Saturday, October 15, 2011

sore di rumah buku



Rumah itu terletak di jalanan menanjak, Sebuah rumah kecil dengan beberapa sepeda motor yang parkir di halaman. Di bawah atap tertulis rumah buku, tulisannya begitu kecil. Mungkin kalau lewat dengan tergesa-gesa kau tak akan melihatnya. Entah kenapa tidak ada papan besar bertuliskan rumah buku sehingga orang yang lewat dengan tergesa-gesa pun akan melihatnya. Mungkin agar orang yang benar-benar berminat sama buku dan sangat ingin datang ke tempat ini yang singgah dirumah ini. Mungkin, saya juga tidak tahu mengapa, saya juga enggan bertanya karena suasana rumah ini begitu tenang. Bahkan tikus pun harus berbisik dirumah ini.

Namun siapa sangka kalau di dalam rumah itu tersimpan harta yang sangat berharga. Didalam rumah itu tersimpan ratusan buku, ya semua tentang buku karena rumah ini memang rumah buku. Mungkin bagi sebagian orang, buku hanyalah kumpulan kertas-kertas yang dijilid dan dibubuhkan deretan huruf yang menjelma menjadi kata-kata. Tapi buku lebih dari itu, buku itu jendela pengetahuan, Konon peradaban Islam bisa maju karena buku. Mereka melakukan proyek penerjemahan buku bangsa persia dan dilakukan dalam kurun kurang lebih 100 tahun. Dalam kurun itu juga ilmu pengetahuan berkembang. Lahirlah ilmuwan-ilmuwan islam termasyhur, Sebut saja Ibnu Sinna, Al Jabar dan lain sebagainya.

Dan rumah ini paling tidak menyimpan semangat yang sama dengan peradaban Islam yang begitu termahsyur itu, semangat mencintai buku. Disini, di dalam rumah yang disulap menjadi perpustakaan, tinggallah para buku-buku itu. Dari yang berbahasa asing sampai bahasa nasional kita. Tepat di depan rak-rak buku terdapat kursi sehingga kamu bisa mengambil buku di dalam rak yang ada dan langsung membaca didekatnya, tanpa perlu beranjak. Kalau mau suasana yang agak tenang, datanglah ke belakang rumah. Disana terdapat beberapa kursi dan hamparan rumput yang hijau. Kau bisa duduk disana dan membaca dengan tenang sambil menghirup udara segar yang dilepaskan dari daun tanaman-tanaman itu.



Dan sore itu, saya duduk di halaman belakang, membaca buku sambil sesekali melihat rumput hijau dan pohon cemara didepan saya. Benar-benar seperti dirumah, dan ketika magrib pun kau bisa mendengar adzan bersahutan, sesekali terdengar suara motor yang lewat di depan dan belakang rumah. Bahkan suara dari dapur pun terdengar, suara orang yang sedang mengiris sayuran untuk dimasak. Halaman belakang semakin gelap dan sunyi ketika kemudian kami melanjutkan perjalanan dan buku-buku itu masuk ke rumah mereka, rumah buku..

Rumah Buku..

Saturday, October 08, 2011

di pagi itu

Di pagi itu, aku mengirimkan sebuah pesan untukmu
Untuk bisa bertemu denganmu di sore itu
Sebuah pesan singkat yang hanya terdiri dari beberapa kata
Pesan yang sederhana, dengan deretan kata yang biasa diucapkan

Sampai sore ku menunggu balasan pesan itu
Dalam diam, dalam tanya yang tak ada habisnya, kenapa?
Kenapa tak kau balas pesan itu,

Mungkin kau begitu sibuk mengendalikan laju mobilmu
Mungkin pesan itu tersangkut di sebuah ranting pohon
Mungkin pengantar pesan itu mampir dulu ke rumah kekasihnya dan lupa
Lupa kalau ada pesan yang harus disampaikan

Mungkin..
Ya, semua itu mungkin,
Karena hanya Tuhan dan dirimu yang tahu kenapa..

Friday, October 07, 2011

Aku, Kamu dan kesetiaan dalam sebuah sepatu..

Aku ingin menyampaikan kepadamu sebuah cerita tentang kesetiaan,
sesuatu yang mungkin jarang kau temui dalam kehidupanmu,
atau mungkin kau tidak menyadarinya..
Ketika sebuah hubungan tak lagi personal dan menjadi sesuatu yang transaksional,
Mungkin hanya sepatu yang bisa menunjukkan kesetiaan, mengajarkan kepada kita tentang keihlasan dan kesetiaan.

Aku masih ingat ketika saat itu,kau berada di sebuah toko yang cukup besar,
Ukuranmu sangat mungil untuk ukuran toko itu,
Kau berada diantara puluhan atau bahkan ratusan pasang sebangsamu,
Berjajar rapi dalam etalase yang sengaja memperlihatkan dirimu,
Agar kau mudah tertangkap oleh mata dan diambil oleh tangan tangan mungil yang menginginkanmu.

Itulah saat dimana kau berusaha untuk memberi penampilan terbaik,
Dengan harapan memperoleh tuan yang baik,
Tuan yang menyayangimu, memakaimu dengan hati-hati, merawatmu, menjagamu.

Bulan pertama di toko itu adalah bulan terbaikmu,
Kau memperoleh tempat terdepan di toko itu,
Memperoleh kesempatan pertama untuk dipilih,
Dengan harga terbaik, meskipun semua uang yang dibayarkan bukan untukmu,

Tapi kau tetap berusaha tampil menjadi yang terbaik,
menjadi berbeda dengan yang lain,
menjadi the only one..

Ya, karena manusia ingin selalu menjadi yang pertama,
Memperoleh yang baru, mendapatkan yang bebeda dari yang lain,
Karena manusia butuh identitas,
menjadi beda itu identitas
Karena manusia memang diciptakan berbeda-beda

Seringkali mereka mendapatkan identitas mereka dari atribut fisik, seperti sepatu, baju atau yang lainnya.
Manusia sering tidak sadar kalau identitas melekat pada diri mereka,
Identitas itu ada pada perilaku mereka,
bukan pada apa yang mereka kenakan.

Manusia yang mendapatkan identitas dari atribut fisik seperti ini akan mudah bosan dengan sesuatu,
ingin selalu up to date dengan segala sesuatu,
ingin selalu yang terbaru
Mereka tidak akan berpikir kesetiaan,
tapi menjadi yang pertama,
bukan untuk menjadi yang selamanya.

Mereka berganti dari satu atribut ke atribut yang lain,
dari satu barang ke barang yang lain.
Ibarat cinta yang tak pernah usai memilih,
Selalu berganti pasangan,

Aku tak ingin bersama tuan seperti itu,
begitu ada yang baru aku akan ditinggalkan tanpa ada rasa terima kasih,
dicampakkan tanpa ada rasa kasihan.

Hingga tibalah saat itu, ketika kau memilihku,
Meski aku tidak lagi berada ditempat yang utama saat itu,
Tempatku agak dibelakang dan tertuliskan kata diskon diatasku,

Itulah diriku setelah beberapa minggu menjadi yang terdepan,
aku dipindahkan ke tempat yang agak ke belakang,
Bukan untuk dibuang, namun karena ada yang lebih baru,
Begitu juga hargaku, berganti menjadi harga baru yang lebih rendah,

Memang, seringkali kita harus merendah agar menjadi menarik,
turun harga atau diskon atau apalah istilahnya
Bukankah manusia juga begitu, harus bisa merendah,
Merendah Bukan berarti kalah, Bukan pula menyerah,
Tapi menempatkan diri sesuai dengan dirinya, tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu rendah, pas..

Begitu kamu memilihku,
aku tahu itu jalan hidupku, mungkin inilah yang disebit takdir,
aku akan dengan setia menemanimu tanpa lelah,
menjadi alas untuk kakimu yang mungil itu,
kaki yang kulitnya begitu halus,
terlalu sayang kalau dibiarkan tanpa alas kaki

jalanan yang kau lalui seringkali terjal, penuh kerikil tajam
dan aku menjaga kakimu dari kerikil yang menggores,
agar kakimu tak terluka, agar terjaga keindahannya

jalanan seringkali penuh dengan air, becek,
kadang juga dipenuhi kotoran yang tidak diinginkan
begitu juga kehidupan, penuh dengan kerikil tajam penuh dengan kotoran dan hal-hal yang tak kau inginkan

Tapi aku sudah berjanji dalam hatiku akan menjaga kakimu,
Meski dalam hujan, meski ketika air mennggenang, bahkan panas terik jalanan,
aku tak akan lepas dari kakimu

Sudah kodratnya sepatu sepertiku ini untuk dipakai tuannya,
untuk menjadi bermanfaat bagi pemiliknya, bagi pemilihnya
mungkin hanya politisi yang lupa kepada pemilihnya,
lupa tidak memberikan manfaat kepada pemilihnya yang telah mempercayainya,
atau memang benar-benar meninggalkan pemilihnya, eh, itu kan politik
padahal hidup akan menjadi berarti ketika bisa memberikan manfaat bagi orang lain, terutama orang yang memilihmu

Aku seringkali terharu, kalau manusia, mungkin aku sudah menitikkan air mata haru
karena seringkali kau terlalu sayang padaku,
Begitu hujan datang, ataupun ketika air menggenangi jalanan,
Kau melepasku dan menggantinya dengan sandal jepit lusuh itu
Karena kau tidak mau diriku terkoyak, rusak karena terkena air

Aaah, kau begitu sayang padaku,
begitu juga aku bertambah sayang padamu karena perlakuanmu itu
Beberapa temanku mengeluh karena tidak diperhatikan
Meskipun mereka sudah bekerja keras untuk melindungi kaki-kaki majikannya
Mereka rela basah terkena air, menjadi alas bagi kerikil tajam
Menjadi pelindung ketika panas maupun dingin

Tapi tuan mereka seringkali egois,
Mementingkan dirinya, kakinya, tanpa pernah merawat pelindungnya
Begitu ada kerusakan kecil atau warna kulit sepatu yang mulai memudar,
dibuanglah sepatu
Dicampakkannya dan diganti dengan yang baru

Tidak ada niatan merawat, memperbaiki ataupun menjaga
Seolah tidak ada rasa terimakasih karena kakinya telah di jaga bahkan dilindungi
Aaah, manusia seringkali egois, kecuali kamu..
ya mungkin hanya kamu yang begitu memahami sepatu..
kamu yang merawat sepatu
kamu yang masih mempercayai diriku untuk melindungi kakimu

meski aku sudah sedikit kusam dan badanku sudah mulai koyak,
tapi kau selalu mengobatiku, membawaku ke tukang reparasi itu
yang akan membuatku kembali utuh
aah, sepertinya kamu tak ingin melepasku
begitu juga aku yang tak ingin lepas darimu

mungkin inilah kesetiaan..
kesetiaan kamu dan aku yang saling menjaga dan melindungi..