Saturday, October 15, 2011

sore di rumah buku



Rumah itu terletak di jalanan menanjak, Sebuah rumah kecil dengan beberapa sepeda motor yang parkir di halaman. Di bawah atap tertulis rumah buku, tulisannya begitu kecil. Mungkin kalau lewat dengan tergesa-gesa kau tak akan melihatnya. Entah kenapa tidak ada papan besar bertuliskan rumah buku sehingga orang yang lewat dengan tergesa-gesa pun akan melihatnya. Mungkin agar orang yang benar-benar berminat sama buku dan sangat ingin datang ke tempat ini yang singgah dirumah ini. Mungkin, saya juga tidak tahu mengapa, saya juga enggan bertanya karena suasana rumah ini begitu tenang. Bahkan tikus pun harus berbisik dirumah ini.

Namun siapa sangka kalau di dalam rumah itu tersimpan harta yang sangat berharga. Didalam rumah itu tersimpan ratusan buku, ya semua tentang buku karena rumah ini memang rumah buku. Mungkin bagi sebagian orang, buku hanyalah kumpulan kertas-kertas yang dijilid dan dibubuhkan deretan huruf yang menjelma menjadi kata-kata. Tapi buku lebih dari itu, buku itu jendela pengetahuan, Konon peradaban Islam bisa maju karena buku. Mereka melakukan proyek penerjemahan buku bangsa persia dan dilakukan dalam kurun kurang lebih 100 tahun. Dalam kurun itu juga ilmu pengetahuan berkembang. Lahirlah ilmuwan-ilmuwan islam termasyhur, Sebut saja Ibnu Sinna, Al Jabar dan lain sebagainya.

Dan rumah ini paling tidak menyimpan semangat yang sama dengan peradaban Islam yang begitu termahsyur itu, semangat mencintai buku. Disini, di dalam rumah yang disulap menjadi perpustakaan, tinggallah para buku-buku itu. Dari yang berbahasa asing sampai bahasa nasional kita. Tepat di depan rak-rak buku terdapat kursi sehingga kamu bisa mengambil buku di dalam rak yang ada dan langsung membaca didekatnya, tanpa perlu beranjak. Kalau mau suasana yang agak tenang, datanglah ke belakang rumah. Disana terdapat beberapa kursi dan hamparan rumput yang hijau. Kau bisa duduk disana dan membaca dengan tenang sambil menghirup udara segar yang dilepaskan dari daun tanaman-tanaman itu.



Dan sore itu, saya duduk di halaman belakang, membaca buku sambil sesekali melihat rumput hijau dan pohon cemara didepan saya. Benar-benar seperti dirumah, dan ketika magrib pun kau bisa mendengar adzan bersahutan, sesekali terdengar suara motor yang lewat di depan dan belakang rumah. Bahkan suara dari dapur pun terdengar, suara orang yang sedang mengiris sayuran untuk dimasak. Halaman belakang semakin gelap dan sunyi ketika kemudian kami melanjutkan perjalanan dan buku-buku itu masuk ke rumah mereka, rumah buku..

Rumah Buku..

Saturday, October 08, 2011

di pagi itu

Di pagi itu, aku mengirimkan sebuah pesan untukmu
Untuk bisa bertemu denganmu di sore itu
Sebuah pesan singkat yang hanya terdiri dari beberapa kata
Pesan yang sederhana, dengan deretan kata yang biasa diucapkan

Sampai sore ku menunggu balasan pesan itu
Dalam diam, dalam tanya yang tak ada habisnya, kenapa?
Kenapa tak kau balas pesan itu,

Mungkin kau begitu sibuk mengendalikan laju mobilmu
Mungkin pesan itu tersangkut di sebuah ranting pohon
Mungkin pengantar pesan itu mampir dulu ke rumah kekasihnya dan lupa
Lupa kalau ada pesan yang harus disampaikan

Mungkin..
Ya, semua itu mungkin,
Karena hanya Tuhan dan dirimu yang tahu kenapa..

Friday, October 07, 2011

Aku, Kamu dan kesetiaan dalam sebuah sepatu..

Aku ingin menyampaikan kepadamu sebuah cerita tentang kesetiaan,
sesuatu yang mungkin jarang kau temui dalam kehidupanmu,
atau mungkin kau tidak menyadarinya..
Ketika sebuah hubungan tak lagi personal dan menjadi sesuatu yang transaksional,
Mungkin hanya sepatu yang bisa menunjukkan kesetiaan, mengajarkan kepada kita tentang keihlasan dan kesetiaan.

Aku masih ingat ketika saat itu,kau berada di sebuah toko yang cukup besar,
Ukuranmu sangat mungil untuk ukuran toko itu,
Kau berada diantara puluhan atau bahkan ratusan pasang sebangsamu,
Berjajar rapi dalam etalase yang sengaja memperlihatkan dirimu,
Agar kau mudah tertangkap oleh mata dan diambil oleh tangan tangan mungil yang menginginkanmu.

Itulah saat dimana kau berusaha untuk memberi penampilan terbaik,
Dengan harapan memperoleh tuan yang baik,
Tuan yang menyayangimu, memakaimu dengan hati-hati, merawatmu, menjagamu.

Bulan pertama di toko itu adalah bulan terbaikmu,
Kau memperoleh tempat terdepan di toko itu,
Memperoleh kesempatan pertama untuk dipilih,
Dengan harga terbaik, meskipun semua uang yang dibayarkan bukan untukmu,

Tapi kau tetap berusaha tampil menjadi yang terbaik,
menjadi berbeda dengan yang lain,
menjadi the only one..

Ya, karena manusia ingin selalu menjadi yang pertama,
Memperoleh yang baru, mendapatkan yang bebeda dari yang lain,
Karena manusia butuh identitas,
menjadi beda itu identitas
Karena manusia memang diciptakan berbeda-beda

Seringkali mereka mendapatkan identitas mereka dari atribut fisik, seperti sepatu, baju atau yang lainnya.
Manusia sering tidak sadar kalau identitas melekat pada diri mereka,
Identitas itu ada pada perilaku mereka,
bukan pada apa yang mereka kenakan.

Manusia yang mendapatkan identitas dari atribut fisik seperti ini akan mudah bosan dengan sesuatu,
ingin selalu up to date dengan segala sesuatu,
ingin selalu yang terbaru
Mereka tidak akan berpikir kesetiaan,
tapi menjadi yang pertama,
bukan untuk menjadi yang selamanya.

Mereka berganti dari satu atribut ke atribut yang lain,
dari satu barang ke barang yang lain.
Ibarat cinta yang tak pernah usai memilih,
Selalu berganti pasangan,

Aku tak ingin bersama tuan seperti itu,
begitu ada yang baru aku akan ditinggalkan tanpa ada rasa terima kasih,
dicampakkan tanpa ada rasa kasihan.

Hingga tibalah saat itu, ketika kau memilihku,
Meski aku tidak lagi berada ditempat yang utama saat itu,
Tempatku agak dibelakang dan tertuliskan kata diskon diatasku,

Itulah diriku setelah beberapa minggu menjadi yang terdepan,
aku dipindahkan ke tempat yang agak ke belakang,
Bukan untuk dibuang, namun karena ada yang lebih baru,
Begitu juga hargaku, berganti menjadi harga baru yang lebih rendah,

Memang, seringkali kita harus merendah agar menjadi menarik,
turun harga atau diskon atau apalah istilahnya
Bukankah manusia juga begitu, harus bisa merendah,
Merendah Bukan berarti kalah, Bukan pula menyerah,
Tapi menempatkan diri sesuai dengan dirinya, tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu rendah, pas..

Begitu kamu memilihku,
aku tahu itu jalan hidupku, mungkin inilah yang disebit takdir,
aku akan dengan setia menemanimu tanpa lelah,
menjadi alas untuk kakimu yang mungil itu,
kaki yang kulitnya begitu halus,
terlalu sayang kalau dibiarkan tanpa alas kaki

jalanan yang kau lalui seringkali terjal, penuh kerikil tajam
dan aku menjaga kakimu dari kerikil yang menggores,
agar kakimu tak terluka, agar terjaga keindahannya

jalanan seringkali penuh dengan air, becek,
kadang juga dipenuhi kotoran yang tidak diinginkan
begitu juga kehidupan, penuh dengan kerikil tajam penuh dengan kotoran dan hal-hal yang tak kau inginkan

Tapi aku sudah berjanji dalam hatiku akan menjaga kakimu,
Meski dalam hujan, meski ketika air mennggenang, bahkan panas terik jalanan,
aku tak akan lepas dari kakimu

Sudah kodratnya sepatu sepertiku ini untuk dipakai tuannya,
untuk menjadi bermanfaat bagi pemiliknya, bagi pemilihnya
mungkin hanya politisi yang lupa kepada pemilihnya,
lupa tidak memberikan manfaat kepada pemilihnya yang telah mempercayainya,
atau memang benar-benar meninggalkan pemilihnya, eh, itu kan politik
padahal hidup akan menjadi berarti ketika bisa memberikan manfaat bagi orang lain, terutama orang yang memilihmu

Aku seringkali terharu, kalau manusia, mungkin aku sudah menitikkan air mata haru
karena seringkali kau terlalu sayang padaku,
Begitu hujan datang, ataupun ketika air menggenangi jalanan,
Kau melepasku dan menggantinya dengan sandal jepit lusuh itu
Karena kau tidak mau diriku terkoyak, rusak karena terkena air

Aaah, kau begitu sayang padaku,
begitu juga aku bertambah sayang padamu karena perlakuanmu itu
Beberapa temanku mengeluh karena tidak diperhatikan
Meskipun mereka sudah bekerja keras untuk melindungi kaki-kaki majikannya
Mereka rela basah terkena air, menjadi alas bagi kerikil tajam
Menjadi pelindung ketika panas maupun dingin

Tapi tuan mereka seringkali egois,
Mementingkan dirinya, kakinya, tanpa pernah merawat pelindungnya
Begitu ada kerusakan kecil atau warna kulit sepatu yang mulai memudar,
dibuanglah sepatu
Dicampakkannya dan diganti dengan yang baru

Tidak ada niatan merawat, memperbaiki ataupun menjaga
Seolah tidak ada rasa terimakasih karena kakinya telah di jaga bahkan dilindungi
Aaah, manusia seringkali egois, kecuali kamu..
ya mungkin hanya kamu yang begitu memahami sepatu..
kamu yang merawat sepatu
kamu yang masih mempercayai diriku untuk melindungi kakimu

meski aku sudah sedikit kusam dan badanku sudah mulai koyak,
tapi kau selalu mengobatiku, membawaku ke tukang reparasi itu
yang akan membuatku kembali utuh
aah, sepertinya kamu tak ingin melepasku
begitu juga aku yang tak ingin lepas darimu

mungkin inilah kesetiaan..
kesetiaan kamu dan aku yang saling menjaga dan melindungi..

Saturday, September 10, 2011

Dalam Doaku

Aku hanya ingin menyapamu malam ini, ya malam ini

Aku hanya ingin memejamkan mataku cepat-cepat, agar bisa bangun lebih cepat

Untuk kemudian duduk bersimpuh di dalam gelap dalam sepertiga malam ini, ketika semua sudah terlelap,

Dengan menengadahkan tanganku kumemohon, berdoa untuk kebaikan dan kebahagiaanmu kelak

Agar tak ada lagi air mata kesedihan yang tumpah dan mengalir melewati wajahmu

Agar tak ada lagi kegelisahan tak berkesesudahan yang menelusup ke dalam hatimu

Bukankah sepertiga malam terakhir adalah waktu yang mustajab? Waktu yang diutamakan untuk berdoa

Seperti halnya waktu antara dua khutbah dalam sholat jumat, tak pernah ku lupa mendoakanmu

Begitu juga waktu kosong diantara adzan dan iqomah dikumandangkan, konon itulah saat-saat mustajab

Pada saat seperti itu ku selalu menyempatkan diri berdoa, dan menyelipkan namamu dalam doa, memohon untuk kebaikanmu,

Mungkin memang hanya dalam doa-doa itu aku bisa menyapamu, menyebut namamu dengan lirih,

Tak pernah ku berteriak dalam doaku, bukan karena ku tak ingin mereka tau kalau aku selalu mendoakanmu, namun karena Tuhan itu Maha Mendengar

Ya, Tuhan itu Maha Mendengar, Tuhan selalu akan mendengar keluh kesah umatNya, harapan-harapan umatNya

Tuhan itu juga Maha Pemurah dan Maha Penyayang, karena itulah aku memohon dan memohon kepadaNya

Tuhan itu juga Maha Bijaksana, karena itulah aku memohon yang kebaikan yang terbaik, karena Tuhan tahu yang terbaik bagi umatNya

Tapi kalau kau tanya alasan sebenarnya kenapa aku tak pernah putus mendoakanmu, karena aku begitu mencintaimu, ya hanya karena itu, mencintaimu..

Dan aku tak pernah kecewa telah mencintaimu, bukankah cinta itu anugerah terbesar bagi manusia?

Pernahkan kau membayangkan betapa keringnya dunia tanpa cinta, tanpa rasa? Hampa! Seperti ruang angkasa yang kosong dan sunyi tanpa udara..

Friday, September 02, 2011

Menulis itu kayak Pup

Kalau meniru kata syahrini, keyboard itu adalah 'sesuatu'. Ada perasaan lain ketika menuliskan sebuah kata dengan menggunakan keyboard, suaranya dan ketukannya. Berbeda dengan ketika menulis menggunakan tablet, serasa ada yang kurang, ada yang hilang. Dan entah kenapa itu berpengaruh pada ide tulisan yang agak tesendat, seperti aliran sungai yang dipenuhi sampah, mengalir lambat.



Mungkin suara dan tekanan pada keyboard memberikan stimulus pada otak untuk bisa mengeluarkan celotehan seperti air bah yang mengalir deras menerjang semua yang menghadang dan menghempaskan apa yang menahan. Sementara tablet ini justru menahan, ngampet, kayak lagi kebelet tapi gak juga nemu toilet yang pas, toilet yang nyaman. Ya, bahkan buang air besar pun juga butuh toilet yang nyaman, kalau tidak nyaman, mungkin itu kotoran susah keluar. Begitu juga celotehan, kalau tidak menemukan media yang nyaman mungkin tidak akan keluar.

Mungkin ini analogi yang pas, menulis itu seperti buang air besar, kalau udah kebelet susah ditahan, tapi juga perlu tempat dan waktu yang pas. Pup di toilet rumah sendiri seperti apapun bentuk toiletnya pasti lebih nyaman, begitu juga dengan menulis. *(Saya pakai kata pup biar lebih ringkas). Menulis dirumah sendiri memakai komputer sendiri tentu lebih nyaman dibandingkan dengan meminjam komputer atau tablet orang. Dan pup waktu pagi tentu lebih mengasyikkan dibanding di siang bolong ketika suasana sudah berisik dan kulit mulai bersisik. Menulis juga begitu, waktu pagi lebih enak buat menulis, tenang dan menenangkan. Pup itu perlu rasa tenang, begitu juga menulis dan suasana rumah dipagi hari memberikan keduanya.



Ada banyak tingkah ketika orang-orang sedang pup, begitu juga ketika menulis. Ada yang bisa pup atau merasa lebih nyaman ketika pup sambil merokok. Ada yang pup sambil bernyanyi, ada juga yang lebih nyaman kalau pup sambil mengidupkan keran air biar gak kedengeran. Begitu juga menulis, konon lebih enak sambil merokok dan minum kopi, saya bukan perokok jadi gak tahu nikmatnya. Kalau menulis sambil minum kopi itu rasanya benar-benar Juara! Top markotop!

Bentuk closet juga menentukan, bagi saya closet jongkok itu sesuatu, jauh lebih enak dibanding closet duduk, apalagi closet duduk yg otomatis, pake sensor, merepotkan. Beberapa orang, saking fanatiknya bahkan jongkok diatas closet duduk, sampai ada tulisan di belakang closet duduk, "dilarang jongkok diatas closet duduk". Kalau dianalogikan komputer, tablet itu keren, lebih canggih, tapi menurut saya lebih nikmat menulis menggunakan keyboard di PC atau Laptop, ada keasyikan tersendiri disana yang tidak tergantikan oleh tablet!

Jadi yang namanya pup itu ya jongkok, itu kenapa pup sering disebut jongkok, dan mengetik tulisan itu ya di keyboard, klo di layar itu serasa kurang pas. Kayak pup di closet duduk yang serasa kurang nyaman dan susah keluar, ngetik dilayar itu kurang pas dan itu bikin ide susah keluar..

Itu sedikit kekatrokan saya, sampai bertemu lagi dengan ke katrokan yg lain...

Saturday, August 13, 2011

Pulang



Ini adalah kesekian kalinya saya melakukan ritual pulang, setelah beberapa bulan lalu saya juga mendadak pulang dari surabaya setelah mendapat kabar bahwa ibu saya dirawat di rumah sakit. Dan kemaren saya pulang setelah menempuh perjalanan seharian melintas beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebuah perjalanan yang kemudian berakhir dengan kata Pulang. Kata yang menurut saya memiliki daya tarik tersendiri, teutama jika mendengar lagu 'Pulang' yang dinyanyikan Andien, sebuah lagu yang kemudian akan mengingatkan kita untuk pulang . Lagu lain yang selalu mengingatkan saya untuk pulang tentu saja adalah lagu KLA Yogyakarta, lagu yang bikin galau, lagu yang membuat selalu ingin ke Jogja .

Keinginan pulang sebenarnya sudah sejak sebelum puasa, biasanya awal puasa saya selalu, menyempatkan diri untuk pulang, untuk tarawih malama pertama, berbuka di hari pertama atau sahur pertama di rumah. Entah kenapa saya selalu punya keinginan untuk itu, Puasa selalu memunculkan kenangan tersendiri, terutama di sebuah kota kecil bernama Kotagede. Kota cikal bakal berdirinya Yogyakarta, tempat berdirinya kerajaan mataram islam, sebelum kemudian pindah ke Pleret dan ke tempat saat ini berada. Di Kota kecil ini, puasa selalu dirayakan dengan meriah, setiap pagi sehabis sholat subuh, banyak anak muda yang berjalan pagi berkeliling Kotagede sambil lirik kanan kiri siapa tau bertemu jodoh. beberapa diantaranya yang lebih akstrem adalah adu mercon, lempar-lemparan mercon dan saingan gede-gedean mercon. Begitu juga ketika sore menjelang berbuka dan malam sehabis taraweh juga ramai anak-anak bermain, sebagian yang lain tadarus dan sebagian yang lain mempersiapkan untuk Takbiran.

Mungkin inilah yang disebut mestakung, semesta mendukung, ketika ingin pulang dan mendadak saya disuruh keluar kota yang dekat dengan jogja, pulanglah saya. Perjalanan pun dimulai, ke Surakarta, tempat dimana Salah satu organisasi modern di indonesia pertama berdiri, Serikat Dagang Islam. Sebuah organisasi dagang yang bermula dari para pedagang batik laweyan. Organisasi ini sempat akan dibubarkan dan kemudian para pengurusnya meminta tolong kepada Raden Tirtoadisoerjo yang oleh Pramoedya disebut sebagai perintis pers Indonesia. Tentang hal itu tertulis dalam buku "Zaman Bergerak" karya Takeshi Siraishi. Saya tidak melewatkan untuk mampir ke rumah sepupu saya yang tinggal di Laweyan, sebuah keluarga kecil sederhana yang bahagia, salah satu anaknya mendapat beasiswa di S1 Singapore dan 2 orang anak yang lain mengenyam pendidikan STAN, ketiga anak yang lain menempuh jalur akselerasi, cerdas!

Akhirnya perjalanan yang dinanti pun tiba, saya menaiki kerta prameks dengan diantar suami sepupu saya ke setasiun Purwosari. Sepi, agak gelap ketika saya memasuki setasiun purwosari dan tepat pada saat itu kereta pun berangkat menuju Jogja. Tepat waktu, penumpang datang dan pergi di setiap setasiun dan saya masih asyik menikmati perjalanan sebelum akhirnya sampai di setasiun Tugu. Jogja! Berbeda dengan perjalanan menaiki pesawat, perjalanan kereta untuk pulang membawa sensasi tersendiri, sendu, mengharu sekaligus mengasyikkan.

Hidup adalah serangkaian kejutan-kejutan yang menakjubkan menurut saya, karena saya tidak menyangka akan kembali ke Jogja sebelum mudik lebaran, dan ternyata kenyataan berkata lain, saya pun Pulang! Bertemu Ibu, berbuka bersama, sahur bersama dan menyempatkan menengok makam Ayah yang terletak di kuburan samping rumah. Alhamdulillah....

Thursday, August 04, 2011

Menuliskan Indonesia (part 2)

Mari kita beranjak ke Pulau Jawa, yang dulu terkenal dengan sebutan Moi Indie…

Banten sebuah Kota Tua yang baru menjadi provinsi baru memisahkan diri dari Jawa Barat. Selain bandaranya yang saya ingat adalah pantai Anyer yang menorehkan sejarah tempat dimulainya proyek jalan pos Daendels yang dimulai dari anyer hingga panaroekan. Selain itu juga pantai tanjung lesung yang cukup menarik dan sangat jauh menurut saya. Masih banyak lagi tempat di banten yang belum saya explore dan yang paling sering adalah Bandar Udara Soekarno Hatta yang cukup ramai itu.



Jakarta, ahaa! Akhirnya sampai dikota ini, kota dimana kemeriahan, keresahan, kesumpekan dan segala hingar binger tumplek blek bersama kurang lebih 8 juta orang penghuninya setiap hari. Hasilnya adalah kemacetan akut yang datang tak diantar dan pulang tak dijemput, kemacetan yang secara rutin menyapa Jakarta setiap hari. Banyak tempat menarik, begitu juga kenangan tertumpah disini. Mulai dari utara, menjelajah kota tua yang dimulai dari pelabuhan Sunda Kelapa, Museum Fatahillah, Stasiun Beos. Ke selatan menuju Monas, mulai memasuki jantung kota jakarta, dan berakhir di Ragunan, tempat yang belum pernah saya kunjungi.

Jawa Barat, yang berpusat di Paris van Java, kota yang semula dirancang menjadi sebuah Ibukota dan akhirnya menjadi kota pelancongan, kota belanja karena banyaknya FO dan Distro disini. Konon Tuhan tersenyum ketika menciptakan mojang bandung yang geulis. Makanan yang enak juga banyak disana meskipun kemacetannya kadang membuat kita untuk enggan berkunjung kembali. Sebuah kota dengan tatakota yang semula ciamik menjadi semrawut oleh kemacetan dan banjir dikala hujan. Agak keluar, menyusuri Majalaya yang dulu pernah menjadi sentra tekstil utama di Indonesia dan meredup pamornya saat ini. Begitu juga dengan cibaduyut yang mulai hanyut oleh arus masa, mulai tenggelam. Belum lagi jika berbicara tentang Bogor yang merupakan tempat berdirinya kebun raya Bogor yang pada masanya (VOC) menjadi pusat riset botani sebagai tempat karantina tanaman dari luar negeri sebelum dikembangkan ke seantero negeri. Masih ada juga kota Cirebon yang terkenal akan motif batik mega mendung (CMIIW) dan bangunan keratin yang masih ada hingga saat ini.



Jawa Tengah, Semarang kota pelabuhan yang merupakan awal mula sejarah perkereta apian di Indonesia, agak keselatan terdapat museum kereta, tepatnya di Ambarawa. Di tengah kota terdapat bangunan besar bekas kantor kereta api yang dikenal dengan Lawang Sewu. Kota ini langganan terkena banjir air laut, dibeberapa tempat masyarakat meninggikan bangunan mereka agar tak terendam. Ada kawasan kota tua dan kawasan pecinan yang memiliki peninggalan arsitektur yang cukup menarik dan kuliner yang mak nyus. Kalau mencari makanan malam yang enak nongkrong aja di seputaran simpang lima, yang paling saya suka adalah pecel. Makanan lain favorit saya di sekitar semarang adalah kelo merica (sop ikan) di warung makan sederhana dekat alun-alun juwana, 2-3 jam perjalanan dari semarang. Untuk menikmati kopi bisa ke Banaran coffe, 1-2 jam perjalanan dari Semarang ke arah Salatiga.




Yogyakarta, kota dimana saya selalu berkeinginan untuk kembali suatu saat nanti, the placa where our heart belong together, mungkin begitu kata sekumpulan orang jogja di perantauan. Saya gak akan banyak cerita disini. Kampong saya Kotagede, cikal bakal kerajaan mataram islam yang masih bertahan sampai sekarang setelah berpindah tempat beberapa kali. Kota yang cukuo kecil dimulai dari ujung utara adalah Merapi yang sering batuk dan diujung selatan adalah pantai parangtritis yang cukup sakral, dan tepat ditengahnya adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.



Jawa Timur, kota besar kedua setelah jakarta ada di Surabaya jantungnya jawa timur. Sebuah provinsi yang memiliki logat khas Jawa timuran, saya sangat menikmati logat mereka. Orangnya luagas, terbuka dan asik, pandai melucu, sebut saja Srimulat dan Kartolo yang berasal dari jawa timur yang cukup melegenda bagi comedian Indonesia. Makanannya cukup beragam dan enak-enak, meskipun saya belum begitu banyak tahu, favoritnya adalah sambal bu rudy yang pedasnya naudzubillah. Sampai saat ini kalau lewat kawasan porong hanya bisa ikut berbelasungkawa atas musibah lumpur yang menimpa mereka. Beberapa kota lain yang menarik adalah malang yang terakhir kesana ketika saya masih kecil. Atau kota Madiun yang memiliki makanan khas pecel dan terkenal namanya karena peristiwa PKI. Begitu juga dengan Pacitan kota diujung perbatasan dengan jawa tengah yang terkenal karena tempat kelahiran SBY.

Melompat dikit, menyebrang dan kita akan menemukan keindahan lain…

Bali…!!!

Wednesday, August 03, 2011

Menuliskan Indonesia

Saya hanya ingin sedikit menulis tentang Indonesia, sebuah negara kepualauan yang sangat indah, sangat menarik, terutama dengan keanekaragamannya. Ini hanya sebuah catatan kecil tentang daerah-daerah yang pernah saya kunjungi di Indonesia, mulai dari Pulau Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan terakhir Maluku Utara. Sebuah catatan tentang kopi, makanan, tempat yang layak dikunjungi, bangunannya, alamnya dan manusianya. Ini hanya sebuah tulisan pengantar dari tulisan berseri yang akan bercerita tentang masing-masing provinsi secara lebih panjang. Sebuah ungkapan rasa syukur bahwa saya cukup beruntung untuk menjelajah Indonesia.

Aceh adalah daerah paling ujung yang pernah saya kunjungi, menempuh perjalanan 2,5 jam dari jakarta. Dengan hukum agama yang kuat, bahkan ada razia jilbab dalam waktu tertentu. Masyarakatnya punya budaya nongkrong di warung kopi dan kopi nya memang enak, kopi ulee kareng.



Medan adalah daerah kedua diujung barat setelah Aceh, kota besar ketiga setelah Jakarta dan Surabaya (mungkin), kebesaran kota ini terlihat dari bangunan-bangunan tua yang berdiri megah dan kegiatan kota di malam hari yang begitu semarak. Masyarakat di sini cenderung terbuka dan berkata apa adanya. Hampir sama dengan aceh, banyak warung kopi bertebaran disini, yang terkenal di Sumatera Utara adalah kopi kok-tong sidikalang.



Riau sebuah kota yang ramai, tapi kurang begitu greget menurut saya, karena saya kurang menemukan suatu yang khas disini. Entah mengapa saya tidak menangkap sesuatu yang menarik di kota ini, apa karena saya kurang menjelajah kota ini atau mungkin saya yang benar-benar gagal paham terhadap kota ini. Yang enak, es duriannya mungkin, ah saya mungkin sesekali perlu menjelajahi kehidupan malamnya, ups.

Sumatera Barat, nah kalau ini cukup saya menjelajah sampai ke Bukit Tinggi, Lembah Harau, Kelok 44, Danau Singkarak, Ngarai Sianok dan masih banyak lagi. Alamnya aduhai, dengan kontur pegunungan dan masih ditumbuhi pepohonan yang rindang. Namun jangan harap akan menemukan warung nasi padang dengan leluasa disini meskipun ada warung sederhana, karena disini namanya nasi kapau. Makanan yang terkenal lainnya adalah keripik balado, sate padang, jus pinang yang katanya baik untuk vitalitas dan kain songketnya alamaak, begitu indahnya.

Kalimantan Barat, Pontianak, sebuah ibukota yang cuman sebentar saya singgahi sebelum kemudian melanjutkan perjalanan ke Singkawang, kota seribu kuil. Perjalanan 3 jam dengan travel yang cukup menarik sepertinya karena saya tertidur sepanjang perjalanan. Yang terkenal konon adalah kopi pangku, minum kopi dengan dipangku amoy. Ah saya gak berani mencoba. Kotanya kecil, sepi dan rapi, sebuah kota china tua yang ramai kalau perayaan cap go meh.

Kalimantan Timur, kota yang cukup ramai dan maju adalah Balikpapan, dengan Kepiting Dandito dan Kepiting Tarakan yang super duper yummy dan sempat membuat saya mual-mual dan ketinggalan pesawat, gak lagi deh. Ibukotanya terletak di Samarinda, 3 jam perjalanan dari Balikpapan, sebuah kota di tepi sungai Mahakam. Sempat melancong ke Tenggarong, museum kerajaan dan pulau ditengah Sungai yang sebenarnya menjadi arena rekreasi tapi menjadi sepi. Di Samarinda yang agak unik sebenarnya adalah telur penyu rebus, tapi saya tak mencobanya.



Ngantuk juga saya.. lanjut besok..

Saturday, June 04, 2011

Kampung(an) Jakarta

Seringkali kita malu kalau dibilang anak kampung atau dikatakan kampungan, mungkin hanya Slank saja yang berani memposisikan diri mereka dengan kata kampungan, sebuah kata yang sering di identikkan dengan urakan, terbelakang, gak mau tahu aturan dll. Saya tidak akan ngemeng tentang definisi kampung disini, tapi yang jelas kampung adalah tempat kita hidup bermasyarakat sehari-hari, terutama bagi kelas menengah kebawah di perkotaan, tentu saja termasuk Jakarta. Ya, Jakarta adalah kampung raksasa, identitas yang dilupakan saat ini. Kalau tidak percaya, coba saja naik ke salah satu gedung bertingkat di Jakarta dan tengoklah sekeliling, pasti akan melihat rumah-rumah berdesak-desakan yang kalau kita lihat secara lebih dekat akan menemukan jalan berliku, berkelok-kelok laiknya labyrinth.

Anehnya, selama saya tinggal di perkampungan di Jakarta, saya belum melihat program pemerintah Provinsi/Kota Jakarta untuk membangun kampung, sesuatu yang akan dengan mudah ditemukan di kota Yogyakarta. Paling tidak yang terlihat adalah adanya tamanisasi di kampung-kampung kota Yogyakarta, jadi masing-masing kampung memeroleh sejumlah anggaran tertentu untuk memperbaiki taman kampong. Kemudian ada lagi program biopori dan pembuatan sumur resapan di jalan-jalan kampung untuk menampung limpahan air hujan agar jalanan tidak banjir tentunya. Hal ini dikarenakan di jalan-jalan kampong jarang ditemui got/saluran air kecil. Selain itu juga untuk menambah debit air tanah yang semakin turun kualitas dan kuantitasnya. Ada juga program pemilahan sampah dan pengolahan sampah organik bagi warga kampung, karena semakin banyak sampah yang dihasilkan masyarakat dan ada kemungkinan akan ditutupnya TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sampah Kota Yogyakarta yang selama ini berada di Kabupaten Bantul.

Dulu, pada masa Ali Sadikin konon ada program untuk memperbaiki perkampungan Jakarta, programnya sederhana, memperbaiki got/saluran pembuangan air di kampung-kampung. Warga-pun menyambut baik program itu dan sangat berterimakasih kepada pemerintah karena sangat perhatian. Sekarang, yang pernah saya lihat adalah perbaikan/pengecoran jalan kampung, hanya untuk memperhalus jalan. Selain itu saya tidak melihat program lain untuk kampung, mungkin saya yang memang kurang gaul dengan pak RT jadi kagak tau program pembangunan perkampungan Jakarta. Atau mungkin saya terlalu banyak main di kawasan menteng jadi tahu-nya Jakarta itu terdiri dari taman-taman kota yang asri, jalanan yang di tengahnya ada jalur hijau dengan bunga-bunga yang bermekaran.

Tapi bagaimanapun juga, Jakarta ke depan tentu masih akan berhadapan dengan berbagai masalah, salah satunya banjir. Pertanyannya adalah bagaimana mengurangi hal tersebut, dimulai dari perkampungan. Kenapa kampung? karena hampir semua rumah di jakarta membuang limbah air dan juga limpahan air hujan ke got-got atau bahkan jalan kampung yang kemudian bermuara di sungai atau membanjiri jalan raya. Sementara untuk gedung bertingkat atau perumahan elit, mereka sudah lebih tertata system sanitasinya. Bagaimana solusinya? Apakah dengan membangun sumur resapan di kampong-kampung agar limpahan air hujan tidak mengalir ke jalanan atau mengumpul di daerah tertentu yang berakibat bajir? Ataukah dengan memperbaiki got-got yang ada, memperlebar dan memperdalam dari tahun ke tahun sehingga ada proyek perbaikan got tiap tahun? Sebagaimana proyek mengatasi kemacetan dengan membangun jalan baru, absurd memang. Tapi itulah Jakarta kita, sebuah daerah/wilayah yang gak mau disebut kampung tapi kampungan.

Belum lagi kita berbicara tentang sampah dan kemacetan? Ah, sudahlah saya mau tidur dulu..

RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta, 23:40