Ivan A. Hadar (Kompas, 3 Maret 2007) menjelaskan bahwa kemauan politik pemerintah dan semua pihak dalam mencari keseimbangan di antara berbagai kepentingan pelaku perumahan adalah dua syarat utama yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masalah perumahan di Indonesia. Dia mencontohkan kasus sukses Singapura dan Jerman dalam mengatasi masalah perumahan warganya dengan pembangunan rumah secara massal.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah program tersebut bisa menyelesaikan masalah perumahan rakyat di Indonesia. Disatu sisi, pemerintah juga dihadapkan pada permasalahan keterbatasan anggaran. Disisi lain, warga menengah ke bawah yang hidup di perkotaan biasanya menggantungkan diri dari sektor informal, mulai dari pemulung hingga pedagang kaki lima. Sehingga hampir bisa dipastikan bahwa penghasilan mereka tidak tetap dan kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan mereka untuk membeli rumah yang dibangun pemerintah tersebut layak dipertanyakan, meskipun dengan sistem cicilan.
Karena ketidakmampuan mereka untuk membayar cicilan rumah, mereka akhirnya akan kembali membangun rumah dengan cara mereka sendiri, entah itu di bantaran sungai, maupun di bawah jembatan. Pemerintah kemudian akan menggusur mereka, dan mereka akan membangun lagi di lokasi lain. Kejadian tersebut terus berulang dan menjadi semacam lingkaran setan.
Penyelesaian masalah perumahan dengan membangun rumah susun juga tidak sesuai dengan paradigma pembangunan saat ini yang mengedepankan pemberdayaan rakyat. Dalam kasus tersebut rakyat harus menerima keinginan pemerintah tanpa pernah ditanya apa sebenarnya keinginan mereka. Rakyat seharusnya berpartisipasi secara aktif untuk ikut menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Sebuah Alternatif
Adakah alternatif lain untuk menyelesaikan masalah perumahan dengan biaya yang lebih murah? John F.C. Turner, arsitek asal Inggris sekaligus penulis buku Housing by People, menyatakan bahwa masalah perumahan rakyat di Negara Sedang Berkembang bukan karena ketidakmampuan rakyat dalam membangun rumah, namun akibat dari kesalahan politik pemerintah. Pertama, pemerintah menganggap dirinya bertanggung jawab penuh dalam penyediaan perumahan bagi warganya. Kedua, rumah yang “layak” adalah rumah yang sesuai dengan standar pemerintah. Ketiga, pemerintah berhak merancang, membangun, dan menjual perumahan yang “layak” kepada masyarakatnya dengan harga terjangkau.
Menurutnya, pemerintah maupun pengembang perumahan, tidak akan mampu mengatasi masalah perumahan. Karena perumahan lebih merupakan suatu proses yang berkelanjutan, sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan penghuninya, sehingga tidak bisa distandarisasikan. Untuk mengatasinya, perlu ada perubahan peran pemerintah dari perancang, pembangun, pemasok perumahan standar serta penggusur perumahan liar menjadi fasilitator.
Sebagai fasilitator, pemerintah hendaknya menghilangkan monopoli definisi rumah layak huni dan juga standardisasi perumahan rakyat. Pemerintah seharusnya mendorong masyarakat untuk membangun rumah dengan biaya sendiri. Pemerintah hanya menyediakan fasilitas yuridis (pemberian hak guna tanah dan status tanah), infrastruktur pendukung (listrik, air, jalan) dan bimbingan teknis (mengenai teknik bangunan, kesehatan, dan lingkungan).
Di Indonesia, meskipun memiliki potensi untuk dilaksanakan, namun sekali lagi, hambatan utamanya adalah dari pemerintah itu sendiri. Hal ini dibuktikan dengan tidak diterimanya usulan untuk mengesahkan perumahan liar. Atau dengan kata lain, pemerintah enggan untuk memberikan fasilitas yuridis, berupa pemberian hak guna tanah dan pengesahan status tanah yang ditempati masyarakat miskin kota.
Alternatif dari Sebuah Alternatif
Jalan lain yang sangat mungkin dilakukan untuk menyelesaikan masalah kebutuhan perumahan di Indonesia adalah dengan meniru cara Romo Mangun ketika membangun pemukiman Code-Gondolayu. Dalam proses pembangunannya, Romo Mangun mendukung kehendak rakyat untuk tetap bermukim dilokasinya dan melanjutkan kegiatan ekonominya. Dia bersama teman-temannya kemudian mengabdikan dirinya secara langsung mulai dari penataan kembali lingkungannya, perancangan kembali rumahnya, pembangunannya, pengecatannya hingga pembiayaannya. Selain itu sisi sosial ekonominya juga dibangun, mulai dari pembentukan pengurus kampung, koperasi simpan pinjam hingga kelompok belajar anak-anak.
Dalam perjalanannya, hambatan terberat yang dihadapi Romo Mangun adalah bagaimana memperoleh pemberian hak guna tanah dan pengesahan status tanah oleh pemerintah (tidak digusur). Untuk memperjuangkan usahanya, Romo Mangun mengancam akan melakukan mogok makan, jika penggusuran pemukiman Code tetap dilakukan oleh pemerintah.
Dari kasus tersebut kita bisa belajar bahwa pembangunan perumahan untuk masyarakat miskin sebenarnya tidak memerlukan dana yang sangat besar, namun bisa dilakukan secara swadaya. Pembangunan perumahan tidak boleh terpaku pada bangunan itu sendiri, namun juga harus bisa mendukung keberlangsungan hidup penghuninya. Selain itu, juga diperlukan pembangunan sosial-ekonomi agar bisa mengeluarkan masyarakat yang bermukim di daerah tersebut dari jurang kemiskinan.
Romo Mangun telah memperlihatkan bagaimana cinta kasih, ketulusan hati dan inovasi merupakan salah satu kunci utama untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Dan bangsa ini mungkin sudah kehilangan ketiga hal tersebut, sehingga penyelesaian permasalahan yang dihadapi seringkali menyakitkan dan kurang sehat (misal; penggusuran dan relokasi).