Thursday, January 05, 2006

Islam as a Tool of Modernization

Kee Beng Ooi


A big worry in Iraq and the wider Middle East is that Islam and modernization are enemies. But Malaysian history over the past three decades shows that this belief is mistaken. In fact, Islamization has proved to be an effective political means of reconciling the majority of Malays to the country’s rapid economic development.

In the early 1970’s, when it was still an overwhelmingly agrarian country and Islamization was just gaining momentum, Malaysia embarked on its so-called “New Economic Policy” (NEP), designed to help the majority Malays gain a bigger share of the country’s wealth. After three decades of spectacular economic growth, many Malays have become prosperous and content not only through secular capitalism, but through the country’s renewed sense of Islamic identity, one which – for the most part – embraced modernization. (Of course, paradoxes appear every now and then, such as when globalization is advocated alongside demands for stronger censorship.)

Islamic-minded politicians such as Anwar Ibrahim gained prominence when Islamization took off in the 1970’s. But the Islam they promoted was not backward looking; instead, it sought to shape a modernizing economic policy that took note of Muslim sensibilities.

Faced with the grassroots popularity of this movement, by 1982 the government of then Prime Minister Mahathir Mohamed decided to co-opt Anwar Ibrahim into his United Malays National Organisation (UMNO), the dominant party within the country’s ruling coalition. The strategy worked well, and helped defuse Islamic opposition to the wrenching changes that accompanied the country’s rapid economic modernization.

During the 1990’s, however, Anwar increased his influence within the party, unsettling many of the old guard. Matters came to a head after the 1997 financial crisis, when Anwar, the deputy prime minister, adopted an even more economically liberal approach than Mahathir. Partly in response to this challenge, Anwar was sacked.

Anwar’s bizarre trial and sentencing on charges of sodomy and abuse of power invigorated the reformasi movement, as growing anti-UMNO and anti-Mahathir sentiments took hold among Islamic-minded Malays. This culminated in poor electoral results for the ruling coalition in November 1999.

The Islamist party, Parti Islam SeMalaysia (PAS), took power in the states of Kelantan and Trengganu and strongly threatened UMNO in other northern states. The personal conflict between Mahathir and Anwar thus led to an apparent rupture between Malaysia’s Islamist political forces and the modernizers of UMNO.

So, once again, Mahathir felt pressure to adopt a strategy aimed at preventing Islam from becoming a tool of opposition. This impulse strongly affected his choice of a successor when he decided to step down as prime minister. His choice of Abdullah Badawi, the current prime minister, helped UMNO regain the Islamist moral high ground that the PAS had been claiming.

It was the beginning of America’s global “war on terror” in 2001, however, that brought the political march of the Islamist parties to a screeching halt, as it provided an excuse for the government to crack down on the Malay right and the PAS.

But this only renewed UMNO’s desire to portray itself as sufficiently Islamist. So, before stepping down, Mahathir went so far as to declare Malaysia a de facto Muslim state. Eyebrows were raised and questions were asked about the lengths to which Mahathir would go to counteract the Islamist appeal.

This trend continues. One of Badawi’s first acts after taking over as prime minister in October 2003 was to introduce the concept of Islam Hadhari. This vague term was finally fleshed out with a list of ten principles in September 2004, all but one of which, however, was without religious connotations. Nevertheless, this move appeared to be all that was needed for Islam-minded voters to return to the fold of the ruling front.

In the general election in March 2004 – the first since Mahathir stepped down after 22 years in power – moderate Muslims helped Abdullah Badawi to a landslide victory. The release of Anwar Ibrahim soon afterwards raised the new premier’s prestige further as a leader who could heal intra-Malay, and intra-Muslim, conflicts.

Since then, Abdullah Badawi has been popularizing the concept of “Hadhari,” shaping it as a means to shift Islam’s focus from its sanctioning function to its civilizing potential and rendering it less ideological. In Malaysia today, Islam is being presented as a generator of civilization and culture, and not merely as a source of religious inspiration. This has helped to counter extremist tendencies domestically and provides a conceptual platform for moderate Islam. Islam Hadhari tries to project the idea that UMNO’s materialism and nationalism do not contradict Islam.

With various feints and strategies, Malaysia has effectively managed the tensions between a secular, modernizing agenda and the Islamic faith that the Malays profess. By making Islamists and Islamist sentiments a part of the process of modernization, Malaysia demonstrates that Islamic faith and economic growth can be reconciled if politicians are clever enough not to treat them as contradictions.

Ooi Kee Beng is a Fellow at Singapore’s Institute of Southeast Asian Studies, and Coordinator of its Malaysia Studies Program.

Copyright: Project Syndicate, 2005.
www.project-syndicate.org

Tuesday, January 03, 2006

MenGanggur !!!

saya pernah mendapat pertanyaan dari salah seorang teman mengenai mengapa kok tingkat pengangguran menjadi indikator utama dalam perekonomian sebuah negara. pertanyaan tersebut langsung saya balas dengan pertanyaan,

"apa yang anda lakukan setelah lulus kuliah nanti?"

dengan spontan dia langsung menjawab "kerja!"

"oke, trus kenapa anda ingin bekerja?"

"agar bisa dapat uang untuk hidup, selain itu juga harga diri" jawab teman saya.

"lha itu jawaban pertanyaan anda, kerja itu penting!!"

karena orang itu untuk hidup butuh makan dan banyak kebutuhan-kebutuhan lain dan itu tidak datang dari langit, muncul begitu saja, emangnya ini dunia-nya hari potter! dimana masalah-masalah bisa diatasi dengan mengacungkan tongkat dan mengucap mantra. ini dunia nyata, disini kita harus berusaha untuk bisa memnuhi kebutuhan hidup kita sendiri. dan agar bisa memenuhinya kita perlu kerja tentu saja kerja yang mendapatkan penghasilan yang layak, yang sesuai dengan keringat yang kita kucurkan.

bukan hanya itu saja, orang yang menganggur itu stres, dia bingung mau ngapain? belum lagi kalau ditanya orang yang kita kenal, "si 'X' udah kerja di bank .... lho dan gajinya 4 juta perbulan." trus kalau kamu gimana, udah kerja dimana?gaji? dan bla..bla..bla ...bukannya kamu lulus lebih dulu daripada dia?"

trus mau jawab apa? paling cuman senyum-senyum dan berkata dengan muka agak cemberut dan senyum yang dipaksakan.

"wah belum kerja nih, padahal udah nyari kemana-mana, yang namanya belum rejeki ya gimana lagi, lha situ ada kerjaan gak?"

gimana gak stres kalau tiap ketemu orang kita selalu ditanya begitu, balum lagi kalau

dilihat tetangga, "udah lulus kok masih dirumah terus". belum kerja ya?" waaaaaa!!!!

dan ketika semakin banyak tingkat pengangguran berarti beban bagi pekerja semakin besar, terutama apabila dalam satu keluarga di satu rumah hanya ada satu orang yang bekerja, berarti penghasilan dia harus di bagi seisi rumah. artinya semakin banyak orang yang berada dalam rumah tersebut kesejahteraan yang diperoleh tiap individu akan semakin kecil. dan jika dihitung secara agregat (total) dalam sebuah negara, maka semakin banyak pengangguran otomatis kesejahteraan negara tersebut tidak optimal, karena masih banyak sumberdaya yang menganggur. selain itu tingkat pengagguran yang tinggi akan memunculkan potensi konflik, di prancis misalnya. kerusuhan yang terjadi akhir tahun lalu yang telah mengakibatkan Korban sebanyak, lebih dari 6.000 kendaraan terbakar, lebih dari 2.000 orang ditangkap dan ratusan lainnya cedera. salah satu penyebabnya adalah peningkatan pengangguran di Perancis, di imigran mencapai 40 persen. Penyebabnya meningkatnya angka pengangguran adalah, lapangan kerja yang sempit akibat banyak perusahaan multinasional pindah ke Eropa Timur, di sana tenaga kerja lebih murah, adanya rasisme di dunia pekerjaan(Utriza, 2005).

di indonesia menurut Gie (2006), Untuk Oktober 2005, tingkat pengangguran terbuka diperkirakan 11,6 juta atau 10,8% dari angkatan kerja. Kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja juga kecil. Dalam periode 1999-2004, kenaikan rata-rata penduduk yang bekerja hanya 1,1% per tahun, walau ekonomi tumbuh rata-rata 4,5% per tahun.

Kalau kita menengok angka-angka setengah pengangguran lebih mengerikan. Setengah menganggur ialah mereka yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu. Mereka ini 29,8% dari penduduk yang bekerja atau 27,95 juta orang. Artinya, mereka miskin ditinjau dari sudut pendapatan.

selain itu jumlah pekerja yang dikenakan PHK pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), Oktober 2005, melonjak 150% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Berdasarkan data Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial Depnakertrans, pada kuartal keempat (Oktober-Desember) 2005 atau pascakenaikan harga BBM, pekerja yang dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK) 55.697 orang.

Angka tersebut meningkat hampir 150% dibandingkan dengan jumlah PHK pada triwulan ketiga (Juli-September), yang sebanyak 22.355 orang. Pada September 2005, menurut data tadi, jumlah korban PHK tercatat 5.554 orang dengan 99 kasus. Setelah kenaikan harga BBM pada Oktober, kasus PHK meningkat menjadi 324 perkara yang melibatkan 5.044 pekerja.

Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Depnakertrans, yang juga Ketua P4P, Gandi Sugandi, memperkirakan jumlah pekerja yang dikenakan PHK jauh lebih besar. Ini karena PHK di bawah 10 orang dan PHK yang diselesaikan melalui bipartit tidak tercatat. Kemudian ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi memperkirakan bahwa jumlah PHK lima kali lebih besar dibandingkan dengan data Depnakertrans tersebut (bisnis indonesia, PHK naik 150%, 4 Januari 2006).

Tingginya tingkat pengangguran harus segera diatasi, karena kondisi masyarakat sudah terlalu susah. Salah satunya juga sebagai akibat dari keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM rata-rata hingga 100% lebih. Kalau tidak, bukannya tidak mungkin tingkat kriminalitas akan meningkat. Kalau kita melihat berita mengenai kriminalitas akhir-akhir ini, para pelaku kejahatan semakin nekat, tidak sungkan lagi untuk menghabisi nyawa korbannya. Selain itu kondisi keuangan yang susah (kemiskinan) telah banyak mengakibatkan kematian akibat kelaparan. Belum lagi percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa siswa Sekolah Dasar dan menengah yang hanya diakibatkan ketidakmampuan dalam membayar SPP.

Beberapa orang mengatakan bahwa itu merupakan tanggung jawab negara, dan itu memang benar. Tapi kalau negaranya seperti ini apakah kita akan diam saja? Menunggu dan hanya berharap tanpa berusaha !!

Wassalam…

Referensi :

Utriza, Ayang, Akar Kerusuhan di Perancis , Kompas, Rabu, 16 November 2005.

Gie, Kwik Kian, Kecenderungan ekonomi 2005 & prospek 2006, Bisnis Indonesia, Senin, 02-JAN-2006.

Bisnis Indonesia, PHK naik 150%, , Rabu, 04-JAN-2006


Monday, January 02, 2006

Blog Baru
akhirnya, ada keinginan lagi untuk menulis, membaca dan menjelajahi dunia maya.. sebuah dunia yang sangat luas yang bisa menghubungkan manusia dari segala penjuru di dunia tanpa harus bertemu secara langsung, baik untuk urusan bisnis, sekedar ngobrol, ngegosip dan masih banyak lagi yang bisa dilakukan di dunia ini.
di dunia ini orang bisa mempublikasikan apa saja, mulai dari tulisan, gambar, lagu bahkan hingga film. bagi orang-orang yang overprotective mungkin menganggap dunia maya sebagai dunia yang kurang baik, karena disini banyak juga hal-hal buruk, seperti gambar dan film porno. namun terlepas dari semua itu lebih banyak lagi hal yang bisa kita dapat dari dunia ini, dan ini tergantung pada bagaimana kita mensikapi.
mungkin bagi kakek nenek kita, mereka tidak pernah membayangkan bahwa sekarang orang bisa dengan enak ngobrol lewat komputer. bisa bertemu teman yang sudah sangat lama tidak diketahui alam rimbanya dan akhirnya bisa tahu alamat, nomer telepon, foto dan bisa ketemu karena internet (misal lewat friendster), dan itu hanya dilakukan dengan duduk diam, klik kanan-kiri tanpa perlu menggerakkan anggota tubuh lain, hanya dengan tangan saja.
dan inilah kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan tekhnologi, kalau dulu orang ingin ngobrol harus berjalan kaki puluhan kilometer, naik turun gunung, kehujanan dan mungkin harus menginap dijalan, itupun masih sangat beruntung kalau bisa ketemu orangnya lha kalau tidak! ya harus balik lagi, dan kemudian melakukan hal yang sama sampai ketemu....itu kalau dalam keadaan aman, lha kalau pas jaman penjajahan, jaman kumpeni/walandi (belanda). udah harus jalan jauh masih harus menghindar dari penjajah...
jadi kesimpulannya ya inilah dunia maya, dunia yang mempermudah manusia....jadi ya gunakan semaksimal mungkin....!!!

wassalam