1. Akhirnya aku sampai pada sebuah jalan, yang aku yakini,
Sebuah Jalan yang seringkali terlalu berisik, terlalu banyak suara, terlalu banyak kata, sampai kita tak menyapa
Namun terKadang jalan ini begitu sunyi, tak bersuara, hanya diam, menyimpan Tanya,
2. Jalan ini sungguh berliku, Kadang naik begitu tinggi, dan yang paling kutakutkan, ketika jalan ini turun begitu tajam, curam, menyakitkan
Kadang jalan ini menikung tajam, belok ke kanan dengan tiba-tiba, membuat terhenyak, kaget tak terkira
Sesekali menikung ke kiri, tanpa ada tanda, hanya kelokan tajam yang harus dilalui, tanpa tahu mengapa
3. Jalan ini belum bebas hambatan, bukan melulu jalan tol, namun bukan pula jalan kampung
Jalan ini kadang macet, Berhenti di suatu titik dan tak beranjak, Hanya diam tak bersuara
Namun terkadang, jalan ini berjalan terlalu cepat, sampai aku lepas kendali
4. Pada suatu kali, jalan ini hilang, Entah kemana, aku tak tahu, terus mencari,
Aku pun berteriak, untuk memanggilmu, agar kau tahu bahwa aku terus mencari,
Kadang aku bernyanyi untuk membuatmu kembali, hingga suara tak ada lagi
5. Kadang jalan basah, air mata turun tak terkira, tak tertahankan
Hingga memunculkan sebuah genangan, pada lubang-lubang jalanan, yang belum juga hilang
Air mata itu kadang sangat menyejukkan, membuat teduh jalanan, tenang, membuai-kan
6. Dikanan kiri jalan ini, dipenuhi berbagai warna cerah menyenangkan,
Seringkali aku dibikin takjub, oleh jalan ini, membuatku mengucap syukur tanpa henti
Tidak ada jalan yang lebih indah kataku, tidak ada jalan yang begitu memikat selain jalan ini
7. Dan Pada sebuah jalan ini, pada akhirnya kutambatkan semua mimpiku, untuk bisa bersamamu
Pada sebuah jalan yang penuh harapan, karena hanya pada jalan ini aku bisa menemukan sebuah cinta yang penuh
Pada sebuah jalan, hadir sebuah cerita, pencarian makna, upaya penyempurnaan hidup dan kehidupan,
untuk menjadi manusia yang benar-benar utuh, untuk akhirnya purna, dengan sempurna
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (Pramoedya Ananta Toer)
Monday, December 27, 2010
Monday, May 10, 2010
Kita Perlu Solusi bukan Polusi..
Mengeluh bukanlah jalan keluar, apapun itu, sebagaimana ketika kita hanya geram dengan cuaca Jakarta akhir-akhir ini yang semakin tak menentu. Ketika siang suasana sangat panas dan mendadak mendung menggantung dan akhirnya hujan disertai angin, bahkan di beberapa daerah terjadi hujan es. Bagaimanapun juga ini merupakan fenomena alam yang tak biasa, semakin hari bukannya semakin menentu, tapi menunjukkan kecenderungan terjadinya random walk dan jauh dari kondisi stasioner kalau pakai istilah statistik.
Polusi sudah sedemikian parahnya, efek rumah kaca sudah menunjukkan pertanda yang semakin nyata. Alih-alih mencari solusi jangka panjang, kita malah sibuk mencari penyelesaian sesaat dengan memasang kipas angin dan menyalakan AC sampai batas maksimal. Sedangkan diluar sana beberapa penyebab efek rumah kaca masih dengan nyaman berkeliaran dan memperoleh berbagai fasilitas. Jalan diperlebar, kredit motor/mobil dipermudah, upaya untuk memberlakukan jalur 3 in 1 menunjukkan kegagalannya karena terang-terangan para joki mencari pelanggan di samping aparat penegak hukum. Kendaraan umum yang diharapkan bisa menjadi solusi pengurangan penggunaan pribadi justru menjadi penyebab kemacetan dan polusi yang akut, ditandai dengan keluarnya asap hitam dari beberapa angkot.
Jakarta sepertinya sudah tidak mampu lagi menampung ini semua, hampir setiap hari terjadi kemacetan, lorong perumahan semakin sempit. Bukan hanya karena banyak pedagang yang mangkal, tapi juga halaman rumah yang semakin menjorok ke jalanan dan mengharuskan kendaraan parkir di bahu jalan. Satu jengkal tanah begitu berharganya, sehingga tanaman pun tidak punya ruang untuk tumbuh, tanah tidak bisa lagi menyerap air untuk menahan laju peresapan air laut. Padahal disisi lain, tanaman sangat diperlukan untuk mengurangi panas dan tentu saja efek rumah kaca.
Jakarta memerluka solusi yang komprehensif, perlu kerjasama dari berbagai pihak, terutama kesadaran masyarakat Jakarta sendiri untuk mencari solusi atas permasalahan kotanya. Bahkan Jakarta sudah dinobatkan sebagai kota dengan polusi udara terburuk ketiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand. Konon penyumbang polusi terbesar adalah sektor transportasi yang mencapai 70 persen. Berbagai upaya telah dilakukan dan diklaim telah membuahkan hasil yang signifikan. Salah satunya adalah program Car Free Day yang telah dijalankan di Jakarta selama ini. Rencananya Car Free Day akan terus digalakkan di seluruh wilayah Jakarta selain itu juga dilaksanakan pula Jakarta Great Clean dengan cara melakukan penutupan jalan-jalan atau kawasan-kawasan tertentu di Jakarta selama 6 jam, antara lain Sudirman-Thamrin, kawasan kota tua, Rasuna Said, Boulevard Artha Gading, dan Jalan Letjen Suprapto. Hasilnya, kadar debu di Jakarta berkurang sampai 40 persen, Karbon (CO) berkurang sampai 63 persen, dan N0 berkurang sampai 71 persen. Terlepas dari apakah hasil tersebut valid atau tidak, namun bagaimanapun juga pengurangan penggunaan kendaraan bermotor adalah solusinya.
Beberapa organisasi masyarakat mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan angkutan massal ramah lingkungan dan segera memenuhi aturan minimal ruang terbuka hijau (RTH) 13,94 persen dari luas Jakarta yang saat ini baru mencapai sekitar 9 persen RTH, padahal idealnya 30 persen. Salah satu yang dilakukan adalah dengan membangun jalur bussway yang menurut saya bisa dikatakan banci karena terlalu ragu. Idealnya jalur bussway benar-benar bersih dari kendaraan lain, sehingga bisa melaju dengan cepat dan nyaman sebagai salah satu daya tarik peralihan dari kendaraan pribadi. Ternyata bukan hanya jalurnya yang sering dinistai oleh kendaraan lain sehingga menghambat laju, volume bussway juga bisa dikatakan kurang mencukupi sehingga memunculkan antrian panjang di berbagai halte utama dan ini sangat tidak nyaman. Kondisi ini malah diperparah dengan dugaan miring terhadap operator bussway terutama terkait dengan jumlah subsidi, yang tentu saja memunculkan sinisme berbagai pihak yang mungkin akan mengancam proyek bussway dan proyek-proyek transportasi masal lainnya.
Pertanyaannya adalah, apakah kita hanya akan menunggu dan menyerahkan semuanya kepada pemerintah atas nama negara untuk menyelesaikan masalah yang kita sendiri sebenarnya ikut berkontribusi menambah polusi terutama dengan kendaraan bermotor yang kita gunakan? Ataukan kita akan mencari solusi meskipun kita mungkin hanya akan berkontribusi sangat kecil terhadap pengurangan polusi. Sebagaimana pernyataan Pramoedya, “Kita harus jujur sejak dalam Pikiran”, kita harus jujur apakah kita akan menjadi seorang apatis ataukah problem solver?
Menanam satu orang satu pohon bisa menjadi solusi, berjalan kaki dan mengerem untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ketika bepergian jarak dekat adalah solusi lain, menggunakan sepeda ‘onthel’ untuk jarak menengah adalah solusi yang tak kalah elegan, mendorong pemerintah untuk segera menyempurnakan public transport adalah solusi yang cukup wah, mencari tempat tinggal di dekat lokasi kerja atau menerapkan system clustering antara tempat tinggal dan lokasi tujuan (tempat kerja/sekolah/kampus) merupakan hal lain yang bisa menjadi solusi karena paling tidak akan mengurangi jarak penggunaan kendaraan bermotor. Memindahkan ibukota adalah solusi besar lainnya yang patut diwacanakan untuk masa yang akan datang. Masih banyak hal lain yang bisa menjadi solusi, meskipun merupakan hal yang menurut kita kecil, namun apabila dilakukan dan ditularkan kepada orang lain sekitar kita bukan tidak mungkin akan menjadi solusi besar untuk ibukota kita tercinta. Apapun bisa dilakukan di Jakarta, Enjoy Jakarta.
Polusi sudah sedemikian parahnya, efek rumah kaca sudah menunjukkan pertanda yang semakin nyata. Alih-alih mencari solusi jangka panjang, kita malah sibuk mencari penyelesaian sesaat dengan memasang kipas angin dan menyalakan AC sampai batas maksimal. Sedangkan diluar sana beberapa penyebab efek rumah kaca masih dengan nyaman berkeliaran dan memperoleh berbagai fasilitas. Jalan diperlebar, kredit motor/mobil dipermudah, upaya untuk memberlakukan jalur 3 in 1 menunjukkan kegagalannya karena terang-terangan para joki mencari pelanggan di samping aparat penegak hukum. Kendaraan umum yang diharapkan bisa menjadi solusi pengurangan penggunaan pribadi justru menjadi penyebab kemacetan dan polusi yang akut, ditandai dengan keluarnya asap hitam dari beberapa angkot.
Jakarta sepertinya sudah tidak mampu lagi menampung ini semua, hampir setiap hari terjadi kemacetan, lorong perumahan semakin sempit. Bukan hanya karena banyak pedagang yang mangkal, tapi juga halaman rumah yang semakin menjorok ke jalanan dan mengharuskan kendaraan parkir di bahu jalan. Satu jengkal tanah begitu berharganya, sehingga tanaman pun tidak punya ruang untuk tumbuh, tanah tidak bisa lagi menyerap air untuk menahan laju peresapan air laut. Padahal disisi lain, tanaman sangat diperlukan untuk mengurangi panas dan tentu saja efek rumah kaca.
Jakarta memerluka solusi yang komprehensif, perlu kerjasama dari berbagai pihak, terutama kesadaran masyarakat Jakarta sendiri untuk mencari solusi atas permasalahan kotanya. Bahkan Jakarta sudah dinobatkan sebagai kota dengan polusi udara terburuk ketiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand. Konon penyumbang polusi terbesar adalah sektor transportasi yang mencapai 70 persen. Berbagai upaya telah dilakukan dan diklaim telah membuahkan hasil yang signifikan. Salah satunya adalah program Car Free Day yang telah dijalankan di Jakarta selama ini. Rencananya Car Free Day akan terus digalakkan di seluruh wilayah Jakarta selain itu juga dilaksanakan pula Jakarta Great Clean dengan cara melakukan penutupan jalan-jalan atau kawasan-kawasan tertentu di Jakarta selama 6 jam, antara lain Sudirman-Thamrin, kawasan kota tua, Rasuna Said, Boulevard Artha Gading, dan Jalan Letjen Suprapto. Hasilnya, kadar debu di Jakarta berkurang sampai 40 persen, Karbon (CO) berkurang sampai 63 persen, dan N0 berkurang sampai 71 persen. Terlepas dari apakah hasil tersebut valid atau tidak, namun bagaimanapun juga pengurangan penggunaan kendaraan bermotor adalah solusinya.
Beberapa organisasi masyarakat mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan angkutan massal ramah lingkungan dan segera memenuhi aturan minimal ruang terbuka hijau (RTH) 13,94 persen dari luas Jakarta yang saat ini baru mencapai sekitar 9 persen RTH, padahal idealnya 30 persen. Salah satu yang dilakukan adalah dengan membangun jalur bussway yang menurut saya bisa dikatakan banci karena terlalu ragu. Idealnya jalur bussway benar-benar bersih dari kendaraan lain, sehingga bisa melaju dengan cepat dan nyaman sebagai salah satu daya tarik peralihan dari kendaraan pribadi. Ternyata bukan hanya jalurnya yang sering dinistai oleh kendaraan lain sehingga menghambat laju, volume bussway juga bisa dikatakan kurang mencukupi sehingga memunculkan antrian panjang di berbagai halte utama dan ini sangat tidak nyaman. Kondisi ini malah diperparah dengan dugaan miring terhadap operator bussway terutama terkait dengan jumlah subsidi, yang tentu saja memunculkan sinisme berbagai pihak yang mungkin akan mengancam proyek bussway dan proyek-proyek transportasi masal lainnya.
Pertanyaannya adalah, apakah kita hanya akan menunggu dan menyerahkan semuanya kepada pemerintah atas nama negara untuk menyelesaikan masalah yang kita sendiri sebenarnya ikut berkontribusi menambah polusi terutama dengan kendaraan bermotor yang kita gunakan? Ataukan kita akan mencari solusi meskipun kita mungkin hanya akan berkontribusi sangat kecil terhadap pengurangan polusi. Sebagaimana pernyataan Pramoedya, “Kita harus jujur sejak dalam Pikiran”, kita harus jujur apakah kita akan menjadi seorang apatis ataukah problem solver?
Menanam satu orang satu pohon bisa menjadi solusi, berjalan kaki dan mengerem untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ketika bepergian jarak dekat adalah solusi lain, menggunakan sepeda ‘onthel’ untuk jarak menengah adalah solusi yang tak kalah elegan, mendorong pemerintah untuk segera menyempurnakan public transport adalah solusi yang cukup wah, mencari tempat tinggal di dekat lokasi kerja atau menerapkan system clustering antara tempat tinggal dan lokasi tujuan (tempat kerja/sekolah/kampus) merupakan hal lain yang bisa menjadi solusi karena paling tidak akan mengurangi jarak penggunaan kendaraan bermotor. Memindahkan ibukota adalah solusi besar lainnya yang patut diwacanakan untuk masa yang akan datang. Masih banyak hal lain yang bisa menjadi solusi, meskipun merupakan hal yang menurut kita kecil, namun apabila dilakukan dan ditularkan kepada orang lain sekitar kita bukan tidak mungkin akan menjadi solusi besar untuk ibukota kita tercinta. Apapun bisa dilakukan di Jakarta, Enjoy Jakarta.
Monday, January 25, 2010
Tentang Bienalle Jogjakarta X-2009
“Jogja Jamming: Gerakan Arsip Seni Rupa”
Bienalle jogja kali ini serasa lebih meriah, seni instalasi mewarnai hamper di setiap sudut kota (terutama di jalan utama). Yang terlihat cukup banyak tentu saja di kawasan Kantor Pos besar yang konon dulu ada air mancur di tengahnya. Di seputar perempatan bias ditemukan beberapa karya, diantaranya gambar Maestro Affandi dalam bentuk print out baliho besar yang digantungkan di dinding gedung Bank BNI. Kemudian di tempat lain ada gambar Raden Saleh salah satu perintis seni lukis modern di Indonesia yang sangat legendaries. Pergaulannya sangat luas bahkan pernah melanglang buana hidup di Eropa pada masanya. Sesuatu yang mungkin hanya dinikmati oleh beberapa pelajar Indonesia yang benar-benar Oustanding dan Militan.
Disisi lain tepatnya di dinding kantor pos besar yogyakarta terpampang baliho besar bergambar Soekarno dan pernyataannya tentang kemerdekaan seniman Yogyakarta. Tepat diseberang jalan kantor pos besar ada patung sebuah keluarga bapak-ibu dan anak yang masih kecil sedang naik sepeda berboncengan. Mengingatkan pada sebutan yogyakarta sebagai kota sepeda, mungkin saat ini ada tambahan satu kata di belakang sepeda yaitu motor! Karena pengendara sepeda sudah semakin tersisih dan kebanyakan menaiki sepeda bermotor bahkan mobil. Nah, kalau mobil tambah banyak, siap-siap saja menikmati kemacetan Jogja yang saat ini sudah mulai terasa.
Di sebelah patung keluarga pesepeda terdapat patung agak tinggi yang menyerupai robot tapi bersayap kupu-kupu. Gambaran malaikat modern mungkin, karena bentuknya robot. Diseberang jalan patung robot ada patung rumah dengan seseorang duduk di depan rumahnya. Rumahnya terbuat dari kaleng sprite bekas, begitu juga orangnya. Dan di rumahnya tertulis home sweet home, mungkin memberi gambaran tentang pemukiman kumuh yang memakai barang bekas, namun penghuninya tetap menempati bahkan mempertahankan mati-matian, meskipun sebenarnya tidah sweet tinggal disana. mungkin sebuah sindiran atau gambaran bagaimana potret masyarakat kita yang masih belum bias mempunyai rumah yang layak (manusiawi).
Agak ke sebelah utara dari patung robot dewi (angel) aku menyebutnya seperti ini, gak taulah penciptanya memberi judul karyanya. Ada patung wajah Suharto yang tidak utuh, ada yang dibikin seolah rusak sebagian bagian belakang, namun ada yang dibikin rusak agak ke depan, jadi sebagian wajahnya rusak. Mungkin untuk menggambarkan penampakan manis penguasa orde Baru tersebut yang ternyata banyak menyimpan / menyembunyikan keburukan.
Di sebelah utara lagi, di ngejam-an. Begitu sebutannya karena disitu ada Jam besar yang terletak di tengah pertigaan di depan sebuah Gereja kecil di samping Mirota Batik. Ada patung monster Sophaholic yang menjijikkan, agak ganjil, mungkin sebagai penggambaran budaya Sophaholic yang terlalu naïf, rakus, ketika berbelanja seolah-olah tidak ada hari lain lagi, dunia berakhir esok pagi sehingga ketika berbelanja semacam orang yang kesurupan monster sophaholic. Dengan gincunya yang menor, kemayu dan menenteng tas belanja besar berisi macam-macam tentengan.
Lebih ke utara lagi tepatnya di tengah jalan ujung jalan malioboro ada karya berbentuk gunting. Entah maksudnya apa mungkin sebagai simbolis bahwa acara ini telah dibuka dan dimulai dari titik itu. Atau jalan malioboro dimulai dari titik itu, seperti gunting yang menggunting pita pembukaan sebuah acara. Pokoknya menafsirkan asal-asalan lah, semoga tidak ada yang menuntut tulisan ini dengan pasal karet UU ITE karena perbuatan/tulisan yang tidak mengenakkan.
Agak kebarat dari gunting tadi, ada patung segerombolan orang naik sepeda sambil bersuka ria atau apalah dengan ekspresi berteriak teriak gitu. Tepat disamping patung itu ada parkir sepeda, saya gak tau apakah parkir itu sudah ada sebelumnya atau sebagai pelengkap dari patung pesepeda itu yang menggambarkan semangatnya orang bersepeda. Ya, di jogja saat ini memang sedang digalakkan kembali sepeda sebagai transportasi yang ramah. Di hamper setiap jalan ada jalur khusus pesepeda yang menyatu dengan jalan raya dan banyak terdapat penunjuk jalan alternative bagi pesepeda. Inisiatif yang bagus dari pemerintah kota menurut saya. Namun yang belum ada hingga saat ini adalah insentif bagi pesepeda, entah itu kemudahan parkir gratis atau dapat minum gratis ditempat-tempat tertentu dengan menunjukkan kartu parkir sepeda misalnya, bersepeda kan lumayan capek dan haus tentunya, apalagi ditengah teriknya kota jogja yang semakin membakar dan bikin hitam.
Ada beberapa titik lagi yang menampilkan karya biennale seperti di dekat plengkung, perempatan gondomanan, bunderan UGM dan beberapa tempat lain dalam bentuk mural. Yang jelas, Bienalle kali ini terasa lebih meriah, salut kepada seluruh penggagas dan penyelenggara event dua tahunan ini, bagaimanapun juga atmosfer seni semakin terasa di kota jogja.
Thursday, January 14, 2010
Sekaten..Jogja's People Party..!!!
Kali ini perjalanan ke jogja bertepatan dengan berlangsungnya pesta rakyat masyarakat Jogja Sekaten yang konon berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimah syahadat sebagai ikrar seseorang masuk Islam. Sudah banyak artikel, cerita yang menceritakan tentang ini, coba cari di google pasti akan ketemu. Jadi mending cerita yang lain saja.
Semasa kecil dulu perayaan sekaten adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu bagi kami sekeluarga, maklum sebagai keluarga yang cukup, sekaten merupakan hiburan yang sangat menghibur, murah dan meriah. Dulu ketika kecil saya sering diajak ke sekaten oleh ayah dan ibu dengan membonceng di belakang sepeda tentu saja dengan kaki diikat ke bodi sepeda biar tidak terjepit ruji sepeda. Pengalaman yang mengerika dulu ketika terjepit ruji sepeda, sampai srampat sandal jepitku hampir putus dan sakitnya minta ampuuunnn, tentu saja aku nangis sekeras-kerasnya,huahuahuaaaaa…
Alasan ke sekaten naik sepeda pertama karena memang itulah satu-satunya alat transportasi yang kami punya, karena belum punya motor saat itu, kedua kalau naik andong cukup mahal, ketiga karena ayahku penggemar sepeda, jadi alas an terakhir ini sepertinya yang susah diganggu gugat. Saking senengnya bersepeda, kemana-mana kami selalu diajak bersepeda bersama dengan sepeda onthel jawa nya yang dicat Hijau, hmmm.., entah karena ayahku seorang Muhammadiyah Notog atau karena fanatic pada P3, sepertinya alasan fanatic pada partai kurang beralasan. Namun kalau fanatic pada Muhammadiyah itu cukup beralasan, karena ayahku adalah seorang pengurus Muhammadiyah di Kotaku Kotagede sekaligus seorang guru bahasa Indonesia di SMP Muhammadiyah VII.
Hal yang sering dilakukan ke sekaten adalah masuk ke museum Keraton Yogyakarta, kalau tidak salah sudah dua atau tiga kali kami kesana, bahkan mungkin lebih. Tapi kalau untuk naik atraksi yang bermacam-macam sepertinya aku dulu harus merengek-rengek cukup lama-lah,hehe.. mungkin tujuan ayahku baik juga, agar kami sadar sejarah dan kami tahu sedikit tentang sejarah jawa, jadi bagaimanapun juga, meskipun di Sekaten jiwa pendidik ayahku masih saja muncul. Ketika sudah agak besar, aku mulai naik sepeda sendiri tanpa dibonceng, trus lebih gedhe lagi kadang naik andong mbonceng dibelakang, tapi ketoke ra mbayar, lali aku.
Ada mainan unik yang sering kami beli ketika sekaten dan tidak bosan-bosan memainkannya, yaitu kapal othok-othok (kapal ini sampai saat ini masih ada yang jual lho, kemaren liat di belakang kantor pas mau jumatan). Kapal kecil ini dari seng dengan sumbu kecil dibelakang yang dicelup ke minyak goring kemudian di baker dan keluar bunyi othok-othok dan abracadabra! kapal berjalan dengan ajaibnya. Teknologi sangat sederhana yang ampuh menjalankan kapal, ini benar-benar kapal api namanya. Selain itu ada endog sunduk berwarna merah muda yang banyak juga dijumpai pada saat sholat id hari raya idhul fitri di Kotagede. Telur ayam yang dicelupkan ke dalam pewarna makanan berwarna merah jambu yang disunduk kayak sate dan diberi hiasan warna warni di lidi ujung penyunduknya.
Sekaten kali ini tidak kalah meriahnya dengan sekaten dulu, meskipun pamornya sempat redup beberapa tahun yang lalu, namun perayaan rakyat ini kembali ramai oleh pengunjung. Ada beberapa yang menarik, diantaranya awul-awul begitu orang banyak menyebutnya untuk dagangan pakaian bekas impor. Awul-awul karena memeng dipajang awul-awulan dan harus mengawul-awul untuk memilih pakaian dan sukur-sukur bias dapat pakaian bekas bermerek yang kondisinya masih bagus dengan harga 10 ribu rupiah. Tapi jangan lupa untuk mencuci dengan sangat bersih, karena gak tahu tuh kumanya sudah berapa banyak di pakaian itu, mungkin udah sekampung banyaknya, jadi perlu perlakuan ekstra kalau mau direalisasikan untuk dipakai.
Tempat lain ada hiburan lumba-lumba, kalau yang ini sudah sangat biasa, kemudian roda raksasa yang ini biasa juga sebenarnya, tapi menarik karena kita bisa melihat sekeliling dari atas. Kemudian ada beberapa yang baru, yaitu flying fox, trus main anjot-anjutan diatas karet, bom-bom car ada juga. Yang tak kalah menarik adalah permainan semacam putaran ombak, jadi penumpang duduk di kursi samping sebuah lingkaran kemudian lingkaran itu di putar oleh beberapa orang dan putarannya dibikin naik turun. Jadi semacam gelombang ombak yang berputar bergelombang. Sebenarnya yang menarik adalah para pemutar lingkaran ini yang seringkali sambil melakukan atraksi jumpalitan, koprol sambil naik turun, lompat-lompatan.
Ada lagi yang juga dijalankan manusia, yaitu semacam ayunan yang biasa kita jumpai di TK, namun ini bentuknya agak besar menyerupai kapal. Jadi kayak mainan di Dunia Fantasi yang berbentuk kapal gedhe maju mundur berayun hampir memutar itu. Tapi yang ini diayun oleh manusia-manusia yang cukup perkasa menurut saya, karena mengayun ini hampir semalaman.
Atraksi lain yang menarik adalah Tong Stand atau orang biasa menyebutnya sebagai tong setan. Dengan membayar Rp. 5.000,- kita bias menyaksikan sebuah atraksi penunggang sepeda motor yang berputar di dalam tong raksasa dengan putarannya berhasil naik melawan hukum gravitasi dan tidak jatuh. Bahkan ada yang sambil menghisap rokok dan duduk bersila diatas sepeda motor sambil lepas stang kata orang jawa atau tanpa memegang setang motor sama sekali. Atraksi pertama ada satu motor yang berputar-putar, kemudian dua motor berputar secara berbarengan dengan silih berganti mencapai puncak dan bersama-sama yang satu di depan dan belakang seperti kejar-kejaran tapi gak tahu siapa yang mengejar dan siapa yang dikejar. Kemudian pintu di dalam tong terbuka dan masuklah sebuah sepeda onthel! Kedua motor kemudian kembali lagi melanjutkan ritualnya berputar-putar di dinding tong dan menyusullah si sepeda dengan mengayuh sekuat tenaga, sehingga tercipta kombinasi dua motor dan satu sepeda. Sepeda berada di paling depan dan kedua motor menyusul di belakang. Wow, gila juga ternyata.
Monday, January 11, 2010
Perjalanan di Awal Tahun
Aku pengen pulang awal tahun ini, meskipun akhir tahun kemaren juga pulang ke Jogja. Dan sekarang aku kembali menyusuri rel Jakarta Jogja dengan kereta senja yang membawa sekian banyak gerbong, entahlah sudah berapa kali aku naik kereta ini, hampir setiap bulan, paling tidak dua bulan sekali aku menumpang kereta ini. Sekarang, kebetulan aku di gerbong 7 dan masih ada 2 gerbong penumpang lagi, jadi secara keseluruhan ada 9 gerbong. Tentu saja seperti biasa kereta tua ini berjalan dengan berat, mungkin kalau bisa teriak dia sudah teriak, bukan saja karena diberi muatan terlalu banyak, tapi juga jarang dirawat. Lantainya sangat kotor, begitu pula dengan jendelanya yang buram dan beberapa kaca terlihat retak. Kipas angin juga enggan berputar terdengar dari bunyinya yang menyayat mengganggu. Begitu juga dengan toiletnya yang super duper bau tidak karuan. Suram, muram diterangi lampu yang temaram, inilah gambaran kereta senja Jakarta-Jogja. Namun, dengan segala kereyotan dan kekumuhan ini, kereta senja tetap melaju dan dicari pelanggannya yang setia meskipun kalau mau jujur sebenarnya kurang disuka.
Sampingku kebetulan seorang pegawai PLN yang baru saja dipindahkan ke serang untuk menjadi operator di pembangkit listrik tenaga uap yang baru saja dibangun. Proyek ini adalah kerjasama dengan pemerintah China, sehingga hamper seluruh alatnya didatangkan dari China, begitu juga dengan operatornya dan beliau juga sempat dikirim ke China untuk magang sesaat. Maklum-lah untuk proyek kerjasama semacam ini, Negara “donor” pasti menetapkan bahwa seluruh peralatan dari negaranya. Obrolan pun berlanjut ngalor ngidul tentang Jawa yang masih kekurangan pasokan listrik hingga istrinya yang sering kulakan di warung saudaraku di Banjarnegara. Dunia ini sempit kawan. Tapi yang masih saja bikin heran, kenapa ya kalau naik kereta, entah itu eksekutif argo, gajayana, taksaka, senja, fajar, sawunggalih, progo, KRL, KRD kok ya gak pernah dapat tempat duduk disamping cewek, klo gak bapak-bapak, om-om, ya mas-mas, OMG..
Pulang sari statsiun gak langsung pulang, tapi jalan-jalan dulu menikmati udara pagi jogja dan nongkrong di warung soto ayam pinggir jalan. Sebelumnya mengitari Malioboro dan melihat-lihat hasil karya yang dipajang dalam rangka bienalle jogja, mulai dari ujung malioboro sebelah utara hingga perempatan pancuran. Yang menarik di pagi adalah tampilan langit yang agak muram, awan yang dijejali dengan sinar matahari pagi yang mulai menyeruak. Saat yang tepat untuk mengambil potret karya bienalle dengan latar langit pagi.
Selesai dengan keasyikan mengambil potret, kemudian menuju halte trans jogja, mencoba public transport di Jogja yang ternyata lebih bagus dari Jakarta menurutku. Disini angkot tak ada yang separah Metromini 640 (baca : http://watonomics.wordpress.com/2009/10/20/membaca-kembali-ekonomi/). Meskipun ada beberapa kelakuan yang sama, naik turun penumpang seenaknya, tapi tidak separah di Jakarta yang sopirnya rela ngetem di tengah jalan hingga memacetkan ruas jalan dan mendapat umpatan dari banyak orang. Meskipun aku tidak naik bis kota (sebutan angkot di jogja), namun ketika naik trans jogja dan melihat beberapa bus kota yang lewat, konsisinya cukup lumayan, tidak terlalu berkarat seperti beberapa angkot di Jakarta lah.
Suasana di dalam trans jogja cukup unik, beberapa penumpangnya sudah saling kenal, bahkan dengan karyawan Trans Jogja juga kenal dengan baik dan kelihatan sangat akrab. Kehangatan seperti inilah yang tidak dijumpai di Jakarta, hamper semua penumpang berwajah muram, seolah-olah saling curiga kalau ternyata sampingnya copet yang selalu siap memangsa, di jogja suasana begitu cair. Pengumuman lokasi halte tidak diumumkan lewat corong otomatis seperti di Bussway Jakarta, namun diteriakkan oleh seorang kernet wanita. Hal lain yang menarik adalah, bus sebelumnya rela mundur kembali untuk menampung penumpang yang transit.
Sampingku kebetulan seorang pegawai PLN yang baru saja dipindahkan ke serang untuk menjadi operator di pembangkit listrik tenaga uap yang baru saja dibangun. Proyek ini adalah kerjasama dengan pemerintah China, sehingga hamper seluruh alatnya didatangkan dari China, begitu juga dengan operatornya dan beliau juga sempat dikirim ke China untuk magang sesaat. Maklum-lah untuk proyek kerjasama semacam ini, Negara “donor” pasti menetapkan bahwa seluruh peralatan dari negaranya. Obrolan pun berlanjut ngalor ngidul tentang Jawa yang masih kekurangan pasokan listrik hingga istrinya yang sering kulakan di warung saudaraku di Banjarnegara. Dunia ini sempit kawan. Tapi yang masih saja bikin heran, kenapa ya kalau naik kereta, entah itu eksekutif argo, gajayana, taksaka, senja, fajar, sawunggalih, progo, KRL, KRD kok ya gak pernah dapat tempat duduk disamping cewek, klo gak bapak-bapak, om-om, ya mas-mas, OMG..
Pulang sari statsiun gak langsung pulang, tapi jalan-jalan dulu menikmati udara pagi jogja dan nongkrong di warung soto ayam pinggir jalan. Sebelumnya mengitari Malioboro dan melihat-lihat hasil karya yang dipajang dalam rangka bienalle jogja, mulai dari ujung malioboro sebelah utara hingga perempatan pancuran. Yang menarik di pagi adalah tampilan langit yang agak muram, awan yang dijejali dengan sinar matahari pagi yang mulai menyeruak. Saat yang tepat untuk mengambil potret karya bienalle dengan latar langit pagi.
Selesai dengan keasyikan mengambil potret, kemudian menuju halte trans jogja, mencoba public transport di Jogja yang ternyata lebih bagus dari Jakarta menurutku. Disini angkot tak ada yang separah Metromini 640 (baca : http://watonomics.wordpress.com/2009/10/20/membaca-kembali-ekonomi/). Meskipun ada beberapa kelakuan yang sama, naik turun penumpang seenaknya, tapi tidak separah di Jakarta yang sopirnya rela ngetem di tengah jalan hingga memacetkan ruas jalan dan mendapat umpatan dari banyak orang. Meskipun aku tidak naik bis kota (sebutan angkot di jogja), namun ketika naik trans jogja dan melihat beberapa bus kota yang lewat, konsisinya cukup lumayan, tidak terlalu berkarat seperti beberapa angkot di Jakarta lah.
Suasana di dalam trans jogja cukup unik, beberapa penumpangnya sudah saling kenal, bahkan dengan karyawan Trans Jogja juga kenal dengan baik dan kelihatan sangat akrab. Kehangatan seperti inilah yang tidak dijumpai di Jakarta, hamper semua penumpang berwajah muram, seolah-olah saling curiga kalau ternyata sampingnya copet yang selalu siap memangsa, di jogja suasana begitu cair. Pengumuman lokasi halte tidak diumumkan lewat corong otomatis seperti di Bussway Jakarta, namun diteriakkan oleh seorang kernet wanita. Hal lain yang menarik adalah, bus sebelumnya rela mundur kembali untuk menampung penumpang yang transit.
Subscribe to:
Posts (Atom)