Mengeluh bukanlah jalan keluar, apapun itu, sebagaimana ketika kita hanya geram dengan cuaca Jakarta akhir-akhir ini yang semakin tak menentu. Ketika siang suasana sangat panas dan mendadak mendung menggantung dan akhirnya hujan disertai angin, bahkan di beberapa daerah terjadi hujan es. Bagaimanapun juga ini merupakan fenomena alam yang tak biasa, semakin hari bukannya semakin menentu, tapi menunjukkan kecenderungan terjadinya random walk dan jauh dari kondisi stasioner kalau pakai istilah statistik.
Polusi sudah sedemikian parahnya, efek rumah kaca sudah menunjukkan pertanda yang semakin nyata. Alih-alih mencari solusi jangka panjang, kita malah sibuk mencari penyelesaian sesaat dengan memasang kipas angin dan menyalakan AC sampai batas maksimal. Sedangkan diluar sana beberapa penyebab efek rumah kaca masih dengan nyaman berkeliaran dan memperoleh berbagai fasilitas. Jalan diperlebar, kredit motor/mobil dipermudah, upaya untuk memberlakukan jalur 3 in 1 menunjukkan kegagalannya karena terang-terangan para joki mencari pelanggan di samping aparat penegak hukum. Kendaraan umum yang diharapkan bisa menjadi solusi pengurangan penggunaan pribadi justru menjadi penyebab kemacetan dan polusi yang akut, ditandai dengan keluarnya asap hitam dari beberapa angkot.
Jakarta sepertinya sudah tidak mampu lagi menampung ini semua, hampir setiap hari terjadi kemacetan, lorong perumahan semakin sempit. Bukan hanya karena banyak pedagang yang mangkal, tapi juga halaman rumah yang semakin menjorok ke jalanan dan mengharuskan kendaraan parkir di bahu jalan. Satu jengkal tanah begitu berharganya, sehingga tanaman pun tidak punya ruang untuk tumbuh, tanah tidak bisa lagi menyerap air untuk menahan laju peresapan air laut. Padahal disisi lain, tanaman sangat diperlukan untuk mengurangi panas dan tentu saja efek rumah kaca.
Jakarta memerluka solusi yang komprehensif, perlu kerjasama dari berbagai pihak, terutama kesadaran masyarakat Jakarta sendiri untuk mencari solusi atas permasalahan kotanya. Bahkan Jakarta sudah dinobatkan sebagai kota dengan polusi udara terburuk ketiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand. Konon penyumbang polusi terbesar adalah sektor transportasi yang mencapai 70 persen. Berbagai upaya telah dilakukan dan diklaim telah membuahkan hasil yang signifikan. Salah satunya adalah program Car Free Day yang telah dijalankan di Jakarta selama ini. Rencananya Car Free Day akan terus digalakkan di seluruh wilayah Jakarta selain itu juga dilaksanakan pula Jakarta Great Clean dengan cara melakukan penutupan jalan-jalan atau kawasan-kawasan tertentu di Jakarta selama 6 jam, antara lain Sudirman-Thamrin, kawasan kota tua, Rasuna Said, Boulevard Artha Gading, dan Jalan Letjen Suprapto. Hasilnya, kadar debu di Jakarta berkurang sampai 40 persen, Karbon (CO) berkurang sampai 63 persen, dan N0 berkurang sampai 71 persen. Terlepas dari apakah hasil tersebut valid atau tidak, namun bagaimanapun juga pengurangan penggunaan kendaraan bermotor adalah solusinya.
Beberapa organisasi masyarakat mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan angkutan massal ramah lingkungan dan segera memenuhi aturan minimal ruang terbuka hijau (RTH) 13,94 persen dari luas Jakarta yang saat ini baru mencapai sekitar 9 persen RTH, padahal idealnya 30 persen. Salah satu yang dilakukan adalah dengan membangun jalur bussway yang menurut saya bisa dikatakan banci karena terlalu ragu. Idealnya jalur bussway benar-benar bersih dari kendaraan lain, sehingga bisa melaju dengan cepat dan nyaman sebagai salah satu daya tarik peralihan dari kendaraan pribadi. Ternyata bukan hanya jalurnya yang sering dinistai oleh kendaraan lain sehingga menghambat laju, volume bussway juga bisa dikatakan kurang mencukupi sehingga memunculkan antrian panjang di berbagai halte utama dan ini sangat tidak nyaman. Kondisi ini malah diperparah dengan dugaan miring terhadap operator bussway terutama terkait dengan jumlah subsidi, yang tentu saja memunculkan sinisme berbagai pihak yang mungkin akan mengancam proyek bussway dan proyek-proyek transportasi masal lainnya.
Pertanyaannya adalah, apakah kita hanya akan menunggu dan menyerahkan semuanya kepada pemerintah atas nama negara untuk menyelesaikan masalah yang kita sendiri sebenarnya ikut berkontribusi menambah polusi terutama dengan kendaraan bermotor yang kita gunakan? Ataukan kita akan mencari solusi meskipun kita mungkin hanya akan berkontribusi sangat kecil terhadap pengurangan polusi. Sebagaimana pernyataan Pramoedya, “Kita harus jujur sejak dalam Pikiran”, kita harus jujur apakah kita akan menjadi seorang apatis ataukah problem solver?
Menanam satu orang satu pohon bisa menjadi solusi, berjalan kaki dan mengerem untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor ketika bepergian jarak dekat adalah solusi lain, menggunakan sepeda ‘onthel’ untuk jarak menengah adalah solusi yang tak kalah elegan, mendorong pemerintah untuk segera menyempurnakan public transport adalah solusi yang cukup wah, mencari tempat tinggal di dekat lokasi kerja atau menerapkan system clustering antara tempat tinggal dan lokasi tujuan (tempat kerja/sekolah/kampus) merupakan hal lain yang bisa menjadi solusi karena paling tidak akan mengurangi jarak penggunaan kendaraan bermotor. Memindahkan ibukota adalah solusi besar lainnya yang patut diwacanakan untuk masa yang akan datang. Masih banyak hal lain yang bisa menjadi solusi, meskipun merupakan hal yang menurut kita kecil, namun apabila dilakukan dan ditularkan kepada orang lain sekitar kita bukan tidak mungkin akan menjadi solusi besar untuk ibukota kita tercinta. Apapun bisa dilakukan di Jakarta, Enjoy Jakarta.