Friday, March 23, 2012

“Suara dari Seorang Ibu yang Mencinta”


Potongan Percakapan Minke dan Ibu Kandungnya dalam Tetralogi Toer; "Jejak Langkah"



“Sekarang aku mengerti kenapa hidupmu begitu tidak berbahagia, Nak. Kesalahanmu sendiri, tingkah lakumu sendiri”

“Asal kau tahu, itu yang kuhadapi sekarang. Seakarang ini. Asal kau tahu, itu yang membikin kau jadi sengsara seperti ini. Ah, anakku, kan sudah berkali-kali kukatakan: belajarlah berterimakasih, belajarlah bersyukur, anakku. Kau, kau, berlatihlah mulai sekarang, Nak, berterima kasihlah, bersyukur pada segala apa yang ada padamu, yang kau dapatkan dank au dapat berikan. Impian takkan habis-habisnya. Belajarlah berterimakasih, bersyukur, sedang kiamat masih jauh.”

“Kalau kau sudah dengar semua kataku, bangunlah. Kalau tidak, tetaplah bersujud di bawah kakiku, biar aku ulangi.”

“Sahaya sudah dengar semua, Bunda, Setiap patah takkan terlupakan, Sudahkan sahaya bunda ampuni?”

“Seorang ibu selalu mengampuni anaknya, biarpun anak itu seperti kau, yang baru pandai membangun kesengsaraan untuk dirinya sendiri. Aku datang terpanggil oleh kesengsaraanmu, Nak. Surat-suratku tak ada yang kau balas selama ini”

“Ampuni sahaya, Bunda”

“Kau selalu Kuampuni tanpa kau pinta pun, Nak. Kau selamanya membutuhkan ampun.”

“Bunda, ah, Bundaku sendiri…”

“Begini dekat aku, Nak, ka uterus juga memanggil-manggil. Di kejauhan kau tak pernah dengarkan pekikanku.”

“Ampun, Bunda.”

Aku sadari diri sedang tersedu-sedan dan mata basah. Aku seka mataku dengan setangan….

“Engkau tidak segesit dulu lagi, Nak. Kau banyak melamun, tak dengarkan kata-kataku. Carilah Istri, seorang gadis Jawa sejati, biar ada yang meringankan penderitaanmu. Jangan pikirkan yang sudah-sudah. Apa kau kira tak bakal laku?”

“Pulanglah kau nanti kalau liburan, pilihlah gadis mana saja yang kau sukai.”

“Jadi kau pulang pada liburan mendatang? Atau aku jemput?”

“Tidak perlu dijemput, Bunda. Sahaya akan usahakan.”

“Tidakkah kau menyayangi Bundamu ini?”

“Tak ada orang lain yang lebih sahaya sayangi Bunda.”

“Kau bicara dengan bibirmu atau hatimu?”

“Dua-duanya, Bunda.”

Suaranya yang lemah lembut menderu menyambarnyambar, lebih perkasa dari petirnya para dewa, lebih ampuh dari mantra semua dukun, suara dari seorang ibu yang mencinta...

Toer, P.A., Jejak Langkah, p 74-82