“Tuntutlah Ilmu Hingga Ke Negeri China”
Hadits Nabi Muhammad S.A.W.
Kemajuan perekonomian China menjadi menarik karena menjadi contoh sukses campur tangan pemerintah dalam memajukan perekonomian. Hal ini bertolak belakang dengan India yang mengalami kemajuan ekonomi karena lebih didorong oleh keinginan masyarakatnya untuk lepas dari keterbelakangan dan kemiskinan. Telah banyak kajian mengenai keberhasilan pembangunan China dari sisi pertanian dan Industri, namun kajian sektor keuangan China masih jarang ditemukan di Indonesia. Tulisan ini akan berusaha untuk sedikit bercerita mengenai sektor keuangan China.
Dominansi Negara dalam Sektor Keuangan
Ciri utama dari sektor keuangan China adalah campur tangan negara yang cukup besar. Sektor perbankan domestik China, 60-70% dikuasai oleh empat State-own Banks (SOBs). Pada akhir tahun 2001, keempat bank tersebut menguasai 62% dari total tabungan dan kredit usaha, selain itu juga menguasai 80% dari total transaksi bisnis. Padahal kredit perbankan merupakan sumber pembiayaan utama bagi perusahaan-perusahaan China. Pada tahun 1998, kredit bank merepresentasikan 70% dari total pembiayaan. Lebih dari 80 bank komersial perkotaan hanya memiliki porsi 4% dari total bisnis perbankan dalam negeri. Koperasi Kredit Pedesaan yang berjumah 3,200 hanya menguasai 5% dari bisnis perbankan dalam negeri.
Empat bank tersebut adalah The Bank of China, yang bertanggung jawab terhadap aktivitas pertukaran mata uang asing dan pembiayaan ekspor-impor. The Industrial and Commercial Bank of China, yang berspesialisasi dalam pembiayaan bagi sektor industri. The China Construction Bank, secara tradisional fokus pada pembiayaan pembangunan infrastruktur. The Agricultural Bank of China, secara tradisional fokus pada kredit sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Keempat Bank tersebut memiliki misi pembangunannya masing-masing secara spesifik. Dibawah bimbingan negara, SOBs menyalurkan sebagian besar dananya kepada State Owned Enterprises (SOEs) melalui kebijakan kredit murah dengan tingkat bunga dibawah pasar.
Campur tangan pemerintah juga mencakup bagaimana mengurangi ketimpangan regional melalui sektor keuangan. Hal ini dilakukan dengan menarik pajak secara implisit bagi daerah kaya dan mensubsidi daerah yang miskin. Mekanismenya adalah dengan memberikan skema kredit khusus bagi daerah miskin.
Represi Finansial
Besarnya campur tangan pemerintah dalam perekonomian negara sedang berkembang oleh McKinnon disebut dengan istilah financial repression (represi finansial). represi finansial merupakan pembiasan dari tujuan penerapan kebijakan restriktif terhadap sektor keuangan. Instrumen yang digunakan untuk menerapkan kebijakan restriktif adalah dengan mengalokasikan kredit secara selektif dan sektoral. Kebijakan ini ditentang secara frontal oleh kaum liberalis, diantaranya adalah McKinnon dan Shaw.
Secara umum menurut McKinnon-Shaw, penetapan tingkat suku bunga akan mendistorsi pembangunan ekonomi melalui tiga cara. Pertama, tingkat suku bunga yang dipatok rendah akan mendorong konsumen memilih konsumsi sekarang daripada konsumsi akan datang. Sehingga tingkat tabungan menurun dibawah tingkat optimum. Kedua, pemilik modal lebih memilih menanamkan modalnya pada investasi langsung dengan return lebih tinggi daripada mendepositokannya di bank. Hal ini mengakibatkan lending capacity sektor perbankan menjadi rendah.
Ketiga, investor dapat memperoleh dana dengan tingkat suku bunga rendah melalui kredit perbankan. Akibatnya investor akan cenderung memilih proyek-proyek padat modal. Bagi negara berkembang, proyek-proyek padat modal merupakan pemborosan devisa karena tidak memperluas lapangan pekerjaan. Selain itu output yang dihasilkan tidak memiliki keunggulan komparatif, sehingga tidak kompetitif di pasar global.
Diktum McKinnon-Shaw itulah yang menjadi inspirasi bagi terjadinya liberalisasi finansial di beberapa negara sedang berkembang, termasuk Indonesia pada tahun 80-an. Secara umum liberalisasi tersebut terdiri atas, liberalisasi harga (khususnya suku bunga deposito), liberalisasi produk (ragam jasa yang ditawarkan) dan liberalisasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang)
Di beberapa negara, liberalisasi yang bertujuan meningkatkan efisiensi struktur industri perbankan tersebut justru memunculkan fenomena financial crash. Suatu kondisi dimana konglomerat yang menguasai bisnis perbankan memiliki hutang yang jauh lebih tinggi dibanding grup atau perusahaan yang tidak mempunyai bank sendiri. Hutang tersebut banyak diperoleh dari pasar uang internasional yang mengandung resiko tinggi. Sehingga ketika bisnis perbankan dilanda collapse, hutang menjadi tidak terbayarkan. Maka terjadilah financial crash dan penjadwalan hutang luar negeri.
Kasus China; Sebuah Pengecualian?
Apakah restriksi dalam sektor keuangan China mendistorsi pembangunan ekonomi China sebagaimana pernyataan kaum liberal? Data menunjukkan bahwa rasio M2 terhadap GDP (financial depth) China cukup tinggi. Pada tahun 1978 nilainya sebesar 24%, kemudian pada tahun 2004 menjadi sebesar 182%. Rasio tersebut meningkat 30% pada periode 1994-1999 dan 50% pada periode 1999-2004. Tingkat Trend rasio M2 yang tinggi sepanjang waktu menunjukkan bahwa pembangunan sektor keuangan China bisa dikatakan cukup sukses dan kuat. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu tingginya tingkat monetisasi dan tingkat tabungan masyarakat. Tingkat tabungan masyarakat China bahkan melebihi Jepang, Korea Selatan dan India (F. Allen, J. Qian dan M. Qian, 2006).
Pinjaman bank-bank komersial terhadap perusahaan dan rumah tangga China sebagai persentase GDP mencapai angka 124%. Angka tersebut dua kali lebih besar dari AS (70%). Sehingga bisa disimpulkan sektor perbankan china telah beralih dari transaction-related operations (aktivitas jangka pendek) ke sistem transaksi jangka panjang. Selain itu ada kecenderungan pengalihan dari pembiayaan pemerintah (dalam hal pembiayaan investasi) kepada pinjaman domestik. Pada tahun 1981, anggaran pemerintah membiayai 28.1% dari total fixed asset investment, sedangkan share dari pinjaman domestik hanya 12.7%. pada tahun 2001, anggaran pemerintah sudah tidak begitu signifikan, sedangkan pinjaman menjadi sumber pembiayaan utama.
Output industri China bisa dikatakan sangat kompetitif di tingkat global. Hal ini terlihat dari membanjirnya produk China ke seluruh dunia dengan harga murah dan kualitas cukup baik. Produk tersebut pada umumnya merupakan produk padat karya. Bukan hanya itu saja, banyak perusahaan China yang telah mengglobal, salah satunya adalah Lenovo yang sukses mengakuisisi IBM-PC, ikon komputer Amerika (Gatra, 2006). Berbagai kondisi diatas menunjukkan bahwa sektor keuangan China yang cenderung restriktif ternyata tidak mendistorsi pembangunan ekonomi China.
Kesimpulan
Meskipun campur tangan negara dalam perekonomian cukup besar, namun Financial depth di China telah mencapai level yang cukup tinggi bahkan melampaui negara maju. Selain itu intermediasi perbankan juga menunjukkan performa cukup baik. Kondisi tersebut menjukkan bahwa China terhindar dari efek negatif represi finansial, bahkan kebijaksanaan represi keuangan China bisa dikatakan berhasil dengan baik. Lebih jauh lagi Maswana (2005) menyatakan bahwa sistem keuangan China tidak bisa dianalisis dengan menggunakan market-based standards, hal ini dikarenakan pembangunan sistem keuangan China tidak mengacu pada standar negara industri maju.
Salah satu kunci sukses sektor keuangan china dalam mendukung pembangunan ekonomi adalah alokasi kredit secara sektoral (He, 2006). Kunci sukses lainnya adalah dengan melaksanakan liberalisasi keuangan di daerah kaya dan memberikan insentif kredit (represi finansial) di daerah yang miskin. Penerapan mekanisme partial convertibility mata uang renmimbi juga merupakan salah satu kunci sukses China. Sistem tersebut terbukti tahan terhadap krisis keuangan yang melanda Asia beberapa tahun silam.
Referensi:
Allen, Franklin, Jun Qian and Meijun Qian, Comparing China’s Financial System, September 2002.
_____, China’s Financial System: Past, Present, and Future, April 2006.
He, Qichun., Gradual Financial Reform, Sectoral Allocation of Credit, and Economic Growth: Evidence from China, Job Market Paper, October 2006
Maswana, Jean-Claude, Reconciling the Chinese Financial Development with its Economic Growth: A Discursive Essay, Working Paper N0. 78, Graduate School of Economics, Kyoto University, Japan March 2005
Permono, Iswardono S., dan Mudrajad Kuncoro, Kebijaksanaan Moneter: Dari “Financial Crash” hingga Bahaya “Financial Repression”, JEBI.
Sang Naga Sang Adikuasa, Laporan Utama Gatra, Majalah Gatra No.51, Thn XII, 8 Nopember 2006.
Sutikno, Pengaruh Kebijakan Liberalisasi Sektor Keuangan Dan Pembangunan Sektor Keuangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia (Periode 1970:1-1997:4), Skripsi Sarjana, FE-UGM, Tidak dipublikasikan, 2002
Artikel yang sama dengan Judul sedikit berbeda bisa dibaca dalam Majalah Equilibrium, Nomor 8/TH XXXIX/2007.
.
Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi, FE-UGM. Email : antasariputra@gmail.com