Tim Indonesia Bangkit menyatakan adanya ancaman terulangnya krisis 97/98. Salah satu pemicu adalah derasnya arus modal asing dalam bentuk hot money ke Indonesia dan sewaktu-waktu bisa berbalik arah. Selain itu, fenomena terputusnya kaitan antara sektor riil dan finansial juga menjadi kekhawatiran tersendiri. Sektor finansial saat ini cukup menjanjikan, bisa dilihat dari kinerja pasar modal dan pasar keuangan yang cukup mengesankan. Namun, sektor riil masih terseok-seok berusaha untuk bangkit.
Beberapa kalangan menyatakan bahwa kondisi saat ini berbeda dengan kondisi 10 tahun yang lalu. Beberapa alasannya adalah, nilai mata uang rupiah tidak lagi dipatok terhadap dolar, keadaan perbankan nasional jauh lebih sehat dan baik, jumlah cadangan devisa melebihi arus hot money yang masuk, terakhir BI sudah memiliki instrumen untuk memonitoring arus modal masuk (Hasan, Sindo, 14/05/07). Meskipun beberapa indikator diatas bisa menjadi alasan tidak terulangnya krisis, namun bukan jaminan bahwa krisis tidak terulang.
Kita harus ingat dengan fenomena krisis yang ditandai dengan inflasi yang melonjak tinggi (galloping). Dalam teori ekonomi dikenal istilah lenins diktum yang menyatakan bahwa “untuk menghancurkan suatu masyarakat bisa dilakukan melalui penghancuran mata uang”. Krisis 1997, bahkan 1965 bisa dijelaskan dengan fenomena ini. Pada tahun 1965 krisis diawali dengan tingkat inflasi yang sangat tinggi (hyperinflasi). Pada saat itu, bukan hanya harga kebutuhan pokok yang mahal, namun hilang dari pasar. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 1997.
Padahal untuk kasus Indonesia tingkat inflasi sangat tergantung dari kemampuan pemerintah dalam mengendalikan harga, terutama harga bahan pokok (administered price). Kenaikan harga BBM pada tahun 2005 misalnya, secara langsung melambungkan tingkat inflasi bulan November mencapai 8%, sehingga inflasi tahunan menembus angka 2 digit. Kenaikan tersebut tentu saja langung menurunkan daya beli masyarakat dan tentu saja tingkat kesejahteraannya juga anjlok. Begitu juga dengan sektor riil, mereka sangat terpukul dengan kenaikan tersebut, beberapa usaha bahkan tutup dan terpaksa merumahkan karyawan mereka.
Kenaikan harga beras beberapa saat lalu juga menjadi salah satu kehawatiran tersendiri. Selain itu, lambannya pemerintah dalam mengantisipasi kenaikan beras tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kurang memiliki kemampuan dalam pengendalian harga. Fenomena tersebut kemudian disusul dengan kenaikan harga minyak goreng akhir-akhir ini yang juga cukup membuat masyarakat resah. Kedua kondisi yang cukup bisa melukiskan lemahnya kemampuan pemerintah dalam mengontrol harga.
Krisis memang bisa muncul dari fenomena makro seperti kurs atau indikator lainnya, namun krisis sangat mungkin muncul dari perut. Atau dari ketidak mampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya akibat harga yang melambung tinggi dan tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai. Ketidak mampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya membuat mereka rela melakukan apa saja asal perut mereka terisi. Sehingga yang terjadi adalah krisis yang dipicu oleh kerusuhan sosial.
Jogja, 15 Mei 2007