Tingkat kepadatan pemukiman yang cukup tinggi di Kota Jogja sedikit mengusik kerinduan kita akan adanya ruang publik di tengah-tengah kita. Sebuah ruang yang bisa digunakan untuk bersantai, bermain bagi anak-anak, bersosialisasi antar sesama dan lebih banyak lagi yang bisa kita lakukan di ruang ini. Saat ini, semakin banyak tanah lapang beralih fungsi menjadi pemukiman. Jalan kampung-pun semakin sempit, di beberapa wilayah, jalan kampung hanya selebar 1 – 1,5 meter. Jadi kalau ada dua pengendara motor bertemu, salah satu harus berhenti atau mundur mencari ruang yang agak longgar untuk berpapasan.
Keterbatasan ruang ini cukup menyusahkan bagi orang tua (ortu) yang memiliki anak kecil. Apalagi ketika menyuruh anak mereka makan, mereka biasanya mengajak jalan-jalan sambil menyuapinya. Pada saat saya kecil, kegiatan itu biasa dilakukan di dalam kampung sambil nonton pemuda kampung bermain layang-layang atau bola di tanah lapang kampung. Tidak adanya tanah lapang dan keberadaan jalan yang sempit tidak memungkinkan bagi ortu dan anak berjalan-jalan di dalam kampung, kalau berpapasan bisa kerepotan sendiri.
Akhirnya ortu mencari lokasi lain, salah satunya di bawah jembatan layang lempuyangan. Setiap sore ruangan sempit di sebelah barat teteg sepur bagian utara selalu dipadati oleh ortu yang mengajak anak mereka jalan-jalan sekaligus menyuapinya. Di lokasi tersebut sepur lalu-lalang, maju-mundur pindah jalur, masuk ke stasiun, ataupun masuk ke bengkel sepur di sebelah timur jembatan pempuyangan. Frekuensi lalu-lalang sepur (kereta api) yang cukup tinggi inilah yang dijadikan hiburan anak-anak.
Beberapa tahun lalu, lokasi tersebut belum begitu ramai, paling hanya beberapa anak dan ortu. Sekarang beberapa penjual makanan dan minuman, mulai dari penjual sate ayam hingga siomay, ikut nimbrung. Bahkan ada juga yang menjual jasa permainan anak, odong-odong. Lokasi tersebut akhirnya menjadi pusat keramaian baru yang memberi rejeki bagi warga yang hidup dari sektor informal.
Beberapa anak dan ortu yang tidak kebagian ruang di bawah jembatan, masuk ke lingkungan stasiun, tepatnya di sebelah selatan rel, dekat menara pengawasan। Ternyata bukan hanya anak-anak dan ortu mereka yang tertarik melihat sepur. Beberapa muda-mudi yang memadu kasih juga tidak mau ketinggalan, mereka bermesra-mesra diatas motor sambil nonton sepur. Mereka sebenarnya juga merindukan keberadaan ruang publik yang sudah begitu terbatas di kota ini. Penyelesaian yang dipilih-pun cukup sederhana, yaitu nonton sepur !
Semakin lama, lingkungan tersebut akan semakin ramai. Penonton sepur akan semakin banyak, begitu juga dengan penjual jasa dan makanan. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika pemerintah dengan alasan ketertiban menutup ruang tersebut dan melarang mereka “nonton sepur”. Tentu akan menimbulkan kekecewaan bagi anak-anak dan menghilangkan sumber penghasilan bagi pedagang. Kebijakan ini bukan tidak mungkin terjadi mengingat sebagian penjual sudah mulai menggunakan badan jalan di sebelah utara rel. Jika benar-benar terjadi, ortu harus kembali memutar otak untuk mencari ruang bagi ritual meyuapi anak mereka, begitu juga dengan pedagang, mereka harus mendorong atau memanggul dagangan mereka, mencari keramaian baru untuk sekedar memperoleh sesuap nasi. Semoga saja pemerintah bisa berlaku bijak.