinya random walk dan jauh dari kondisi stasioner kalau pakai istilah statistik.

Polusi sudah sedemikian parahnya, efek rumah kaca sudah menunjukkan pertanda yang semakin nyata. Alih-alih mencari solusi jangka panjang, kita malah sibuk mencari penyelesaian sesaat dengan memasang kipas angin dan menyalakan AC sampai batas maksimal. Sedangkan diluar sana beberapa penyebab efek rumah kaca masih dengan nyaman berkeliaran dan memperoleh berbagai fasilitas. Jalan diperlebar, kredit motor/mobil dipermudah, upaya untuk memberlakukan jalur 3 in 1 menunjukkan kegagalannya karena terang-terangan para joki mencari pelanggan di samping aparat penegak hukum. Kendaraan umum yang diharapkan bisa menjadi solusi pengurangan penggunaan pribadi justru menjadi penyebab kemacetan dan polusi yang akut, ditandai dengan keluarnya asap hitam dari beberapa angkot.

Jakarta sepertinya sudah tidak mampu lagi menampung ini semua, hampir setiap hari terjadi kemacetan, lorong perumahan semakin sempit. Bukan hanya karena banyak pedagang yang mangkal, tapi juga halaman rumah yang semakin menjorok ke jalanan dan mengharuskan kendaraan parkir di bahu jalan. Satu jengkal tanah begitu berharganya, sehingga tanaman pun tidak punya ruang untuk tumbuh, tanah tidak bisa lagi menyerap air untuk menahan laju peresapan air laut. Padahal disisi lain, tanaman sangat diperlukan untuk mengurangi panas dan tentu saja efek rumah kaca.

Jakarta memerluka solusi yang komprehensif, perlu kerjasama dari berbagai pihak, terutama kesadaran masyarakat Jakarta sendiri untuk mencari solusi atas permasalahan kotanya. Bahkan Jakarta sudah dinobatkan sebagai kota dengan polusi udara terburuk ketiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand. Konon penyumbang polusi terbesar adalah sektor transportasi yang mencapai 70 persen. Berbagai upaya telah dilakukan dan diklaim telah membuahkan hasil yang signifikan. Salah satunya adalah program Car Free Day yang telah dijalankan di Jakarta selama ini. Rencananya Car Free Day akan terus digalakkan di seluruh wilayah Jakarta selain itu juga dilaksanakan pula Jakarta Great Clean dengan cara melakukan penutupan jalan-jalan atau kawasan-kawasan tertentu di Jakarta selama 6 jam, antara lain Sudirman-Thamrin, kawasan kota tua, Rasuna Said, Boulevard Artha Gading, dan Jalan Letjen Suprapto. Hasilnya, kadar debu di Jakarta berkurang sampai 40 persen, Karbon (CO) berkurang sampai 63 persen, dan N0 berkurang sampai 71 persen. Terlepas dari apakah hasil tersebut valid atau tidak, namun bagaimanapun juga pengurangan penggunaan kendaraan bermotor adalah solusinya.



Beberapa organisasi masyarakat mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan angkutan massal ramah lingkungan dan segera memenuhi aturan minimal ruang terbuka hijau (RTH) 13,94 persen dari luas Jakarta yang saat ini baru mencapai sekitar 9 persen RTH, padahal idealnya 30 persen. Salah satu yang dilakukan adalah dengan membangun jalur bussway yang menurut saya bisa dikatakan banci karena terlalu ragu. Idealnya jalur bussway benar-benar bersih dari kendaraan lain, sehingga bisa melaju dengan cepat dan nyaman sebagai salah satu daya tarik peralihan dari kendaraan pribadi. Ternyata bukan hanya jalurnya yang sering dinistai oleh kendaraan lain sehingga menghambat laju, volume bussway juga bisa dikatakan kurang mencukupi sehingga memunculkan antrian panjang di berbagai halte utama dan ini sangat tidak nyaman. Kondisi ini malah diperparah dengan dugaan miring terhadap operator bussway terutama terkait dengan jumlah subsidi, yang tentu saja memunculkan sinisme berbagai pihak yang mungkin akan mengancam proyek bussway dan proyek-proyek transportasi masal lainnya.

Pertanyaannya adalah, apakah kita hanya akan menunggu dan menyerahkan semuanya kepada pemerintah atas nama negara untuk menyelesaikan masalah yang kita sendiri sebenarnya ikut berkontribusi menambah polusi terutama dengan kendaraan bermotor yang kita gunakan? Ataukan kita akan mencari solusi meskipun kita mungkin hanya akan berkontribusi sangat kecil terhadap pengurangan polusi. Sebagaimana pernyataan Pramoedya, “Kita harus jujur sejak dalam Pikiran”, kita harus jujur apakah kita akan menjadi seorang apatis ataukah problem solver?



Menanam satu orang satu pohon bisa menjadi solusi, berjalan kaki dan mengerem untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ketika bepergian jarak dekat adalah solusi lain, menggunakan sepeda ‘onthel’ untuk jarak menengah adalah solusi yang tak kalah elegan, mendorong pemerintah untuk segera menyempurnakan public transport adalah solusi yang cukup wah, mencari tempat tinggal di dekat lokasi kerja atau menerapkan system clustering antara tempat tinggal dan lokasi tujuan (tempat kerja/sekolah/kampus) merupakan hal lain yang bisa menjadi solusi karena paling tidak akan mengurangi jarak penggunaan kendaraan bermotor. Memindahkan ibukota adalah solusi besar lainnya yang patut diwacanakan untuk masa yang akan datang. Masih banyak hal lain yang bisa menjadi solusi, meskipun merupakan hal yang menurut kita kecil, namun apabila dilakukan dan ditularkan kepada orang lain sekitar kita bukan tidak mungkin akan menjadi solusi besar untuk ibukota kita tercinta. Apapun bisa dilakukan di Jakarta, Enjoy Jakarta.

Monday, January 25, 2010

Tentang Bienalle Jogjakarta X-2009



“Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa”

Bienalle jogja kali ini serasa lebih meriah, seni instalasi mewarnai hamper di setiap sudut kota (terutama di jalan utama). Yang terlihat cukup banyak tentu saja di kawasan Kantor Pos besar yang konon dulu ada air mancur di tengahnya. Di seputar perempatan bias ditemukan beberapa karya, diantaranya gambar Maestro Affandi dalam bentuk print out baliho besar yang digantungkan di dinding gedung Bank BNI. Kemudian di tempat lain ada gambar Raden Saleh salah satu perintis seni lukis modern di Indonesia yang sangat legendaries. Pergaulannya sangat luas bahkan pernah melanglang buana hidup di Eropa pada masanya. Sesuatu yang mungkin hanya dinikmati oleh beberapa pelajar Indonesia yang benar-benar Oustanding dan Militan.

Disisi lain tepatnya di dinding kantor pos besar yogyakarta terpampang baliho besar bergambar Soekarno dan pernyataannya tentang kemerdekaan seniman Yogyakarta. Tepat diseberang jalan kantor pos besar ada patung sebuah keluarga bapak-ibu dan anak yang masih kecil sedang naik sepeda berboncengan. Mengingatkan pada sebutan yogyakarta sebagai kota sepeda, mungkin saat ini ada tambahan satu kata di belakang sepeda yaitu motor! Karena pengendara sepeda sudah semakin tersisih dan kebanyakan menaiki sepeda bermotor bahkan mobil. Nah, kalau mobil tambah banyak, siap-siap saja menikmati kemacetan Jogja yang saat ini sudah mulai terasa.



Di sebelah patung keluarga pesepeda terdapat patung agak tinggi yang menyerupai robot tapi bersayap kupu-kupu. Gambaran malaikat modern mungkin, karena bentuknya robot. Diseberang jalan patung robot ada patung rumah dengan seseorang duduk di depan rumahnya. Rumahnya terbuat dari kaleng sprite bekas, begitu juga orangnya. Dan di rumahnya tertulis home sweet home, mungkin memberi gambaran tentang pemukiman kumuh yang memakai barang bekas, namun penghuninya tetap menempati bahkan mempertahankan mati-matian, meskipun sebenarnya tidah sweet tinggal disana. mungkin sebuah sindiran atau gambaran bagaimana potret masyarakat kita yang masih belum bias mempunyai rumah yang layak (manusiawi).



Agak ke sebelah utara dari patung robot dewi (angel) aku menyebutnya seperti ini, gak taulah penciptanya memberi judul karyanya. Ada patung wajah Suharto yang tidak utuh, ada yang dibikin seolah rusak sebagian bagian belakang, namun ada yang dibikin rusak agak ke depan, jadi sebagian wajahnya rusak. Mungkin untuk menggambarkan penampakan manis penguasa orde Baru tersebut yang ternyata banyak menyimpan / menyembunyikan keburukan.

Di sebelah utara lagi, di ngejam-an. Begitu sebutannya karena disitu ada Jam besar yang terletak di tengah pertigaan di depan sebuah Gereja kecil di samping Mirota Batik. Ada patung monster Sophaholic yang menjijikkan, agak ganjil, mungkin sebagai penggambaran budaya Sophaholic yang terlalu naïf, rakus, ketika berbelanja seolah-olah tidak ada hari lain lagi, dunia berakhir esok pagi sehingga ketika berbelanja semacam orang yang kesurupan monster sophaholic. Dengan gincunya yang menor, kemayu dan menenteng tas belanja besar berisi macam-macam tentengan.

Lebih ke utara lagi tepatnya di tengah jalan ujung jalan malioboro ada karya berbentuk gunting. Entah maksudnya apa mungkin sebagai simbolis bahwa acara ini telah dibuka dan dimulai dari titik itu. Atau jalan malioboro dimulai dari titik itu, seperti gunting yang menggunting pita pembukaan sebuah acara. Pokoknya menafsirkan asal-asalan lah, semoga tidak ada yang menuntut tulisan ini dengan pasal karet UU ITE karena perbuatan/tulisan yang tidak mengenakkan.



Agak kebarat dari gunting tadi, ada patung segerombolan orang naik sepeda sambil bersuka ria atau apalah dengan ekspresi berteriak teriak gitu. Tepat disamping patung itu ada parkir sepeda, saya gak tau apakah parkir itu sudah ada sebelumnya atau sebagai pelengkap dari patung pesepeda itu yang menggambarkan semangatnya orang bersepeda. Ya, di jogja saat ini memang sedang digalakkan kembali sepeda sebagai transportasi yang ramah. Di hamper setiap jalan ada jalur khusus pesepeda yang menyatu dengan jalan raya dan banyak terdapat penunjuk jalan alternative bagi pesepeda. Inisiatif yang bagus dari pemerintah kota menurut saya. Namun yang belum ada hingga saat ini adalah insentif bagi pesepeda, entah itu kemudahan parkir gratis atau dapat minum gratis ditempat-tempat tertentu dengan menunjukkan kartu parkir sepeda misalnya, bersepeda kan lumayan capek dan haus tentunya, apalagi ditengah teriknya kota jogja yang semakin membakar dan bikin hitam.

Ada beberapa titik lagi yang menampilkan karya biennale seperti di dekat plengkung, perempatan gondomanan, bunderan UGM dan beberapa tempat lain dalam bentuk mural. Yang jelas, Bienalle kali ini terasa lebih meriah, salut kepada seluruh penggagas dan penyelenggara event dua tahunan ini, bagaimanapun juga atmosfer seni semakin terasa di kota jogja.

Thursday, January 14, 2010

Sekaten..Jogja's People Party..!!!





Kali ini perjalanan ke jogja bertepatan dengan berlangsungnya pesta rakyat masyarakat Jogja Sekaten yang konon berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimah syahadat sebagai ikrar seseorang masuk Islam. Sudah banyak artikel, cerita yang menceritakan tentang ini, coba cari di google pasti akan ketemu. Jadi mending cerita yang lain saja.

Semasa kecil dulu perayaan sekaten adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu bagi kami sekeluarga, maklum sebagai keluarga yang cukup, sekaten merupakan hiburan yang sangat menghibur, murah dan meriah. Dulu ketika kecil saya sering diajak ke sekaten oleh ayah dan ibu dengan membonceng di belakang sepeda tentu saja dengan kaki diikat ke bodi sepeda biar tidak terjepit ruji sepeda. Pengalaman yang mengerika dulu ketika terjepit ruji sepeda, sampai srampat sandal jepitku hampir putus dan sakitnya minta ampuuunnn, tentu saja aku nangis sekeras-kerasnya,huahuahuaaaaa…

Alasan ke sekaten naik sepeda pertama karena memang itulah satu-satunya alat transportasi yang kami punya, karena belum punya motor saat itu, kedua kalau naik andong cukup mahal, ketiga karena ayahku penggemar sepeda, jadi alas an terakhir ini sepertinya yang susah diganggu gugat. Saking senengnya bersepeda, kemana-mana kami selalu diajak bersepeda bersama dengan sepeda onthel jawa nya yang dicat Hijau, hmmm.., entah karena ayahku seorang Muhammadiyah Notog atau karena fanatic pada P3, sepertinya alasan fanatic pada partai kurang beralasan. Namun kalau fanatic pada Muhammadiyah itu cukup beralasan, karena ayahku adalah seorang pengurus Muhammadiyah di Kotaku Kotagede sekaligus seorang guru bahasa Indonesia di SMP Muhammadiyah VII.
Hal yang sering dilakukan ke sekaten adalah masuk ke museum Keraton Yogyakarta, kalau tidak salah sudah dua atau tiga kali kami kesana, bahkan mungkin lebih. Tapi kalau untuk naik atraksi yang bermacam-macam sepertinya aku dulu harus merengek-rengek cukup lama-lah,hehe.. mungkin tujuan ayahku baik juga, agar kami sadar sejarah dan kami tahu sedikit tentang sejarah jawa, jadi bagaimanapun juga, meskipun di Sekaten jiwa pendidik ayahku masih saja muncul. Ketika sudah agak besar, aku mulai naik sepeda sendiri tanpa dibonceng, trus lebih gedhe lagi kadang naik andong mbonceng dibelakang, tapi ketoke ra mbayar, lali aku.

Ada mainan unik yang sering kami beli ketika sekaten dan tidak bosan-bosan memainkannya, yaitu kapal othok-othok (kapal ini sampai saat ini masih ada yang jual lho, kemaren liat di belakang kantor pas mau jumatan). Kapal kecil ini dari seng dengan sumbu kecil dibelakang yang dicelup ke minyak goring kemudian di baker dan keluar bunyi othok-othok dan abracadabra! kapal berjalan dengan ajaibnya. Teknologi sangat sederhana yang ampuh menjalankan kapal, ini benar-benar kapal api namanya. Selain itu ada endog sunduk berwarna merah muda yang banyak juga dijumpai pada saat sholat id hari raya idhul fitri di Kotagede. Telur ayam yang dicelupkan ke dalam pewarna makanan berwarna merah jambu yang disunduk kayak sate dan diberi hiasan warna warni di lidi ujung penyunduknya.




Sekaten kali ini tidak kalah meriahnya dengan sekaten dulu, meskipun pamornya sempat redup beberapa tahun yang lalu, namun perayaan rakyat ini kembali ramai oleh pengunjung. Ada beberapa yang menarik, diantaranya awul-awul begitu orang banyak menyebutnya untuk dagangan pakaian bekas impor. Awul-awul karena memeng dipajang awul-awulan dan harus mengawul-awul untuk memilih pakaian dan sukur-sukur bias dapat pakaian bekas bermerek yang kondisinya masih bagus dengan harga 10 ribu rupiah. Tapi jangan lupa untuk mencuci dengan sangat bersih, karena gak tahu tuh kumanya sudah berapa banyak di pakaian itu, mungkin udah sekampung banyaknya, jadi perlu perlakuan ekstra kalau mau direalisasikan untuk dipakai.

Tempat lain ada hiburan lumba-lumba, kalau yang ini sudah sangat biasa, kemudian roda raksasa yang ini biasa juga sebenarnya, tapi menarik karena kita bisa melihat sekeliling dari atas. Kemudian ada beberapa yang baru, yaitu flying fox, trus main anjot-anjutan diatas karet, bom-bom car ada juga. Yang tak kalah menarik adalah permainan semacam putaran ombak, jadi penumpang duduk di kursi samping sebuah lingkaran kemudian lingkaran itu di putar oleh beberapa orang dan putarannya dibikin naik turun. Jadi semacam gelombang ombak yang berputar bergelombang. Sebenarnya yang menarik adalah para pemutar lingkaran ini yang seringkali sambil melakukan atraksi jumpalitan, koprol sambil naik turun, lompat-lompatan.

Ada lagi yang juga dijalankan manusia, yaitu semacam ayunan yang biasa kita jumpai di TK, namun ini bentuknya agak besar menyerupai kapal. Jadi kayak mainan di Dunia Fantasi yang berbentuk kapal gedhe maju mundur berayun hampir memutar itu. Tapi yang ini diayun oleh manusia-manusia yang cukup perkasa menurut saya, karena mengayun ini hampir semalaman.

Atraksi lain yang menarik adalah Tong Stand atau orang biasa menyebutnya sebagai tong setan. Dengan membayar Rp. 5.000,- kita bias menyaksikan sebuah atraksi penunggang sepeda motor yang berputar di dalam tong raksasa dengan putarannya berhasil naik melawan hukum gravitasi dan tidak jatuh. Bahkan ada yang sambil menghisap rokok dan duduk bersila diatas sepeda motor sambil lepas stang kata orang jawa atau tanpa memegang setang motor sama sekali. Atraksi pertama ada satu motor yang berputar-putar, kemudian dua motor berputar secara berbarengan dengan silih berganti mencapai puncak dan bersama-sama yang satu di depan dan belakang seperti kejar-kejaran tapi gak tahu siapa yang mengejar dan siapa yang dikejar. Kemudian pintu di dalam tong terbuka dan masuklah sebuah sepeda onthel! Kedua motor kemudian kembali lagi melanjutkan ritualnya berputar-putar di dinding tong dan menyusullah si sepeda dengan mengayuh sekuat tenaga, sehingga tercipta kombinasi dua motor dan satu sepeda. Sepeda berada di paling depan dan kedua motor menyusul di belakang. Wow, gila juga ternyata.

Monday, January 11, 2010

Perjalanan di Awal Tahun

Aku pengen pulang awal tahun ini, meskipun akhir tahun kemaren juga pulang ke Jogja. Dan sekarang aku kembali menyusuri rel Jakarta Jogja dengan kereta senja yang membawa sekian banyak gerbong, entahlah sudah berapa kali aku naik kereta ini, hampir setiap bulan, paling tidak dua bulan sekali aku menumpang kereta ini. Sekarang, kebetulan aku di gerbong 7 dan masih ada 2 gerbong penumpang lagi, jadi secara keseluruhan ada 9 gerbong. Tentu saja seperti biasa kereta tua ini berjalan dengan berat, mungkin kalau bisa teriak dia sudah teriak, bukan saja karena diberi muatan terlalu banyak, tapi juga jarang dirawat. Lantainya sangat kotor, begitu pula dengan jendelanya yang buram dan beberapa kaca terlihat retak. Kipas angin juga enggan berputar terdengar dari bunyinya yang menyayat mengganggu. Begitu juga dengan toiletnya yang super duper bau tidak karuan. Suram, muram diterangi lampu yang temaram, inilah gambaran kereta senja Jakarta-Jogja. Namun, dengan segala kereyotan dan kekumuhan ini, kereta senja tetap melaju dan dicari pelanggannya yang setia meskipun kalau mau jujur sebenarnya kurang disuka.
Sampingku kebetulan seorang pegawai PLN yang baru saja dipindahkan ke serang untuk menjadi operator di pembangkit listrik tenaga uap yang baru saja dibangun. Proyek ini adalah kerjasama dengan pemerintah China, sehingga hamper seluruh alatnya didatangkan dari China, begitu juga dengan operatornya dan beliau juga sempat dikirim ke China untuk magang sesaat. Maklum-lah untuk proyek kerjasama semacam ini, Negara “donor” pasti menetapkan bahwa seluruh peralatan dari negaranya. Obrolan pun berlanjut ngalor ngidul tentang Jawa yang masih kekurangan pasokan listrik hingga istrinya yang sering kulakan di warung saudaraku di Banjarnegara. Dunia ini sempit kawan. Tapi yang masih saja bikin heran, kenapa ya kalau naik kereta, entah itu eksekutif argo, gajayana, taksaka, senja, fajar, sawunggalih, progo, KRL, KRD kok ya gak pernah dapat tempat duduk disamping cewek, klo gak bapak-bapak, om-om, ya mas-mas, OMG..
Pulang sari statsiun gak langsung pulang, tapi jalan-jalan dulu menikmati udara pagi jogja dan nongkrong di warung soto ayam pinggir jalan. Sebelumnya mengitari Malioboro dan melihat-lihat hasil karya yang dipajang dalam rangka bienalle jogja, mulai dari ujung malioboro sebelah utara hingga perempatan pancuran. Yang menarik di pagi adalah tampilan langit yang agak muram, awan yang dijejali dengan sinar matahari pagi yang mulai menyeruak. Saat yang tepat untuk mengambil potret karya bienalle dengan latar langit pagi.
Selesai dengan keasyikan mengambil potret, kemudian menuju halte trans jogja, mencoba public transport di Jogja yang ternyata lebih bagus dari Jakarta menurutku. Disini angkot tak ada yang separah Metromini 640 (baca : http://watonomics.wordpress.com/2009/10/20/membaca-kembali-ekonomi/). Meskipun ada beberapa kelakuan yang sama, naik turun penumpang seenaknya, tapi tidak separah di Jakarta yang sopirnya rela ngetem di tengah jalan hingga memacetkan ruas jalan dan mendapat umpatan dari banyak orang. Meskipun aku tidak naik bis kota (sebutan angkot di jogja), namun ketika naik trans jogja dan melihat beberapa bus kota yang lewat, konsisinya cukup lumayan, tidak terlalu berkarat seperti beberapa angkot di Jakarta lah.
Suasana di dalam trans jogja cukup unik, beberapa penumpangnya sudah saling kenal, bahkan dengan karyawan Trans Jogja juga kenal dengan baik dan kelihatan sangat akrab. Kehangatan seperti inilah yang tidak dijumpai di Jakarta, hamper semua penumpang berwajah muram, seolah-olah saling curiga kalau ternyata sampingnya copet yang selalu siap memangsa, di jogja suasana begitu cair. Pengumuman lokasi halte tidak diumumkan lewat corong otomatis seperti di Bussway Jakarta, namun diteriakkan oleh seorang kernet wanita. Hal lain yang menarik adalah, bus sebelumnya rela mundur kembali untuk menampung penumpang yang transit.

Sunday, November 30, 2008

Sepur

Tingkat kepadatan pemukiman yang cukup tinggi di Kota Jogja sedikit mengusik kerinduan kita akan adanya ruang publik di tengah-tengah kita. Sebuah ruang yang bisa digunakan untuk bersantai, bermain bagi anak-anak, bersosialisasi antar sesama dan lebih banyak lagi yang bisa kita lakukan di ruang ini. Saat ini, semakin banyak tanah lapang beralih fungsi menjadi pemukiman. Jalan kampung-pun semakin sempit, di beberapa wilayah, jalan kampung hanya selebar 1 – 1,5 meter. Jadi kalau ada dua pengendara motor bertemu, salah satu harus berhenti atau mundur mencari ruang yang agak longgar untuk berpapasan.

Keterbatasan ruang ini cukup menyusahkan bagi orang tua (ortu) yang memiliki anak kecil. Apalagi ketika menyuruh anak mereka makan, mereka biasanya mengajak jalan-jalan sambil menyuapinya. Pada saat saya kecil, kegiatan itu biasa dilakukan di dalam kampung sambil nonton pemuda kampung bermain layang-layang atau bola di tanah lapang kampung. Tidak adanya tanah lapang dan keberadaan jalan yang sempit tidak memungkinkan bagi ortu dan anak berjalan-jalan di dalam kampung, kalau berpapasan bisa kerepotan sendiri.

Akhirnya ortu mencari lokasi lain, salah satunya di bawah jembatan layang lempuyangan. Setiap sore ruangan sempit di sebelah barat teteg sepur bagian utara selalu dipadati oleh ortu yang mengajak anak mereka jalan-jalan sekaligus menyuapinya. Di lokasi tersebut sepur lalu-lalang, maju-mundur pindah jalur, masuk ke stasiun, ataupun masuk ke bengkel sepur di sebelah timur jembatan pempuyangan. Frekuensi lalu-lalang sepur (kereta api) yang cukup tinggi inilah yang dijadikan hiburan anak-anak.

Beberapa tahun lalu, lokasi tersebut belum begitu ramai, paling hanya beberapa anak dan ortu. Sekarang beberapa penjual makanan dan minuman, mulai dari penjual sate ayam hingga siomay, ikut nimbrung. Bahkan ada juga yang menjual jasa permainan anak, odong-odong. Lokasi tersebut akhirnya menjadi pusat keramaian baru yang memberi rejeki bagi warga yang hidup dari sektor informal.

Beberapa anak dan ortu yang tidak kebagian ruang di bawah jembatan, masuk ke lingkungan stasiun, tepatnya di sebelah selatan rel, dekat menara pengawasan। Ternyata bukan hanya anak-anak dan ortu mereka yang tertarik melihat sepur. Beberapa muda-mudi yang memadu kasih juga tidak mau ketinggalan, mereka bermesra-mesra diatas motor sambil nonton sepur. Mereka sebenarnya juga merindukan keberadaan ruang publik yang sudah begitu terbatas di kota ini. Penyelesaian yang dipilih-pun cukup sederhana, yaitu nonton sepur !

Semakin lama, lingkungan tersebut akan semakin ramai. Penonton sepur akan semakin banyak, begitu juga dengan penjual jasa dan makanan. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika pemerintah dengan alasan ketertiban menutup ruang tersebut dan melarang mereka “nonton sepur”. Tentu akan menimbulkan kekecewaan bagi anak-anak dan menghilangkan sumber penghasilan bagi pedagang. Kebijakan ini bukan tidak mungkin terjadi mengingat sebagian penjual sudah mulai menggunakan badan jalan di sebelah utara rel. Jika benar-benar terjadi, ortu harus kembali memutar otak untuk mencari ruang bagi ritual meyuapi anak mereka, begitu juga dengan pedagang, mereka harus mendorong atau memanggul dagangan mereka, mencari keramaian baru untuk sekedar memperoleh sesuap nasi. Semoga saja pemerintah bisa berlaku bijak.


Thursday, July 10, 2008

Perumahan Alternatif Bagi Rakyat

Ivan A. Hadar (Kompas, 3 Maret 2007) menjelaskan bahwa kemauan politik pemerintah dan semua pihak dalam mencari keseimbangan di antara berbagai kepentingan pelaku perumahan adalah dua syarat utama yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masalah perumahan di Indonesia. Dia mencontohkan kasus sukses Singapura dan Jerman dalam mengatasi masalah perumahan warganya dengan pembangunan rumah secara massal.

Pertanyaan yang muncul adalah, apakah program tersebut bisa menyelesaikan masalah perumahan rakyat di Indonesia. Disatu sisi, pemerintah juga dihadapkan pada permasalahan keterbatasan anggaran. Disisi lain, warga menengah ke bawah yang hidup di perkotaan biasanya menggantungkan diri dari sektor informal, mulai dari pemulung hingga pedagang kaki lima. Sehingga hampir bisa dipastikan bahwa penghasilan mereka tidak tetap dan kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan mereka untuk membeli rumah yang dibangun pemerintah tersebut layak dipertanyakan, meskipun dengan sistem cicilan.

Karena ketidakmampuan mereka untuk membayar cicilan rumah, mereka akhirnya akan kembali membangun rumah dengan cara mereka sendiri, entah itu di bantaran sungai, maupun di bawah jembatan. Pemerintah kemudian akan menggusur mereka, dan mereka akan membangun lagi di lokasi lain. Kejadian tersebut terus berulang dan menjadi semacam lingkaran setan.

Penyelesaian masalah perumahan dengan membangun rumah susun juga tidak sesuai dengan paradigma pembangunan saat ini yang mengedepankan pemberdayaan rakyat. Dalam kasus tersebut rakyat harus menerima keinginan pemerintah tanpa pernah ditanya apa sebenarnya keinginan mereka. Rakyat seharusnya berpartisipasi secara aktif untuk ikut menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Sebuah Alternatif

Adakah alternatif lain untuk menyelesaikan masalah perumahan dengan biaya yang lebih murah? John F.C. Turner, arsitek asal Inggris sekaligus penulis buku Housing by People, menyatakan bahwa masalah perumahan rakyat di Negara Sedang Berkembang bukan karena ketidakmampuan rakyat dalam membangun rumah, namun akibat dari kesalahan politik pemerintah. Pertama, pemerintah menganggap dirinya bertanggung jawab penuh dalam penyediaan perumahan bagi warganya. Kedua, rumah yang “layak” adalah rumah yang sesuai dengan standar pemerintah. Ketiga, pemerintah berhak merancang, membangun, dan menjual perumahan yang “layak” kepada masyarakatnya dengan harga terjangkau.

Menurutnya, pemerintah maupun pengembang perumahan, tidak akan mampu mengatasi masalah perumahan. Karena perumahan lebih merupakan suatu proses yang berkelanjutan, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan penghuninya, sehingga tidak bisa distandarisasikan. Untuk mengatasinya, perlu ada perubahan peran pemerintah dari perancang, pembangun, pemasok perumahan standar serta penggusur perumahan liar menjadi fasilitator.

Sebagai fasilitator, pemerintah hendaknya menghilangkan monopoli definisi rumah layak huni dan juga standardisasi perumahan rakyat. Pemerintah seharusnya mendorong masyarakat untuk membangun rumah dengan biaya sendiri. Pemerintah hanya menyediakan fasilitas yuridis (pemberian hak guna tanah dan status tanah), infrastruktur pendukung (listrik, air, jalan) dan bimbingan teknis (mengenai teknik bangunan, kesehatan, dan lingkungan).

Di Indonesia, meskipun memiliki potensi untuk dilaksanakan, namun sekali lagi, hambatan utamanya adalah dari pemerintah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tidak diterimanya usulan untuk mengesahkan perumahan liar. Atau dengan kata lain, pemerintah enggan untuk memberikan fasilitas yuridis, berupa pemberian hak guna tanah dan pengesahan status tanah yang ditempati masyarakat miskin kota.

Alternatif dari Sebuah Alternatif

Jalan lain yang sangat mungkin dilakukan untuk menyelesaikan masalah kebutuhan perumahan di Indonesia adalah dengan meniru cara Romo Mangun ketika membangun pemukiman Code-Gondolayu. Dalam proses pembangunannya, Romo Mangun mendukung kehendak rakyat untuk tetap bermukim dilokasinya dan melanjutkan kegiatan ekonominya. Dia bersama teman-temannya kemudian mengabdikan dirinya secara langsung mulai dari penataan kembali lingkungannya, perancangan kembali rumahnya, pembangunannya, pengecatannya hingga pembiayaannya. Selain itu sisi sosial ekonominya juga dibangun, mulai dari pembentukan pengurus kampung, koperasi simpan pinjam hingga kelompok belajar anak-anak.

Dalam perjalanannya, hambatan terberat yang dihadapi Romo Mangun adalah bagaimana memperoleh pemberian hak guna tanah dan pengesahan status tanah oleh pemerintah (tidak digusur). Untuk memperjuangkan usahanya, Romo Mangun mengancam akan melakukan mogok makan, jika penggusuran pemukiman Code tetap dilakukan oleh pemerintah.

Dari kasus tersebut kita bisa belajar bahwa pembangunan perumahan untuk masyarakat miskin sebenarnya tidak memerlukan dana yang sangat besar, namun bisa dilakukan secara swadaya. Pembangunan perumahan tidak boleh terpaku pada bangunan itu sendiri, namun juga harus bisa mendukung keberlangsungan hidup penghuninya. Selain itu, juga diperlukan pembangunan sosial-ekonomi agar bisa mengeluarkan masyarakat yang bermukim di daerah tersebut dari jurang kemiskinan.

Romo Mangun telah memperlihatkan bagaimana cinta kasih, ketulusan hati dan inovasi merupakan salah satu kunci utama untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Dan bangsa ini mungkin sudah kehilangan ketiga hal tersebut, sehingga penyelesaian permasalahan yang dihadapi seringkali menyakitkan dan kurang sehat (misal; penggusuran dan relokasi).




Saturday, February 09, 2008

Lasem Sebagai Kota Ziarah

Kota Lasem merupakan sebuah kota tua yang penuh dengan peninggalan kejayaan masa lalu. Peninggalan bersejarah kota Lasem bukan hanya terkait dengan keberadaan etnis Cina yang sudah bermukim selama ratusan tahun dan diduga sebagai generasi pertama masyarakat Cina yang menetap di Jawa, namun juga terkait dengan keberadaan Sunan Bonang sebagai salah satu wali penyebar agama Islam di Jawa. Keunikan Lasem juga terletak pada kerukunan antara etnis Cina dan Jawa yang hidup secara berdampingan selama ratusan tahun. Mereka bahkan pernah bekerjasama mengusir penjajah dari tanah Jawa.

Keberadaan Lasem sebagai jalur masuknya pendatang Cina dan Agama Islam ke Jawa menjadikan Lasem kaya dengan peninggalan religi yang bersejarah. Peninggalan sejarah yang terkait dengan religi di Lasem bisa digolongkan dalam dua kelompok, yaitu terkait dengan agama yang dianut etnis Cina dan terkait dengan keberadaan Sunan Bonang sebagai salah satu wali penyiar Agama Islam di Jawa.



Klenteng dan Kopi

Di Pusat kota Lasem terdapat klenteng Bie Yong Gio yang didirikan pada tahun 1780. Klenteng tersebut didirikan untuk menghormati pahlawan-pahlawan kota Lasem dalam perang melawan V.O.C pada tahun 1742 dan 1750. Perang tersebut dipimpin oleh tiga orang, yaitu Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat) yang merupakan Adipati Lasem (1727-1743) dan mayor Lasem (1743-1750). Kemudian Raden Panji Margono, seorang Islam-Jawa yang menjabat sebagai Adipati Lasem 1714-1727. Yang terakhir adalah Tan Kee Wie seorang pendekar kungfu dan pengusaha di Lasem. Perlawanan tersebut berhasil dipatahkan oleh kompeni atas bantuan pasukan dari madura. Penghormatan terhadap seorang pahlawan Islam-Jawa menunjukkan kerukunan antar Jawa-Cina dan juga menunjukkan toleransi antar umat beragama yang cukup baik.

Setelah melakukan perjalanan napak tilas di klenteng Bie Yong Gio kita bisa beristirahat sejenak dan menikmati Kopi Lelet khas Lasem di warung kopi Pak Gendut yang terletak di samping klenteng tersebut. Di sebut kopi lelet karena endapan air kopi digunakan untuk membatik (nglelet) di batang rokok. Alat yang digunakan untuk membatik bukanlah canting yang sering digunakan untuk membatik di kain, namun batang korek yang ujungnya runcing. Caranya, minuman kopi dituangkan sedikit di piring alas cangkir. Airnya diminum hingga menyisakan endapan kopi, agar endapannya lebih kering digunakan kertas tissu untuk menyerap air. Endapan kopi kemudian dicampur dengan susu kental manis agar lengket, kemudian baru digunakan untuk ngleleti batang rokok. Keberadaan kopi lelet di Lasem menunjukkan kuatnya budaya membatik yang dimiliki masyarakat Lasem yang tidak dimiliki oleh masyarakat daerah lain.



Jejak-jejak Islam

Dari warung kopi pak gendut, kita kembali ke jalan utama lasem dan berjalan ke arah timur. Disinilah dimulai perjalanan untuk menelusuri jejak peninggalan budaya Islam di lasem. Di sebelah selatan jalur utama tersebut kita akan menemukan masjid Lasem yang beberapa saat lalu baru dalam proses pemugaran. Lebih ke timur lagi, akan kita temukan pondok pesantren Al-Hidayah yang didirikan pada tahun 1917 oleh Mbah Ma’sum. Beliau merupakan aktivis Nahdatul Ulama bersama K.H. Hasjim Asj’ari dan beberapa pendiri NU lainnya sejak tahun 1927. Pondok ini cukup terkenal dan banyak menghasilkan tokoh-tokoh nasional. Beberapa alumninya sekarang juga mendirikan pondok pesantren yang banyak tersebar di seantero Jawa.

Tidak terlalu jauh dari pondok Al-Hidayah akan kita jumpai petilasan Sunan Bonang yang terletak diatas bukit dengan pemandangan laut Jawa yang cukup indah. Petilasan tersebut merupakan tempat yang biasa digunakan Sunan Bonang untuk sujud. Disamping petilasan terdapat makam Putri Cempo yang menurut cerita merupakan istri Sunan Bonang. Sayangnya di sepanjang tangga menuju petilasan banyak terdapat peminta-minta yang kadang sedikit memaksa. Dari kompleks petilasan, masuk ke selatan, terdapat makam Sunan Bonang. Makam Sunan Bonang sangat sederhana, merupakan tanah lapang yang dikelilingi pagar. Makam Sunan Bonang terletak ditengah-tengah ditandai dengan tanaman mawar.

Lebih jauh masuk ke desa tersebut bisa kita jumpai Rumah Sunan Bonang yang masih terjaga keasliannya. Rumah tersebut terlihat sebagai rumah Cina. Hal ini sesuai dengan cerita yang berkembang di masyarakat bahwa Sunan Bonang merupakan keturunan Cina. Rumah tersebut saat ini ditempati oleh keturunan beliau. Di selatan rumah tersebut terdapat masjid peninggalan Sunan Bonang. Disana terdapat mimbar tempat khutbah Sunan Bonang yang masih asli. Selain itu, yang cukup menarik adalah sumur masjid yang berbentuk kotak cukup besar, tidak seperti sumur yang umumnya kita temui.



Akhir Perjalanan

Tentu masih banyak lagi peninggalan budaya dan sejarah di kota lasem yang bisa menjadi lokasi tujuan wisata ziarah. Beberapa diantaranya adalah klenteng di daerah Dasun yang dulu dikenal sebagai tempat pembuat kapal yang sempat diaktifkan kembali di masa penjajahan Jepang. Kemudian makam Cina (bong) yang merupakan makam leluhur warga Cina Lasem. Beberapa diantaranya adalah pahlawan Lasem dalam melawan penjajah. Di daerah perbukitan yang terletak di sebelah timur Kota Lasem juga terdapat Vihara Ratanavana Arama. Dimana jalan menuju puncak kompleks Vihara tersebut di penuhi dengan kisah perjalanan Budha mulai dari kelahiran hingga kepergiannya.

Sayangnya beberapa lokasi tersebut kurang terawat dengan baik. Bahkan banyaknya peminta-minta di sekitar lokasi petilasan dan makam Sunan Bonang bisa mengurangi kekhusukan peziarah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sekitar daerah tersebut sangat lekat dengan kemiskinan. Penanganan yang serius dari pemerintah dan pihak-pihak lain diperlukan untuk menjaga agar berbagai peninggalan itu tetap lestari dan tidak punah. Bahkan sangat dimungkinkan jika berbagai situs tersebut dipelihara dan dikelola dengan baik akan mendatangkan kemakmuran bagi masyarakat sekitar, bukankah semua agama bertujuan untuk membawa kemakmuran pada umatnya?


"Pernah dimuat di Suara Merdeka, Oktober 2007"

Wednesday, September 12, 2007

Menengok Sistem Keuangan China

Tuntutlah Ilmu Hingga Ke Negeri China”

Hadits Nabi Muhammad S.A.W.


Hadits dalam kutipan diatas telah berusia ratusan tahun, namun masih relevan hingga sekarang. Bagaimana tidak, selama 25 tahun terakhir, tingkat pertumbuhan ekonomi China secara rata-rata lebih dari 9%. Jika angka tersebut tetap bertahan selama 20 tahun kedepan, dan negara lain di asumsikan tumbuh pada tingkat yang sama dengan kondisi saat ini, maka dibutuhkan 10 tahun untuk melampaui perekonomian Prancis, 14 tahun untuk melampaui Jerman, dan 21 tahun untuk melampaui Jepang. Bahkan jika diasumsikan tingkat pertumbuhan ekonomi AS sebesar 3,63% per tahun, maka hanya dibutuhkan 15 tahun untuk bisa melampaui perekonomian AS dan menjadi negara dengan perekonomian terbesar di dunia (F. Allen, J. Qian and M. Qian, 2002).

Kemajuan perekonomian China menjadi menarik karena menjadi contoh sukses campur tangan pemerintah dalam memajukan perekonomian. Hal ini bertolak belakang dengan India yang mengalami kemajuan ekonomi karena lebih didorong oleh keinginan masyarakatnya untuk lepas dari keterbelakangan dan kemiskinan. Telah banyak kajian mengenai keberhasilan pembangunan China dari sisi pertanian dan Industri, namun kajian sektor keuangan China masih jarang ditemukan di Indonesia. Tulisan ini akan berusaha untuk sedikit bercerita mengenai sektor keuangan China.



Dominansi Negara dalam Sektor Keuangan

Ciri utama dari sektor keuangan China adalah campur tangan negara yang cukup besar. Sektor perbankan domestik China, 60-70% dikuasai oleh empat State-own Banks (SOBs). Pada akhir tahun 2001, keempat bank tersebut menguasai 62% dari total tabungan dan kredit usaha, selain itu juga menguasai 80% dari total transaksi bisnis. Padahal kredit perbankan merupakan sumber pembiayaan utama bagi perusahaan-perusahaan China. Pada tahun 1998, kredit bank merepresentasikan 70% dari total pembiayaan. Lebih dari 80 bank komersial perkotaan hanya memiliki porsi 4% dari total bisnis perbankan dalam negeri. Koperasi Kredit Pedesaan yang berjumah 3,200 hanya menguasai 5% dari bisnis perbankan dalam negeri.

Empat bank tersebut adalah The Bank of China, yang bertanggung jawab terhadap aktivitas pertukaran mata uang asing dan pembiayaan ekspor-impor. The Industrial and Commercial Bank of China, yang berspesialisasi dalam pembiayaan bagi sektor industri. The China Construction Bank, secara tradisional fokus pada pembiayaan pembangunan infrastruktur. The Agricultural Bank of China, secara tradisional fokus pada kredit sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Keempat Bank tersebut memiliki misi pembangunannya masing-masing secara spesifik. Dibawah bimbingan negara, SOBs menyalurkan sebagian besar dananya kepada State Owned Enterprises (SOEs) melalui kebijakan kredit murah dengan tingkat bunga dibawah pasar.

Campur tangan pemerintah juga mencakup bagaimana mengurangi ketimpangan regional melalui sektor keuangan. Hal ini dilakukan dengan menarik pajak secara implisit bagi daerah kaya dan mensubsidi daerah yang miskin. Mekanismenya adalah dengan memberikan skema kredit khusus bagi daerah miskin.



Represi Finansial

Besarnya campur tangan pemerintah dalam perekonomian negara sedang berkembang oleh McKinnon disebut dengan istilah financial repression (represi finansial). represi finansial merupakan pembiasan dari tujuan penerapan kebijakan restriktif terhadap sektor keuangan. Instrumen yang digunakan untuk menerapkan kebijakan restriktif adalah dengan mengalokasikan kredit secara selektif dan sektoral. Kebijakan ini ditentang secara frontal oleh kaum liberalis, diantaranya adalah McKinnon dan Shaw.

Secara umum menurut McKinnon-Shaw, penetapan tingkat suku bunga akan mendistorsi pembangunan ekonomi melalui tiga cara. Pertama, tingkat suku bunga yang dipatok rendah akan mendorong konsumen memilih konsumsi sekarang daripada konsumsi akan datang. Sehingga tingkat tabungan menurun dibawah tingkat optimum. Kedua, pemilik modal lebih memilih menanamkan modalnya pada investasi langsung dengan return lebih tinggi daripada mendepositokannya di bank. Hal ini mengakibatkan lending capacity sektor perbankan menjadi rendah.

Ketiga, investor dapat memperoleh dana dengan tingkat suku bunga rendah melalui kredit perbankan. Akibatnya investor akan cenderung memilih proyek-proyek padat modal. Bagi negara berkembang, proyek-proyek padat modal merupakan pemborosan devisa karena tidak memperluas lapangan pekerjaan. Selain itu output yang dihasilkan tidak memiliki keunggulan komparatif, sehingga tidak kompetitif di pasar global.

Diktum McKinnon-Shaw itulah yang menjadi inspirasi bagi terjadinya liberalisasi finansial di beberapa negara sedang berkembang, termasuk Indonesia pada tahun 80-an. Secara umum liberalisasi tersebut terdiri atas, liberalisasi harga (khususnya suku bunga deposito), liberalisasi produk (ragam jasa yang ditawarkan) dan liberalisasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang)

Di beberapa negara, liberalisasi yang bertujuan meningkatkan efisiensi struktur industri perbankan tersebut justru memunculkan fenomena financial crash. Suatu kondisi dimana konglomerat yang menguasai bisnis perbankan memiliki hutang yang jauh lebih tinggi dibanding grup atau perusahaan yang tidak mempunyai bank sendiri. Hutang tersebut banyak diperoleh dari pasar uang internasional yang mengandung resiko tinggi. Sehingga ketika bisnis perbankan dilanda collapse, hutang menjadi tidak terbayarkan. Maka terjadilah financial crash dan penjadwalan hutang luar negeri.



Kasus China; Sebuah Pengecualian?

Apakah restriksi dalam sektor keuangan China mendistorsi pembangunan ekonomi China sebagaimana pernyataan kaum liberal? Data menunjukkan bahwa rasio M2 terhadap GDP (financial depth) China cukup tinggi. Pada tahun 1978 nilainya sebesar 24%, kemudian pada tahun 2004 menjadi sebesar 182%. Rasio tersebut meningkat 30% pada periode 1994-1999 dan 50% pada periode 1999-2004. Tingkat Trend rasio M2 yang tinggi sepanjang waktu menunjukkan bahwa pembangunan sektor keuangan China bisa dikatakan cukup sukses dan kuat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu tingginya tingkat monetisasi dan tingkat tabungan masyarakat. Tingkat tabungan masyarakat China bahkan melebihi Jepang, Korea Selatan dan India (F. Allen, J. Qian dan M. Qian, 2006).

Pinjaman bank-bank komersial terhadap perusahaan dan rumah tangga China sebagai persentase GDP mencapai angka 124%. Angka tersebut dua kali lebih besar dari AS (70%). Sehingga bisa disimpulkan sektor perbankan china telah beralih dari transaction-related operations (aktivitas jangka pendek) ke sistem transaksi jangka panjang. Selain itu ada kecenderungan pengalihan dari pembiayaan pemerintah (dalam hal pembiayaan investasi) kepada pinjaman domestik. Pada tahun 1981, anggaran pemerintah membiayai 28.1% dari total fixed asset investment, sedangkan share dari pinjaman domestik hanya 12.7%. pada tahun 2001, anggaran pemerintah sudah tidak begitu signifikan, sedangkan pinjaman menjadi sumber pembiayaan utama.

Output industri China bisa dikatakan sangat kompetitif di tingkat global. Hal ini terlihat dari membanjirnya produk China ke seluruh dunia dengan harga murah dan kualitas cukup baik. Produk tersebut pada umumnya merupakan produk padat karya. Bukan hanya itu saja, banyak perusahaan China yang telah mengglobal, salah satunya adalah Lenovo yang sukses mengakuisisi IBM-PC, ikon komputer Amerika (Gatra, 2006). Berbagai kondisi diatas menunjukkan bahwa sektor keuangan China yang cenderung restriktif ternyata tidak mendistorsi pembangunan ekonomi China.



Kesimpulan

Meskipun campur tangan negara dalam perekonomian cukup besar, namun Financial depth di China telah mencapai level yang cukup tinggi bahkan melampaui negara maju. Selain itu intermediasi perbankan juga menunjukkan performa cukup baik. Kondisi tersebut menjukkan bahwa China terhindar dari efek negatif represi finansial, bahkan kebijaksanaan represi keuangan China bisa dikatakan berhasil dengan baik. Lebih jauh lagi Maswana (2005) menyatakan bahwa sistem keuangan China tidak bisa dianalisis dengan menggunakan market-based standards, hal ini dikarenakan pembangunan sistem keuangan China tidak mengacu pada standar negara industri maju.

Salah satu kunci sukses sektor keuangan china dalam mendukung pembangunan ekonomi adalah alokasi kredit secara sektoral (He, 2006). Kunci sukses lainnya adalah dengan melaksanakan liberalisasi keuangan di daerah kaya dan memberikan insentif kredit (represi finansial) di daerah yang miskin. Penerapan mekanisme partial convertibility mata uang renmimbi juga merupakan salah satu kunci sukses China. Sistem tersebut terbukti tahan terhadap krisis keuangan yang melanda Asia beberapa tahun silam.


Referensi:

Allen, Franklin, Jun Qian and Meijun Qian, Comparing China’s Financial System, September 2002.

_____, China’s Financial System: Past, Present, and Future, April 2006.

He, Qichun., Gradual Financial Reform, Sectoral Allocation of Credit, and Economic Growth: Evidence from China, Job Market Paper, October 2006

Maswana, Jean-Claude, Reconciling the Chinese Financial Development with its Economic Growth: A Discursive Essay, Working Paper N0. 78, Graduate School of Economics, Kyoto University, Japan March 2005

Permono, Iswardono S., dan Mudrajad Kuncoro, Kebijaksanaan Moneter: Dari “Financial Crash” hingga Bahaya “Financial Repression”, JEBI.

Sang Naga Sang Adikuasa, Laporan Utama Gatra, Majalah Gatra No.51, Thn XII, 8 Nopember 2006.

Sutikno, Pengaruh Kebijakan Liberalisasi Sektor Keuangan Dan Pembangunan Sektor Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia (Periode 1970:1-1997:4), Skripsi Sarjana, FE-UGM, Tidak dipublikasikan, 2002



Artikel yang sama dengan Judul sedikit berbeda bisa dibaca dalam Majalah Equilibrium, Nomor 8/TH XXXIX/2007.

.

Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi, FE-UGM. Email : antasariputra@gmail.com

Monday, August 13, 2007

Lasem yang Selalu Melawan



”Menulis buat saya adalah perlawanan...”

Pramoedya A.T.

Setiap individu, masyarakat maupun negara memiliki bentuk dan sejarah perlawanannya sendiri. Begitu juga dengan Lasem, sebuah Kota Kecamatan di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Pada masa perang cina (1740), Lasem dikenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kompeni. Perlawanan dipimpin oleh Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono dan Tan Kee Wie. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh Kompeni dengan bantuan pasukan dari Madura. Untuk menghormati mereka, masyarakat Lasem mendirikan Kelenteng Bie Yong Gio pada tahun 1780.

Pada masa Perang Jawa Pertama atau perang Diponegoro (1825-1830), beberapa orang Cina Lasem berperan sebagai pengimpor senjata api gelap dari Singapura. Mereka kemudian menyalurkan kepada seorang wanita bangsawan pelarian kraton di Rembang dan selanjutnya diserahkan kepada pasukan Diponegoro. Para penyelundup berhasil ditangkap dan kemudian digantung di depan umum oleh kompeni.

Di masa penjajahan Jepang, Lasem menjadi basis gerakan bawah tanah anti-fasis Jepang. Mereka menyusun kekuatan setelah terdesak dari Surabaya dan Kediri. Gerakan itu berhasil meledakkan tangki-tangki minyak di Cepu, meskipun kemudian terhalau kembali. Selain itu, mereka berhasil menenggelamkan 3 kapal kayu Jepang yang diproduksi di Dasun (Toer, 2005).

Batik Tulis

Berbagai kisah sejarah di atas hampir tidak ditemukan dalam buku sejarah nasional, sehingga tidak banyak yang tahu peran Lasem dalam membentuk sebuah nasion bernama Indonesia. Jika tidak dimunculkan, bukan tidak mungkin nama Lasem akan benar-benar dilupakan. Untunglah Lasem masih memiliki produksi batik tulis pesisiran yang membuat nama kota kecil itu masih dikenal hingga sekarang.

Batik Lasem dikenal luas sejak Abad ke-19, wilayah pemasarannya merambah hingga ke semenanjung Malaka, Asia Timur, Suriname dan Benua Eropa (Khususnya Belanda dan Inggris). Batik Lasem terkenal karena keunikannya sebagai produk persilangan budaya, terutama Jawa dan Cina. Motif Cina bisa dilihat dari motif burung hong, bunga seruni, banji, mata uang, dan lain sebagainya. Adapun motif Jawa bisa dilihat dari motif geometris khas batik vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) seperti parang, kawung, dan udan liris.

Kemunduran

Industri batik Lasem saat ini bisa dikatakan berada di titik nadir. Pengusaha batik Lasem saat ini tinggal 20-an orang, cukup kecil dibanding jumlah pengusaha sebelum krisis yang lebih dari 100 orang. Penyebab kemunduran industri batik Lasem diantaranya adalah krisis ekonomi 1998 yang membuat harga bahan baku (kain dan pewarna) melambung. Kemudian persaingan dengan batik printing dari wilayah lain yang mampu memproduksi batik murah secara masal. Yang terakhir adalah rendahnya minat kalangan muda Lasem terhadap batik, sehingga tidak ada regenerasi pelaku usaha batik, baik pengrajin ataupun pengusahanya.

Yang paling dikhawatirkan dari kemunduran industri batik Lasem adalah nasib masyarakat Lasem yang menggantungkan hidup dari batik. Masyarakat di pusat kota Lasem, adalah pengusaha batik, pedagang batik di pasar Lasem dan penjual jajanan untuk buruh batik di sekitar bengkel batik. Bagi masyarakat pedesaan sekitar kota Lasem, mereka adalah para perempuan pembatik yang berasal dari keluarga petani di sekitar Lasem. Mereka menjadi pengrajin batik untuk menambah penghasilan keluarga.

Dampak kemunduran industri batik bisa terlihat secara langsung dari kurang terawatnya bangunan cina di kota Lasem yang beberapa diantaranya pernah menjadi bengkel produksi batik. Di pedesaan, dampak kemunduran terlihat dari banyaknya perempuan pembatik yang menganggur atau beralih profesi. Dahulu diperkirakan 90% perempuan dewasa di Lasem berprofesi sebagai pembatik. Sekarang diperkirakan kurang dari 20% perempuan yang masih berprofesi sebagai pembatik.

Survei Institut Pluralisme Indonesia (IPI) yang dilakukan pada bulan Oktober 2006-Januari 2007, menunjukkan hanya 33 orang (19%) dari 177 orang pembatik di desa Jeruk, kecamatan Pancur, kabupaten Rembang, yang masih aktif sebagai pembatik. Sedangkan 70 orang (41%) pembatik beralih pekerjaan ke usaha non batik, dan 69 orang (40%) pembatik menganggur (Kwan, 2007). Kondisi ini tentu saja cukup mengkhawatirkan.

Sebuah Perlawanan

Untuk mengambalikan kejayaan batik Lasem dan mencapai kemakmuran Lasem, masyarakat Lasem harus kembali melakukan perlawanan. Tentu saja bukan perlawanan kontak fisik sebagaimana era kolonial, namun sebuah perlawanan terhadap kemunduran Indutri Batik Lasem. Masyarakat Lasem harus melawan serbuan batik dari daerah lain, terutama Pekalongan. Mereka juga harus melawan gempuran tekstil dan produk tekstil dari Cina yang sangat murah. Selain itu, mereka harus bersiap-siap melawan Malaysia yang sudah melakukan persiapan untuk memproduksi batik sendiri dengan mendatangkan beberapa pembatik dari Indonesia untuk memberikan pelatihan disana.

Perlawanan bisa dilakukan dengan melakukan inovasi cara berproduksi, desain, produk turunan, maupun pasar bagi batik. Hal ini sesuai dengan teori Schumpeter, seorang ekonom Austria yang menyatakan bahwa kunci dari kemajuan perekonomian adalah pengusaha yang inovatif, berani mengambil risiko dan memperkenalkan teknologi baru untuk mendorong proses produksi (Pass, 1994).

Saat ini, pengusaha inovatif seperti yang dilukiskan oleh Scumpeter tersebut bisa ditemui di Lasem, namun jumlahnya sangat kecil. Selain itu, usia mereka yang sudah lanjut menimbulkan kekhawatiran tersendiri, terutama terkait dengan masalah regenerasi. Belum lagi jika kita melihat anak muda Lasem yang kurang berminat terhadap batik. Padahal anak muda adalah kunci perubahan dan perlawanan terhadap kemunduran. Sesuai dengan karakteristik anak muda yang cenderung berpikiran progressif, inovatif dan nekat. Pertanyaannya kemudian adalah, sanggupkah generasi muda Lasem menjawab tantangan ini dan kembali membuat sejarah perlawanannya sendiri ? Semoga !

Suara Merdeka, 8 Agustus 2007



Wednesday, June 06, 2007

Krisis ?

Tim Indonesia Bangkit menyatakan adanya ancaman terulangnya krisis 97/98. Salah satu pemicu adalah derasnya arus modal asing dalam bentuk hot money ke Indonesia dan sewaktu-waktu bisa berbalik arah. Selain itu, fenomena terputusnya kaitan antara sektor riil dan finansial juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Sektor finansial saat ini cukup menjanjikan, bisa dilihat dari kinerja pasar modal dan pasar keuangan yang cukup mengesankan. Namun, sektor riil masih terseok-seok berusaha untuk bangkit.
Beberapa kalangan menyatakan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan kondisi 10 tahun yang lalu. Beberapa alasannya adalah, nilai mata uang rupiah tidak lagi dipatok terhadap dolar, keadaan perbankan nasional jauh lebih sehat dan baik, jumlah cadangan devisa melebihi arus hot money yang masuk, terakhir BI sudah memiliki instrumen untuk memonitoring arus modal masuk (Hasan, Sindo, 14/05/07). Meskipun beberapa indikator diatas bisa menjadi alasan tidak terulangnya krisis, namun bukan jaminan bahwa krisis tidak terulang.
Kita harus ingat dengan fenomena krisis yang ditandai dengan inflasi yang melonjak tinggi (galloping). Dalam teori ekonomi dikenal istilah lenins diktum yang menyatakan bahwa “untuk menghancurkan suatu masyarakat bisa dilakukan melalui penghancuran mata uang”. Krisis 1997, bahkan 1965 bisa dijelaskan dengan fenomena ini. Pada tahun 1965 krisis diawali dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi (hyperinflasi). Pada saat itu, bukan hanya harga kebutuhan pokok yang mahal, namun hilang dari pasar. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 1997.
Padahal untuk kasus Indonesia tingkat inflasi sangat tergantung dari kemampuan pemerintah dalam mengendalikan harga, terutama harga bahan pokok (administered price). Kenaikan harga BBM pada tahun 2005 misalnya, secara langsung melambungkan tingkat inflasi bulan November mencapai 8%, sehingga inflasi tahunan menembus angka 2 digit. Kenaikan tersebut tentu saja langung menurunkan daya beli masyarakat dan tentu saja tingkat kesejahteraannya juga anjlok. Begitu juga dengan sektor riil, mereka sangat terpukul dengan kenaikan tersebut, beberapa usaha bahkan tutup dan terpaksa merumahkan karyawan mereka.
Kenaikan harga beras beberapa saat lalu juga menjadi salah satu kehawatiran tersendiri. Selain itu, lambannya pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan beras tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kurang memiliki kemampuan dalam pengendalian harga. Fenomena tersebut kemudian disusul dengan kenaikan harga minyak goreng akhir-akhir ini yang juga cukup membuat masyarakat resah. Kedua kondisi yang cukup bisa melukiskan lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengontrol harga.
Krisis memang bisa muncul dari fenomena makro seperti kurs atau indikator lainnya, namun krisis sangat mungkin muncul dari perut. Atau dari ketidak mampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya akibat harga yang melambung tinggi dan tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai. Ketidak mampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya membuat mereka rela melakukan apa saja asal perut mereka terisi. Sehingga yang terjadi adalah krisis yang dipicu oleh kerusuhan sosial.
Jogja, 15 Mei 2007

Monday, March 26, 2007

Beras dan Lingkaran Kemiskinan

Saat ini masyarakat sedang dipusingkan dengan kenaikan harga beras. Yang paling terpukul dengan kenaikan harga beras ini tentu saja masyarakat miskin yang saat ini berjumlah 39,1 juta orang. Dengan adanya kenaikan harga beras ini mereka dihadapkan pada beberapa pilihan. Pertama mengurangi konsumsi beras yang juga berarti mengurangi porsi makan, yang tadinya 3 kali sehari menjadi dua kali sehari dengan kualitas lauk yang juga berkurang. Kedua, mempertahankan jumlah konsumsi beras dengan konsekuensi mengurangi pos pengeluaran lainnya, misalnya untuk pendidikan maupun kesehatan. Ketiga, beralih ke komoditas lain, seperti nasi aking maupun ketela.


Ketiga hal diatas jelas bukan merupakan pilihan yang tidak menyenangkan, karena ketiganya memiliki konsekuensi lanjutan yang cukup mengkhawatirkan. konsekuensi dari pilihan pertama adalah mereka akan mengalami kekurangan pasokan energi dan sangat mungkin mengalami kekurangan gizi. Sehingga produktivitas mereka akan berkurang. Dan bisa jadi akan mengurangi pendapatan mereka, karena mayoritas masyarakat miskin mengandalkan tenaga dalam pekerjaan mereka.


Pilihan kedua adalah dengan mengurangi pos pengeluaran lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Kalau ini yang terjadi, maka yang menjadi korban adalah anak-anak. Dengan minimnya anggaran pendidikan dan kesehatan dalam keluarga sangat mungkin nasib mereka di masa depan tidak akan jauh berbeda dengan nasib kedua orang tua mereka saat ini. Untuk pilihan ketiga, dengan beralih ke nasi aking maupun ketela, maka bisa jadi asupan kebutuhan kalori dibawah kebutuhan yang semestinya. Konsekuensinya mirip dengan pilihan pertama.


Dengan gambaran diatas maka akan sangat sulit bagi masyarakat miskin untuk bisa keluar dari jurang kemiskinan. Karena mereka masih disibukkan dengan pertanyaan, bagaimana untuk bisa hidup pada hari ini. Sehingga tidak pernah terpikirkan di benak mereka, bagaimana agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik di masa depan.


Maka tidaklah mengherankan jika pemerintah kemudian melakukan impor beras sebesar 500.000 ton untuk menekan harga beras. Pertanyaannya kemudian adalah apakah menurunkan harga beras adalah keputusan yang tepat? Karena sebagian besar masyarakat miskin Indonesia berprofesi sebagai petani. Sehingga dengan menurunkan harga beras berarti juga akan menurunkan harga jual produk mereka, meskipun mereka seringkali tidak menikmati berkah dari kenaikan harga tersebut.


Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah, pertama adalah mengatasi ulah para tengkulak atau pedagang yang seringkali keterlaluan. Karena membuat petani tidak memiliki daya tawar terhadap produk mereka. Selain itu para tengkulak dan pedaganglah yang paling diuntungkan dari naiknya harga beras. Kedua, pemerintah bisa mengembalikan fungsi bulog seperti dulu. Sehingga bisa membeli beras secara langsung dari petani dengan harga yang menguntungkan petani, meskipun disisi lain tetap menjaga harga beras murah. Artinya subsidi diberikan secara langsung kepada petani dengan membeli gabah mereka pada kisaran harga yang cukup tinggi.

Thursday, March 15, 2007

Demokrasi Vs Pertumbuhan Ekonomi

Tanggal 24 Februari 2007 silam, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Boediono dikukuhkan sebagai guru besar UGM. Salah satu poin dalam pidato tersebut adalah kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan demokrasi. Menurut beliau pertumbuhan ekonomi harus diutamakan terlebih dahulu karena akan mengurangi risiko kegagalan demokrasi, selain itu juga untuk menciptakan kelompok pembaharu yang nantinya akan memperkuat proses modernisasi dan demokrasi. Hal ini dikarenakan pada tingkat penghasilan rendah, masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari. Kebutuhan demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu keberlanjutan demokrasi. Berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500 (Zakaria, 2003).

Bagaimana dengan Indonesia? Jika dihitung berdasarkan PPP-dolar 2006, penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar, masih agak jauh dari batas aman demokrasi (6000 dolar). Sehingga salah satu prioritas utama bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia adalah memacu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based). Selain itu, pertumbuhan ekonomi tersebut harus memenuhi satu syarat lain, yaitu berasal dari kegiatan-kegiatan enterpreneunerial dalam iklim kompetisi yang sehat (Boediono, 2007). Dari beberapa hal diatas, poin terpenting adalah pertumbuhan ekonomi. Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan ekonomi pemerintah saat ini adalah memacu pertumbuhan ekonomi.

Paradigma mengutamakan pembangunan ekonomi dibanding demokrasi merupakan fenomena umum di negara sedang berkembang, terutama Asia. Hal ini didasarkan pada tiga hal, pertama, anggapan bahwa demokrasi, kebebasan sipil dan kebebasan politik akan menghambat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pendapat ini dikenal dengan nama Lee thesis. Kedua, jika masyarakat miskin diberi pilihan antara memiliki kebebasan berpolitik dan memenuhi kebutuhan ekonominya, mereka akan memilih yang terakhir. Ketiga, kemerdekaan politik, kebebasan dan demokrasi adalah nilai-nilai barat dan kurang cocok dengan budaya Asia (Sen, 1999).

Padahal disisi lain, demokrasi diperlukan juga dalam penentuan arah kebijakan ekonomi negara. Artinya masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan kebijakan ekonominya. Dengan mengutamakan pembangunan ekonomi tanpa dibarengi atau didahului dengan kebebasan berekspresi, maka pemerintah akan memonopoli arah kebijakan bangsa. Dan ini bisa juga memunculkan friksi-friksi yang akan membahayakan arah pembangunan ekonomi itu sendiri, bahkan bisa mengakibatkan stagnasi, kemunduran dan krisis ekonomi.

Tuesday, February 27, 2007

Lomba UKS

Dulu ketika masih sekolah, entah itu SD, SMP maupun SMU kita sering mendengar kata-kata LOMba UKS (klo gak salah UKS = Usaha Kesehatan Sekolah). Sekolah kemudian bersolek dengan sedemikian rupa, tembok yang tadinya sudah agak muram dicat, taman sekolah mulai dihijaukan kembali, tanaman-tanaman yang sudah mati diganti. Bahkan yang lebih hebat lagi adalah, lahan kosong di pojok sekolah disulap menjadi apotik hidup. Apotiknya memang hidup, tapi mungkin hanya satu bulan, setelah itu gak ada yang hidup.

Kejadian itu terjadi secara rutin, entah satu tahun sekali atau 2 tahun sekali, tapi setiap menginjak pada satu tingkatan tertentu (SD,SMP,SMU) kita pasti akan mengalami yang namanya lomba UKS. Kalau dipikir-pikir sebenarnya lucu juga, karena kemudian Sekolah berusaha untuk memperbaiki diri agar pada saat hari penilaian UKS terlihat baik, semarak (emang Mall!), dengan fasilitas yang komplit dan memadai. Tapi beberapa hari kemudian segalanya kembali seperti semula, ruang UKS yang apek, sumpek dan isinya anak-anak yang melarikan diri dari pelajaran (yang tentu saja membosankan) atau dari acara upacara yang menyebalkan, membosankan. Entah yang lucu itu sekolahnya atau yang mengadakan lomba, seoalnya kalau mau serius mengadakan lomba seharusnya kabar peninjauan sekolah jangan sampai bocor, karena akan menghasilkan bias dalam penilaian.

Kejadian yang sama, kali ini juga terjadi pada adik saya yang masih SD. Pada hari ini Sekolahnya akan kedatangan tim penilai lomba UKS. Berbagai persiapan dadakan juga dilakukan (lucu juga, dari dulu sampai sekarang gak berubah, pokoke ndadak), mulai dari disuruh ngumpulin tanaman dalam pot, memotong kuku dan sikat gigi sebelum berangkat ke sekolah (emang kalau gak ada lomba, tidak sikat gigi ?), hingga membawa bekal makanan dari rumah. Dari semua itu kemudian muncul berbagai macam kejadian unik, konyol dan bahkan ada yang membuat iba.

Ada salah satu temen adikku yang gara-gara tidak memperoleh tanaman terong untuk dikumpulkan tidak mau masuk sekolah. Bahkan lebih parah lagi gara-gara itu dia sakit panas, maklum anak kecil. Tapi itu kan sudah bisa dikategorikan sebagai teror. Soalnya si anak kemudian mengalami ketakutan bahkan hingga sakit. Karena untuk memperoleh tanaman terong juga bukan hal yang mudah, mengingat di pasar, tanaman itu dijual setiap satu pasar sekali, tiap LEgi (hari pasaran penanggalan Jawa, terdiri atas Pon, Paing, Wage, Kliwon, Legi), jadi kalau mau beli tanaman itu di pasar ya harus nunggu lima hari sekali.

Cilakanya, perintah untuk mengumpulkan tanaman itu pas di hari pasaran (legi). Dan tanaman itu harus dikumpulkan tiga hari kemudian. Padahal anak-anak baru pulang sekolah sekitar jam 12, otomatis harus langsung menuju pasar. Untung saja adikku ketika itu langsung ke pasar dan dapat tanaman itu, kalau gak ya bisa jadi gak mau berangkat sekolah. Yang lebih mengagetkan lagi adalah, ternyata acara lombanya diundur, nah lho, piye kui. Udah susah-susah nyari tanaman bahkan hingga sakit, ternyata diundur.

Kondisi seperti diatas bukan hanya terjadi di sekolah, bahkan dikantor pemerintah-pun juga demikian. Ketika ada kunjungan dari pejabat yang lebih tinggi, maka semua pegawai akan berusaha untuk tampil sebaik mungkin. Ada yang kemudian sok kerja, ngetik, padahal biasanya main soliter atau zuma. Ada juga yang kemudian sibuk membalik-balik kertas, dengan memasang tampang serius seolah-oleh sedang mencari file yang penting, padahal biasanya hanya ngisi TTS. Dan lebih banyak lagi kejadian yang sebenarnya konyol tapi ironis.

Tapi lebih jauh lagi, ternyata pada level negara-pun hal itu juga terjadi. Seperti ketika diadakan acara peringatan 50 tahun KAA dibandung beberapa tahun lalu. Bandung kemudian bersolek, melakukan pengecatan di kanan kiri jalan, dan yang paling utama adalah menutup samapah. Karena pada saat itu Bandung mengalami permasalahan dengan sampah yang menumpuk di hampir setiap sudut kota. Jadi ada pernyataan yang menyatakan bahwa Bandung bukan lagi lautan api, tapi lautan sampah! Selain itu jalan tol JakartaBandung juga dibangun untuk menghindari kemacetan.

Berbagai gambaran diatas tentu saja memprihatinkan dan memunculkan berbagai pertanyaan. Apakah itu bisa dibenarkan ? Apakah kita sudah terlalu munafik, sehingga selalu berusaha tampil baik (mungkin dengan berbohong) di depan orang yang pangkatnya lebih tinggi dari kita ? Apakah ini sekedar merupakan bagian dari budaya Jawa yang selalu berusaha tampil baik di depan, tapi penuh maksud tersembunyi dibelakangnya.

Yang jelas, menurutku ada yang salah dan harus dirubah !

Wallahu ‘alam…