Seringkali kita malu kalau dibilang anak kampung atau dikatakan kampungan, mungkin hanya Slank saja yang berani memposisikan diri mereka dengan kata kampungan, sebuah kata yang sering di identikkan dengan urakan, terbelakang, gak mau tahu aturan dll. Saya tidak akan ngemeng tentang definisi kampung disini, tapi yang jelas kampung adalah tempat kita hidup bermasyarakat sehari-hari, terutama bagi kelas menengah kebawah di perkotaan, tentu saja termasuk Jakarta. Ya, Jakarta adalah kampung raksasa, identitas yang dilupakan saat ini. Kalau tidak percaya, coba saja naik ke salah satu gedung bertingkat di Jakarta dan tengoklah sekeliling, pasti akan melihat rumah-rumah berdesak-desakan yang kalau kita lihat secara lebih dekat akan menemukan jalan berliku, berkelok-kelok laiknya labyrinth.
Anehnya, selama saya tinggal di perkampungan di Jakarta, saya belum melihat program pemerintah Provinsi/Kota Jakarta untuk membangun kampung, sesuatu yang akan dengan mudah ditemukan di kota Yogyakarta. Paling tidak yang terlihat adalah adanya tamanisasi di kampung-kampung kota Yogyakarta, jadi masing-masing kampung memeroleh sejumlah anggaran tertentu untuk memperbaiki taman kampong. Kemudian ada lagi program biopori dan pembuatan sumur resapan di jalan-jalan kampung untuk menampung limpahan air hujan agar jalanan tidak banjir tentunya. Hal ini dikarenakan di jalan-jalan kampong jarang ditemui got/saluran air kecil. Selain itu juga untuk menambah debit air tanah yang semakin turun kualitas dan kuantitasnya. Ada juga program pemilahan sampah dan pengolahan sampah organik bagi warga kampung, karena semakin banyak sampah yang dihasilkan masyarakat dan ada kemungkinan akan ditutupnya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah Kota Yogyakarta yang selama ini berada di Kabupaten Bantul.
Dulu, pada masa Ali Sadikin konon ada program untuk memperbaiki perkampungan Jakarta, programnya sederhana, memperbaiki got/saluran pembuangan air di kampung-kampung. Warga-pun menyambut baik program itu dan sangat berterimakasih kepada pemerintah karena sangat perhatian. Sekarang, yang pernah saya lihat adalah perbaikan/pengecoran jalan kampung, hanya untuk memperhalus jalan. Selain itu saya tidak melihat program lain untuk kampung, mungkin saya yang memang kurang gaul dengan pak RT jadi kagak tau program pembangunan perkampungan Jakarta. Atau mungkin saya terlalu banyak main di kawasan menteng jadi tahu-nya Jakarta itu terdiri dari taman-taman kota yang asri, jalanan yang di tengahnya ada jalur hijau dengan bunga-bunga yang bermekaran.
Tapi bagaimanapun juga, Jakarta ke depan tentu masih akan berhadapan dengan berbagai masalah, salah satunya banjir. Pertanyannya adalah bagaimana mengurangi hal tersebut, dimulai dari perkampungan. Kenapa kampung? karena hampir semua rumah di jakarta membuang limbah air dan juga limpahan air hujan ke got-got atau bahkan jalan kampung yang kemudian bermuara di sungai atau membanjiri jalan raya. Sementara untuk gedung bertingkat atau perumahan elit, mereka sudah lebih tertata system sanitasinya. Bagaimana solusinya? Apakah dengan membangun sumur resapan di kampong-kampung agar limpahan air hujan tidak mengalir ke jalanan atau mengumpul di daerah tertentu yang berakibat bajir? Ataukah dengan memperbaiki got-got yang ada, memperlebar dan memperdalam dari tahun ke tahun sehingga ada proyek perbaikan got tiap tahun? Sebagaimana proyek mengatasi kemacetan dengan membangun jalan baru, absurd memang. Tapi itulah Jakarta kita, sebuah daerah/wilayah yang gak mau disebut kampung tapi kampungan.
Belum lagi kita berbicara tentang sampah dan kemacetan? Ah, sudahlah saya mau tidur dulu..
RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, 23:40