Setelah menunggu sekian lama, akhirnya saya bisa menonton film ini. Sebuah Film tentang Aung San Suu Kyi yang diperankan oleh Michele Yeoh, seorang artis kenamaan kelahiran Malaysia. Selain memang ada kemiripan wajah, totalitas Michele Yeoh dalam memerankan Suu Kyi ditunjukkan dengan usaha menurunkan berat badannya (6 kg), selain itu juga membaca artikel-artikel tentang Suu Kyi, karena tidak bisa melakukan wawancara langsung dengan Suu Kyi. Michele Yeoh juga belajar privat bahasa Myanmar selama beberapa bulan. Dan hasilnya bisa dikatakan ciamik, cantik, terlihat Smart dan sangat bijak.
Film dibuka dengan adegan pembunuhan orang tua Aung San Suu Kyi, seorang jenderal yang berjasa besar dalam kemerdekaan Myanmar dan begitu dicintai rakyatnya. Setelah itu, adegan beralih ke Michael Aris, suami Suu Kyi yang divonis menderita kanker prostat dan hidupnya tinggal beberapa bulan atau maksimal 5 tahun lagi. Ini merupakan salah satu inti cerita yang akan menjadi klimaks dari keseluruhan rangkaian film ini.
Kehidupan keluarga mereka bisa dikatakan harmonis, sebuah keluarga kecil bahagia dengan dua anak yang tinggal di Oxford. Suami Suu Kyi adalah seorang Dosen di Oxford, tempat dimana Suu Kyi pernah kuliah. Mereka dikaruniai dua orang anak laki-laki yang ceria tapi juga manja dengan ibunya. Suu Kyi adalah ibu yang ramah dan menyayangi keluarganya, selalu tersenyum, seolah sudah lupa dengan kenangan masa kecil ketika dia harus kehilangan ayahnya yang dibunuh oleh Junta (digambarkan pada adegan awal film). Berdamai dengan diri sendiri, adalah tema yang muncul dalam film ini, kalau tidak bisa berdamai dengan diri sendiri bagaimana akan bisa menghadapi orang lain (bahkan musuh) dengan keramahan dan ketenangan yang luar biasa? Ketenangan yang luar biasa tersebut bisa dilihat dalam adegan ketika Suu Kyi berjalan menuju moncong-moncong senapan yang mengancamnya.
Semuanya berubah ketika Suu Kyi harus kembali ke Myanmar karena ibunya menderita Stroke dan dirawat di rumah sakit. Pada saat itu, tahun 1988 di Myanmar sedang maraknya demonstrasi oleh Mahasiswa yang menuntut demokratisasi Myanmar. Mereka dengan kejamnya menembaki mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi yang kebetulan sedang melewati jalan di dekat rumah sakit dimana ibu Suu Kyi dirawat. Suasana rumah sakit kemudian menjadi riuh, banyak korban demonstran yang dilarikan ke rumah sakit tersebut. Suu Kyi ikut membantu mengurus para korban yang masuk ke rumah sakit dan melihat langsung bagaimana kekejaman junta militer yang menembak para demonstran yang terluka dan sudah berada di pintu rumah sakit. Hal ini yang mungkin menjadi titik balik, menggugah Suu Kyi untuk berada di tengah masyarakat Myanmar, tempat dimana dia dilahirkan.
Kehidupan Suu Kyi seolah sudah digariskan untuk berada ditengah rakyat Myanmar, ketika kemudian beberapa orang Dosen dari Universitas Rangoon mendaulat Suu Kyi untuk memimpin mereka berjuang untuk Demokrasi di Myanmar. Rumah Suu Kyi kemudian menjadi markas pergerakan demokrasi Myanmar. Suami Suu Kyi yang sedang berada di Myanmar kemudian ikut membantu perjuangan Suu Kyi dengan memfotokopi Pamphlet National League for Democracy di Kedutaan Besar Inggris. Kita bisa melihat bagaimana pentingnya peran orang yang dicintai sebagai penguat yang mendukung perjuangan Suu Kyi. Bagaimana Doktor Aris ikut bolak balik ke kedutaan besar Inggris untuk mencetak pamphlet perjuangan mereka meskipun diawasi oleh tentara Myanmar.
Semuanya berubah ketika Suu Kyi harus kembali ke Myanmar karena ibunya menderita Stroke dan dirawat di rumah sakit. Pada saat itu, tahun 1988 di Myanmar sedang maraknya demonstrasi oleh Mahasiswa yang menuntut demokratisasi Myanmar. Mereka dengan kejamnya menembaki mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi yang kebetulan sedang melewati jalan di dekat rumah sakit dimana ibu Suu Kyi dirawat. Suasana rumah sakit kemudian menjadi riuh, banyak korban demonstran yang dilarikan ke rumah sakit tersebut. Suu Kyi ikut membantu mengurus para korban yang masuk ke rumah sakit dan melihat langsung bagaimana kekejaman junta militer yang menembak para demonstran yang terluka dan sudah berada di pintu rumah sakit. Hal ini yang mungkin menjadi titik balik, menggugah Suu Kyi untuk berada di tengah masyarakat Myanmar, tempat dimana dia dilahirkan.
Kehidupan Suu Kyi seolah sudah digariskan untuk berada ditengah rakyat Myanmar, ketika kemudian beberapa orang Dosen dari Universitas Rangoon mendaulat Suu Kyi untuk memimpin mereka berjuang untuk Demokrasi di Myanmar. Rumah Suu Kyi kemudian menjadi markas pergerakan demokrasi Myanmar. Suami Suu Kyi yang sedang berada di Myanmar kemudian ikut membantu perjuangan Suu Kyi dengan memfotokopi Pamphlet National League for Democracy di Kedutaan Besar Inggris. Kita bisa melihat bagaimana pentingnya peran orang yang dicintai sebagai penguat yang mendukung perjuangan Suu Kyi. Bagaimana Doktor Aris ikut bolak balik ke kedutaan besar Inggris untuk mencetak pamphlet perjuangan mereka meskipun diawasi oleh tentara Myanmar.
Salah satu adegan menarik adalah ketika Suu Kyi mengatakan kepada suaminya bahwa dia belum pernah berpidato sebelumnya. Dan pertama kali berpidato, langsung dihadapan ribuan rakyat Myanmar yang menggantungkan harapan mereka pada Suu Kyi. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik, lepas dari cengkraman Junta Militer yang suda berkuasa bertahun-tahun. Suaminya dengan sabar berusaha menguatkannya untuk berpidato, dengan memegang erat tangan Suu. Adegan ini konon sempat diambil berulangkali karena orang yang berada disamping Suu Kyi meneteskan air mata ketika menjalankan adegan tersebut, setelah itu orang itu mengakui bahwa dia dulu pernah menyaksikan secara langsung pidato Suu Kyi Tersebut.
Perjuangan untuk kemerdekaan seringkali harus melalui jalan sunyi, mungkin inilah mengapa sangat diperlukan dukungan dari orang-orang yang dicintai. Sebagaimana Soekarno yang selalu didampingi oleh Inggit selama dibuang ke berbagai penjuru tanah air. Mungkin Junta menyadari hal ini, sehingga Suami Suu Kyi kemudian dipaksa untuk kembali ke Inggris oleh junta Militer, agar Suu Kyi melunak. Namun Suu Kyi tetap tabah, bahkan ketika kemudian suaminya mengunjungi Suu Kyi di Myanmar, Suu Kyi sempat menawarkan suaminya untuk berpisah, karena Suu Kyi tidak bisa meninggalkan Rakyatnya untuk kembali menjalani kehidupan yang normal bersama keluarga mereka di Oxford. Namun suaminya menolak untuk berpisah dan menyatakan bahwa ini sudah merupakan komitmen mereka, harga yang harus dibayarkan untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi masyarakat Myanmar.
Mereka pun berjuang dengan cara masing-masing, sementara Suu Kyi harus bertahan dengan kesendirian di dalam rumah yang dijaga ketat oleh militer, berusaha untuk tetap berada ditengah masyarakatnya. Suami Suu Kyi berusaha memperjuangkan agar Suu memperoleh Nobel Perdamaian, sebuah pengakuan international untuk menguatkan posisi Suu Kyi. Suami Suu kemudian mulai melobi dan mengirimkan sendiri dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran kandidat penerima nobel. Semua ini dilakukan agar daya tawar Suu menjadi lebih baik di dunia internasional dan tentu saja Junta tidak akan berani melakukan tindakan yang membahayakan nyawa Suu. Akhirnya perjuangan berhasil, karena Suu Kyi tidak bisa hadir dalam malam penganugerahan maka yang menerima hadiah nobel adalah keluarga Suu, bahkan pidato sambutan penerima nobel dibacakan oleh Alex, anak terbesar Suu.
Ironisnya, Suu hanya mendengarkan lewat radio yang batrenya-pun harus mengambil dari batu baterai lampu senter yang mereka pakai. Karena mendadak listrik dimatikan, mungkin disengaja junta militer agar suu dan masyarakat lain tidak mendengar berita penganugerahan nobel perdamaian untuk Suu. Hal yang sama dilakukan orde baru setelah G30S, ketika PKI diberangus, mereka menutup semua jalur informasi dan hanya RRI yang boleh siaran, itupun sesuai dengan setting Orba, begitu juga dengan harian militer Berita Yudha sebagai satu-satunya harian yang boleh terbit pada saat itu.
Puncaknya adalah ketika suami Suu Kyi sakit keras dan hampir frustasi karena pengajuan Visa ke Myanmar selalu ditolak oleh Junta Militer. Kesengajaan yang dilakukan junta untuk menyurutkan nyali Suu Kyi, sehingga bersedia keluar dari Myanmar mengunjungi suami di Oxford. Namun Suu bersikeras menolak tawaran junta untuk mengunjungi suaminya di Oxford, karena begitu sudah keluar dari Myanmar, Suu tidak akan diijinkan lagi masuk ke Myanmar. Dan di hari-hari terakhir kehidupan suaminya, Suu harus menjelaskan kepada anaknya yang juga mulai marah karena ibu mereka tidak juga ke Oxford dan tetap bertahan di Myanmar.
Secara keseluruhan, film ini bercerita tentang sebuah upaya yang luar biasa dari seorang ibu rumah tangga yang harus menanggung beban sejarah sebagai anak dari seorang jendral yang sangat dicintai masyarakatnya. Seorang ibu yang kemudian meninggalkan kenyamanan kehidupan dalam sebuah keluarga kecil dan merelakan dirinya menjadi tahanan rumah, terpisah dari keluarganya, agar tetap bersama rakyatnya. Sebuah kehidupan yang terinspirasi Gandhi yang juga meninggalkan kenyamanan untuk kemudian berjuang bersama masyarakatnya untuk kemudian melakukan perjuangan tanpa kekerasan, hal yang sama yang dilakukan Suu Kyi. Film ini juga bercerita tentang pentingnya saling memahami dalam sebuah keluarga, bagaimana masing-masing anggota keluarga kemudian harus menerima kenyataan untuk berpisah, demi kebaikan masyarakat Myanmar. Mereka saling menguatkan, saling mendukung, ikut berjuang meski dengan cara masing-masing.
No comments:
Post a Comment