Monday, August 13, 2007

Lasem yang Selalu Melawan



”Menulis buat saya adalah perlawanan...”

Pramoedya A.T.

Setiap individu, masyarakat maupun negara memiliki bentuk dan sejarah perlawanannya sendiri. Begitu juga dengan Lasem, sebuah Kota Kecamatan di Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Pada masa perang cina (1740), Lasem dikenal sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap kompeni. Perlawanan dipimpin oleh Raden Ngabehi Widyaningrat (Oey Ing Kyat), Raden Panji Margono dan Tan Kee Wie. Pemberontakan itu berhasil dipadamkan oleh Kompeni dengan bantuan pasukan dari Madura. Untuk menghormati mereka, masyarakat Lasem mendirikan Kelenteng Bie Yong Gio pada tahun 1780.

Pada masa Perang Jawa Pertama atau perang Diponegoro (1825-1830), beberapa orang Cina Lasem berperan sebagai pengimpor senjata api gelap dari Singapura. Mereka kemudian menyalurkan kepada seorang wanita bangsawan pelarian kraton di Rembang dan selanjutnya diserahkan kepada pasukan Diponegoro. Para penyelundup berhasil ditangkap dan kemudian digantung di depan umum oleh kompeni.

Di masa penjajahan Jepang, Lasem menjadi basis gerakan bawah tanah anti-fasis Jepang. Mereka menyusun kekuatan setelah terdesak dari Surabaya dan Kediri. Gerakan itu berhasil meledakkan tangki-tangki minyak di Cepu, meskipun kemudian terhalau kembali. Selain itu, mereka berhasil menenggelamkan 3 kapal kayu Jepang yang diproduksi di Dasun (Toer, 2005).

Batik Tulis

Berbagai kisah sejarah di atas hampir tidak ditemukan dalam buku sejarah nasional, sehingga tidak banyak yang tahu peran Lasem dalam membentuk sebuah nasion bernama Indonesia. Jika tidak dimunculkan, bukan tidak mungkin nama Lasem akan benar-benar dilupakan. Untunglah Lasem masih memiliki produksi batik tulis pesisiran yang membuat nama kota kecil itu masih dikenal hingga sekarang.

Batik Lasem dikenal luas sejak Abad ke-19, wilayah pemasarannya merambah hingga ke semenanjung Malaka, Asia Timur, Suriname dan Benua Eropa (Khususnya Belanda dan Inggris). Batik Lasem terkenal karena keunikannya sebagai produk persilangan budaya, terutama Jawa dan Cina. Motif Cina bisa dilihat dari motif burung hong, bunga seruni, banji, mata uang, dan lain sebagainya. Adapun motif Jawa bisa dilihat dari motif geometris khas batik vorstenlanden (Surakarta dan Yogyakarta) seperti parang, kawung, dan udan liris.

Kemunduran

Industri batik Lasem saat ini bisa dikatakan berada di titik nadir. Pengusaha batik Lasem saat ini tinggal 20-an orang, cukup kecil dibanding jumlah pengusaha sebelum krisis yang lebih dari 100 orang. Penyebab kemunduran industri batik Lasem diantaranya adalah krisis ekonomi 1998 yang membuat harga bahan baku (kain dan pewarna) melambung. Kemudian persaingan dengan batik printing dari wilayah lain yang mampu memproduksi batik murah secara masal. Yang terakhir adalah rendahnya minat kalangan muda Lasem terhadap batik, sehingga tidak ada regenerasi pelaku usaha batik, baik pengrajin ataupun pengusahanya.

Yang paling dikhawatirkan dari kemunduran industri batik Lasem adalah nasib masyarakat Lasem yang menggantungkan hidup dari batik. Masyarakat di pusat kota Lasem, adalah pengusaha batik, pedagang batik di pasar Lasem dan penjual jajanan untuk buruh batik di sekitar bengkel batik. Bagi masyarakat pedesaan sekitar kota Lasem, mereka adalah para perempuan pembatik yang berasal dari keluarga petani di sekitar Lasem. Mereka menjadi pengrajin batik untuk menambah penghasilan keluarga.

Dampak kemunduran industri batik bisa terlihat secara langsung dari kurang terawatnya bangunan cina di kota Lasem yang beberapa diantaranya pernah menjadi bengkel produksi batik. Di pedesaan, dampak kemunduran terlihat dari banyaknya perempuan pembatik yang menganggur atau beralih profesi. Dahulu diperkirakan 90% perempuan dewasa di Lasem berprofesi sebagai pembatik. Sekarang diperkirakan kurang dari 20% perempuan yang masih berprofesi sebagai pembatik.

Survei Institut Pluralisme Indonesia (IPI) yang dilakukan pada bulan Oktober 2006-Januari 2007, menunjukkan hanya 33 orang (19%) dari 177 orang pembatik di desa Jeruk, kecamatan Pancur, kabupaten Rembang, yang masih aktif sebagai pembatik. Sedangkan 70 orang (41%) pembatik beralih pekerjaan ke usaha non batik, dan 69 orang (40%) pembatik menganggur (Kwan, 2007). Kondisi ini tentu saja cukup mengkhawatirkan.

Sebuah Perlawanan

Untuk mengambalikan kejayaan batik Lasem dan mencapai kemakmuran Lasem, masyarakat Lasem harus kembali melakukan perlawanan. Tentu saja bukan perlawanan kontak fisik sebagaimana era kolonial, namun sebuah perlawanan terhadap kemunduran Indutri Batik Lasem. Masyarakat Lasem harus melawan serbuan batik dari daerah lain, terutama Pekalongan. Mereka juga harus melawan gempuran tekstil dan produk tekstil dari Cina yang sangat murah. Selain itu, mereka harus bersiap-siap melawan Malaysia yang sudah melakukan persiapan untuk memproduksi batik sendiri dengan mendatangkan beberapa pembatik dari Indonesia untuk memberikan pelatihan disana.

Perlawanan bisa dilakukan dengan melakukan inovasi cara berproduksi, desain, produk turunan, maupun pasar bagi batik. Hal ini sesuai dengan teori Schumpeter, seorang ekonom Austria yang menyatakan bahwa kunci dari kemajuan perekonomian adalah pengusaha yang inovatif, berani mengambil risiko dan memperkenalkan teknologi baru untuk mendorong proses produksi (Pass, 1994).

Saat ini, pengusaha inovatif seperti yang dilukiskan oleh Scumpeter tersebut bisa ditemui di Lasem, namun jumlahnya sangat kecil. Selain itu, usia mereka yang sudah lanjut menimbulkan kekhawatiran tersendiri, terutama terkait dengan masalah regenerasi. Belum lagi jika kita melihat anak muda Lasem yang kurang berminat terhadap batik. Padahal anak muda adalah kunci perubahan dan perlawanan terhadap kemunduran. Sesuai dengan karakteristik anak muda yang cenderung berpikiran progressif, inovatif dan nekat. Pertanyaannya kemudian adalah, sanggupkah generasi muda Lasem menjawab tantangan ini dan kembali membuat sejarah perlawanannya sendiri ? Semoga !

Suara Merdeka, 8 Agustus 2007